Pertandingan final Piala Dunia 2018 yang digelar di Luzhniki Stadium, Minggu (15/07) berakhir dengan skor 2-1 untuk keunggulan Perancis di babak pertama. Les Bleus memimpin satu angka dari Kroasia berkat gol yang dicetak oleh Antoine Griezmann lewat titik putih pada menit ke-38.
Memasuki babak kedua, Kroasia coba mengejar ketertinggalan dengan meningkatkan intensitas serangan. Akan tetapi usaha mereka sempat terganggu oleh sekelompok orang yang menyusup ke lapangan pertandingan pada menit ke-51.
Saat itu, penonton sedang menyaksikan Kroasia membangun serangan dengan Ivan Rakitic yang berada di sisi kiri baru saja menerima umpan panjang dari rekannya. Namun seketika banyak perhatian teralihkan ketika empat orang dengan pakaian seragam berlari memasuki lapangan. Keempat orang itu terdiri dari dua orang pria dan dua orang perempuan.
Para petugas keamanan dengan sigap berlari mengejar untuk menghentikan aksi mereka. Nestor Pitana sang wasit, sementara itu, meniup peluitnya seraya mengangkat tangan kiri untuk menunda sejenak jalannya pertandingan.
Aksi keempat orang tersebut kemudian bisa diredam oleh petugas keamanan. Pertandingan pun kembali dilanjutkan.
Pussy Riot di Balik Aksi
Selang beberapa menit usai insiden penyusupan terjadi, tersiar kabar bahwa grup musik asal Moskwa, Pussy Riot, bertanggung jawab atas aksi empat orang yang menyusup ke lapangan pertandingan. Hal ini diketahui lewat pengumuman yang disiarkan melalui akun sosial media resmi mereka.
Dalam pengumumannya, Pussy Riot menjelaskan bahwa aksi tersebut bertujuan untuk menyuarakan protes terhadap pemerintah Rusia yang dinilai represif. Berikut enam poin tuntutan yang tertuang dalam pengumuman resmi Pussy Riot:
- Bebaskan tahanan politik.
- Tidak memenjarakan seseorang demi popularitas.
- Tidak lagi ada penangkapan ilegal pengunjuk rasa.
- Berikan iklim kompetisi politik di Rusia.
- Tidak lagi ada tuduhan kriminal yg dibuat-buat dan penahanan tanpa alasan.
- Jadikan polisi duniawi polisi surgawi
Keempat orang yang melakukan aksi di Luzhniki Stadium, semuanya mengenakan pakaian yang menyerupai seragam polisi. Itu bukan tanpa alasan. Itu merupakan bentuk protes mereka agar polisi di Rusia tak lagi dijadikan alat untuk merepresi warga.
Aksi di Luzhniki Stadium bukan yang pertama dilakukan Pussy Riot. Grup musik yang dibentuk pada 2011 dan seluruh personelnya terdiri dari perempuan itu, dikenal sangat vokal dalam mengkritisi pemerintahan Rusia yang dipimpin Vladimir Putin. Tercatat beberapa aksi lain pernah mereka lakukan di tahun-tahun sebelumnya.
Pada Februari 2012 misalnya, Pussy Riot menggelar konser di sebuah gereja katedral yang terletak di Moskwa. Di konser tersebut, mereka melantunkan sebuah lagu berjudul “Punk Prayer” yang, pada salah satu penggalan liriknya, berkisah tentang permohonan seseorang kepada Bunda Maria untuk mengusir Vladimir Putin.
Jelas saja aksi ini membuat Putin geram. Petugas kepolisian segera dikerahkan beberapa hari kemudian.
Tanggal 3 Maret 2012, dua personel Pussy Riot yakni Maria Alyokhina dan Nadezhda Tolokonnikova, ditangkap dan dipenjara di Moskwa. Selanjutnya pada 15 Maret 2012, Yekaterina Samutsevich, personel lain yang semula hanya menjadi saksi, turut ditangkap. Ketiga anggota Pussy Riot itu dianggap telah berbuat “anarkis” yang didorong oleh kebencian terhadap agama. Usai melalui serangkaian proses persidangan, ketiganya divonis 2 tahun penjara pada Agustus 2012.
Akan tetapi belum genap dua tahun menjalani masa hukuman, Nadezhda Tolokonnikova dan Maria Alyokhina sudah dibebaskan pada Desember 2013. Saat itu, Vladimir Putin sedang menjalankan program amnesti dengan membebaskan puluhan ribu tahanan di Rusia.
Kendati dibebaskan, Nadezhda tak ingin terlena dengan amnesti yang diberikan Putin. Ia menganggap amnesti itu hanya sebatas pencitraan Putin jelang digelarnya Olimpiade Musim Dingin di Rusia pada 2014.
“Apa yang terjadi hari ini yaitu membebaskan narapidana beberapa bulan sebelum masa hukuman mereka usai, adalah ‘kosmetik’ saja,” ujarnya kepada BBC.
Nadezhda pun langsung menyerukan agar negara-negara Barat memboikot Olimpiade Musim Dingin yang akan digelar di Sochi, Rusia, pada Februari 2014. Ia menyerukan pemboikotan itu saat menggelar konser untuk hak asasi manusia (HAM) yang diselenggarakan di Brooklyn, New York.
“Saya menyerukan boikot. Saya menyerukan agar negara-negara Barat tidak menyerah karena mengharapkan kiriman minyak dan gas dari Rusia."
Masalah dalam Pemerintahan Putin
Vokalnya Pussy Riot dalam menentang pemerintahan Putin sangat beralasan. Pasalnya selama menjabat sebagai Presiden, Putin terkenal otoriter dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ia tak segan menyingkirkan siapa pun yang dianggap merongrong kekuasaannya atau menentang kebijakannya. Beberapa kasus menunjukkan hal ini.
Jelang pemilihan presiden Rusia 2018, Putin yang mencalonkan diri lagi dalam pemilihan, dinilai telah menghalangi oposisinya, Alexei Navalny, untuk maju sebagai calon presiden. Melansir Washington Post, Navalny dilarang maju dalam pemilihan karena dianggap memiliki riwayat pelanggaran hukum di masa lalu. Begitu mengetahui hal ini, Navalny langsung menyerukan untuk memboikot pemilihan umum yang digelar pada Maret 2018.
“Kami menyatakan mogok. Kami akan meminta semua orang untuk memboikot pemilihan ini dan kami tak akan mengakui hasilnya,” ujar Navalny di hadapan para pendukungnya.
Ada juga nama Vladimir Gusinsky, pemilik stasiun televisi bernama NTV di Rusia, yang pernah dituduh Putin telah melakukan penipuan. Sebelumnya NTV dikenal sebagai stasiun televisi yang cukup keras dalam mengkritik kebijakan-kebijakan Putin di masa awalnya menjabat sebagai Presiden pada tahun 2000.
Yang terbaru terjadi saat pembukaan Piala Dunia, 15 Juni 2018 lalu. Aktivis LGBT asal Inggris, Peter Tatchell, ditangkap oleh kepolisian Rusia saat melakukan aksi demonstrasi di Lapangan Merah yang dekat dengan Istana Kepresidenan Rusia, Kremlin.
Tatchell melakukan aksinya untuk menyuarakan kegagalan Putin dalam melindungi hak-hak LGBT di kawasan Chechynya. Tatchell berjalan seorang diri dengan membawa sebuah selembaran yang bertuliskan: “Putin gagal bertindak melawan penyiksaan terhadap orang-orang gay di Chechynya.”
Polisi kemudian menghentikan aksi Tatchell dengan menggiringnya ke Kantor Polisi Tverskaya. Menurut pernyataan Peter Tatchell Foundation yang dilansir Sky News, aksi yang dilakukan Tatchell sebenarnya tak melanggar hukum di Rusia.
“Saya menggunakan hak saya secara sah untuk melakukan protes. Di bawah konstitusi Rusia, yang menjamin kebebasan berekspresi dan hak untuk menyampaikan pendapat sesuai dengan Pasal 29 dan 31. Aksi protes sendirian [tanpa mengumpulkan massa] yang saya lakukan tidak memerlukan izin dari pihak berwenang dan kepolisian."
Kesempatan untuk Menyampaikan Aspirasi
Piala Dunia merupakan perhelatan akbar yang digelar empat tahun sekali. Banyak perhatian publik dunia yang tertuju kepadanya. Tak ayal, Piala Dunia pun sering dimanfaatkan oleh penduduk negara tuan rumah untuk menyuarakan berbagai aspirasi terkait kondisi sosial dan politik di negara tersebut. Dengan banyaknya orang yang memperhatikan, mereka berharap perubahan bisa disegerakan.
Aksi Peter Tatchell dan Pussy Riot di Rusia 2018 adalah yang kesekian kali. Sebelumnya banyak aksi serupa yang pernah digelar di Piala Dunia yang sudah-sudah. Salah satunya terjadi di edisi Brasil 2014. Sebelum Piala Dunia 2014 digelar, beberapa wilayah di Brasil sudah menggelar aksi untuk mengecam kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan pembangunan stadion alih-alih menganggarkannya untuk perbaikan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Aksi ini sampai mendapat perhatian dari pemain belakang Brasil, David Luiz.
“Selama aksi ini dilakukan secara damai, saya menghormati mereka. Saya tidak ingin melihat kekerasan,” ujarnya.
Di edisi Argentina 1978, aksi serupa juga pernah dilakukan. Saat itu, pelaku aksinya adalah sekelompok ibu yang suami atau anaknya menjadi korban penculikan rezim junta militer pimpinan Jorge Videla. Rezim yang berkuasa berkat kudeta yang dilakukan terhadap pemerintahan sebelumnya itu, tak segan untuk menangkap siapa saja yang menentang kekuasaannya. Banyak aktivis "dibungkam". Tak sedikit pula simpatisan Isabel Peron—presiden Argentina sebelumnya— yang ditangkap dan dihabisi.
Sadar bahwa ketidakadilan sedang terjadi di negeri mereka, para ibu yang keluarganya menjadi korban kekerasan tersebut kemudian menggelar aksi untuk menentang kekejian yang dilakukan pemerintah. Mereka melakukannya di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada. Aksi yang telah mereka lakukan sejak 1977 itu, semakin besar skalanya jelang digelarnya Piala Dunia 1978.
Mereka hendak menunjukkan satu hal kepada dunia: bahwa di balik gemerlap dan megahnya perhelatan Piala Dunia, ada kebobrokan, ketidakadilan, bahkan anyir darah, yang berusaha ditutup-tutupi. Tak terkecuali di Rusia.
Komentar