Gengsi Piala Presiden yang Membuat Kita `Lupa`

Editorial

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Gengsi Piala Presiden yang Membuat Kita `Lupa`

Masa pra-musim merupakan periode penting sebelum dimulainya kompetisi resmi. Di masa ini, klub-klub menjalani serangkaian pertandingan uji coba dan latihan intensif untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin setelah menjalani masa libur.

Pra-musim punya banyak manfaat: meningkatkan kebugaran fisik, membangun kekompakan tim, menajamkan taktik dan strategi, hingga menarik minat sponsor dan suporter. Jika merujuk ke banyak penelitian, sebuah klub harus menyiapkan skuadnya setidaknya selama enam pekan sebelum kompetisi resmi dimulai. Selama itu, setiap klub melakukan berbagai persiapan, seperti latihan fisik intensif, taktik, uji tanding, tur, maupun pemusatan latihan.

Di Indonesia, fase regular series Liga 1 2023/24 sudah selesai sejak 30 April. Artinya ada persiapan pra-musim selama sekitar empat bulan termasuk masa rehat. Kemudian, diumumkan Piala Presiden 2024 akan dimulai di Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (19/7). Ini menjadi sinyal bahwa fase pra-musim segera berakhir dan Liga 1 2024/25 akan dimulai.

Ketika Piala Presiden 2024 diumumkan, ingatan saya terpecah menjadi dua. Yaitu Piala Presiden sebagai kompetisi pra musim dan dua suporter Persib Bandung, Ahmad Solihin dan Sopian Yusup, meninggal saat Piala Presiden terakhir digelar pada 2022.

Tragedi tersebut adalah catatan hitam nama `Piala Presiden`. Prosedur keamanan yang lalai dan abai kemudian melahirkan tragedi memilukan lebih besar di Stadion Kanjuruhan. Kita hanya bisa berharap bahwa prosedur keamanan Piala Presiden bisa lebih ketat dan sesuai dengan standar FIFA seperti yang diucapkan pihak kepolisian.

Selain itu, ada kerancuan soal aturan pada Piala Presiden tahun ini. Alih-alih menjadi ajang pra-musim untuk klub memantapkan skuadnya, justru panitia mewajibkan pemain berlabel Tim Nasional (timnas) Indonesia agar dimainkan sejak menit awal. Alasannya karena saran dari Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, demi kemajuan sepak bola Indonesia dan gengsi.

Menurut penelitian, setiap pesepakbola idealnya bermain dalam waktu 45 dari 90 menit saat pertandingan pra-musim. Sementara Ketika melihat skuad Persija Jakarta saat ini, ada delapan pemain berlabel timnas yang pernah dipanggil Shin Tae-Yong. Artinya, mereka semua wajib dimainkan sejak menit pertama yang bisa menghambat komposisi pemain dan adaptasi taktik pelatih barunya untuk Liga 1 musim ini.

Maka mewajibkan pemain berlabel timnas rasanya tidak perlu menjadi aturan kompetisi pra musim. Pelatih lebih tahu kebutuhan terbaik untuk skuadnya. Erick yang pernah menjadi presiden Inter Milan seharusnya juga tahu.

Hal ini pun demi kemajuan sepak bola Indonesia, utamanya demi kompetisi internal yang kompetitif dan menghasilkan pemain timnas terbaik dari liga. Sebab kesuksesan sepak bola Indonesia tidak hanya dilihat dari timnasnya aja. Dibutuhkan juga kompetisi sehat, ideal, dan kompetitif yang bisa diciptakan melalui ajang pra musim.

Jika komposisi pemain diatur sedemikian rumit, maka pra musim akan jauh dari esensinya dan hanya akan menjadi kepuasan supporter belaka saja. Tuntutan yang kompleks itu pun bisa mengancam pemain dengan cedera akibat permainan yang terlalu keras. Bahkan bagi pemain berlabel timnas itu sendiri.

Lagipula, siapa sih yang tidak ingin tim nasional sepak bola negaranya maju? Sebetulnya, jika menilik langkah Indonesia di Piala Asia 2023 dan Kualifikasi Piala Dunia 2026, sudah ada kemajuan. Namun, melihat kesuksesan hanya tampak dari sisi luar dengan menyembunyikan borok di dalam, rasanya kita patut mempertanyakan tujuan sesungguhnya dari Piala Presiden.


Hal tersebut terasa relate dengan Piala Presiden yang notabenenya menggunakan nama kepala negara sebagai kompetisinya. Terlebih, Arema yang menjadi salah satu pesertanya menunjukkan bahwa 135 nyawa hanyalah sebuah angka dan membuat Tragedi Kanjuruhan menjadi sebuah `lupa`. Lupa bahwa perbaikan sepakbola Indonesia belum sepenuhnya tuntas.

Komentar