Sejak tahun 2011, kesebelasan kaya di Eropa (UEFA) tidak bisa semena-mena menggunakan uang mereka untuk berbelanja pemain baru. Adalah Financial Fair Play (FFP) yang dicetuskan Michel Platini yang membatasi manuver transfer klub top Eropa. Tujuannya mulia, untuk menyehatkan finansial kesebelasan-kesebelasan Eropa dan agar tak terjadi ketimpangan antar kesebelasan tersebut.
Lewat aturan Financial Fair Play, setiap kesebelasan Eropa wajib menyeimbangkan neraca keuangan mereka. Ini artinya klub harus hitung-hitungan dulu sebelum berbelanja pemain. Karena jika teledor atau tidak sesuai rencana keuangan, maka kesebelasan bisa melanggar FFP yang tentunya hukuman sudah menanti.
Pada dasarnya, aturan FFP ini diberlakukan agar setiap kesebelasan memang benar-benar punya uang ketika ia misalnya hendak berbelanja banyak pemain atau membeli pemain dengan harga mahal. Singkatnya, FFP membuat setiap klub untuk tidak terjerat dengan banyak hutang yang bisa merugikan klub itu sendiri, selain juga untuk membatasi para pemilik klub menggunakan kocek pribadinya demi mencapai target klub, yang bisa melahirkan ketidakseimbangan dalam kompetisi.
Misalkan pada sebuah kesebelasan yang pemiliknya punya banyak uang, ia akan membeli semua pemain terbaik dunia dengan uangnya. Padahal dari segi pendapatan neraca keuangan hal tersebut mustahil. Secara logika tentu hal seperti ini membuat sistem kompetisi menjadi tak sehat.
Perhitungan FFP sendiri mengacu pada musim kompetisi. Badan Pengawas Keuangan Klub UEFA (CFCB), akan terus mengawasi keuangan setiap masing-masing klub. Di pertengahan musim, biasanya pada bulan Desember, setiap kesebelasan biasanya akan diberi laporan apakah kesebelasan tersebut aman dari pelanggaran FFP atau tidak. Jika terancam melanggar, klub punya waktu sekitar enam bulan untuk menyeimbangkan neraca keuangan, baik itu dari kerjasama baru ataupun penjualan pemain.
Penjualan pemain kerap menjadi solusi cepat untuk menghindari hukuman FFP. Itulah sebabnya banyak kesebelasan yang langsung menjual para pemainnya demi menghindari pelanggaran FFP menjelang musim berakhir karena akhir musim adalah akhir dari "tutup buku" laporan FFP, seperti yang dilakukan Internazionale Milan belakangan ini.
Baca juga: Inter Jual Enam Pemain untuk Hindari FFP
Sebenarnya, aturan FFP tidak berarti setiap kesebelasan tidak boleh mengalami kerugian. Hanya saja FFP membatasi kerugian tersebut. Klub boleh mengalami kerugian hingga lima juta euro dalam perhitungan per tiga musim. Bahkan dengan sejumlah syarat-syarat tertentu, klub boleh mengalami kerugian lebih banyak dari lima juta euro per tiga musim. Untuk saat ini, pada periode 2015/2016, 2016/2017, dan 2017/2018, klub maksimal diperbolehkan mengalami kerugian sampai 30 juta euro (neraca keuangan dihitung sejak 2015).
Kerugian yang dimaksud dalam FFP sendiri meliputi pengeluaran yang disebabkan untuk pembelian pemain, penggajian seluruh elemen klub, dan pengeluaran lainnya. Namun ada juga beberapa pengeluaran yang tak dihitung dalam FFP ini, yakni investasi pada stadion, peningkatan infrastruktur latihan, pengembangan usia muda dan pengembangan sepakbola perempuan.
Maka untuk menghitung FFP, kita tidak bisa hanya melihat berapa pembelian dan penjualan pemain suatu klub dalam satu musim. Misalnya AC Milan saat ini (menjelang musim 2017/2018) sudah belanja pemain dengan total biaya 172,5 juta euro dan hanya mendapatkan 8 juta euro dari penjualan pemain, bukan berarti Milan harus mendapatkan sekitar 150 juta euro dari penjualan pemain untuk menghindari hukuman FFP.
Ricardo Rodriguez, salah satu rekrutan anyar Milan
Pendapatan klub, selain dari penjualan pemain, meliputi pemasukan dari tiket pertandingan kandang, merchandise, sponsor, hadiah dari kompetisi, hak siar dan hal komersil lainnya. Maka tak heran semakin besar sebuah kesebelasan (apalagi berprestasi), akan semakin besar juga pendapatan mereka, sehingga mereka memungkinkan untuk belanja besar-besaran juga. Contohnya Manchester United yang bisa membeli Paul Pogba dengan biaya sekitar 89 juta paun karena mereka punya pendapatan kotor lebih dari 500 juta paun (terbesar di dunia pada 2016).
Dengan aturan FFP, pemilik klub saat ini tak boleh lagi dengan bebas mengeluarkan kocek pribadinya untuk klub seperti yang dilakukan Roman Abramovich saat mengakuisisi Chelsea pada 2003. Tapi pemilik klub, yang memiliki banyak perusahaan, boleh menjembatani klub untuk melakukan kerjasama dengan perusahaan relasinya yang bisa meningkatkan pendapatan klub. Ini juga yang mungkin hendak dilakukan Milan untuk menyeimbangkan keuangan mereka lewat perusahaan-perusahaan milik bos baru mereka, Li Yonghong. Meskipun begitu, nantinya UEFA akan meninjau langsung untuk menghindari kesepakatan yang tidak sesuai dengan nilai pasar alias main mata.
Namun jika klub pada kenyataannya melanggar aturan FFP, sejumlah hukuman sudah menanti. Dimulai dari peringatan, teguran, denda, pengurangan poin, penundaan pendapatan dari kompetisi UEFA (Liga Champions/Liga Europa), larangan pendaftaran pemain baru dalam kompetisi UEFA, pembatasan jumlah pemain untuk pendaftaran skuat UEFA, didiskualifikasi dari kompetisi UEFA, hingga pencabutan gelar juara untuk kompetisi UEFA.
Sejumlah kesebelasan pernah merasakan berbagai hukuman ini. Besiktas pernah dicabut lisensi klub UEFA mereka sehingga tidak bisa berlaga di kompetisi Liga Champions atau Liga Europa selama satu musim, Levski Sofia dari Bulgaria pernah mendapatkan denda sebesar 200 ribu euro plus pengurangan skuat UEFA selama satu musim, PSG dan Manchester City juga pernah didenda hingga 60 juta euro termasuk penundaan hadiah 40 juta euro dan pembatasan jumlah pemain hingga 21 pemain.
Masih banyak lagi kesebelasan yang terkena hukuman gara-gara melanggar aturan FFP ini karena tidak cermat dalam perhitungan finansial. Karenanya, tim akuntan setiap kesebelasan akan menjadi penting untuk menghindari klub dari hukuman FFP. Tapi itu pun tak lepas dari kebijakan-kebijakan klub termasuk terwujud atau tidaknya sebuah klub dalam satu musim.
Dengan adanya FFP, semua kesebelasan Eropa dituntut untuk lebih bisa mengakali keuangan mereka jika berencana akan memiliki pengeluaran besar dalam satu musim. Maka tak heran belakangan ini banyak kesebelasan yang meminjam pemain selama satu atau dua musim dengan opsi pembelian. Opsi seperti ini bisa menentukan apakah membeli sang pemain atau tidak dengan melihat, selain kebutuhan tim, juga laporan keuangan mereka apakah aman dari batas kerugian FFP atau tidak pada saat "tutup buku".
Komentar