Stadion St Jakob, Basel, Swiss, 20 Juni 1954. Tim nasional Hungaria yang tengah berada di masa jaya mempecundangi tim nasional Jerman Barat. Empat gol Sándor Kocsis, dua gol Nándor Hidegkuti, dan masing-masing satu gol dari Ferenc Puskás dan József Tóth hanya mampu dibalas tiga gol Alfred Pfaff, Helmut Rahn, dan Richard Hermann. Hungaria â yang pada pertandingan pertama mengalahkan Korea Selatan sembilan gol tanpa balas â memenangi pertandingan melawan Jerman Barat dengan skor meyakinkan 8-3.
Empat belas hari berselang, Jerman Barat kembali bersua Hungaria. Kali ini di laga final, di Stadion Wankdorf yang terletak di Bern. Hungaria tak pernah tekalahkan sejak 14 Mei 1950; lebih dari empat tahun. Ditambah hasil pertemuan terakhir kedua kesebelasan, Hungaria menyandang status unggulan. Reputasi Hungaria yang mentereng, dengan pemain-pemain luar biasa, yang membuat mereka dijuluki Magical Magyars atau The Golden Team dan bahkan menjadi katalis bagi kebangkitan sepakbola Brazil, memang mudah membuat orang mengunggulkan mereka.
Dalam Piala Dunia 1954 ini, yang diwarnai oleh lolosnya Korea Selatan setelah mempecundangi Jepang dengan cara mengancam para pemainnya akan diceburkan ke laut jika kalah dari Jepang, Jerman Barat untuk pertama kalinya memperlihatkan diri sebagai raksasa sepakbola. Padahal belum terlalu lama Jerman menjadi bangsa paria yang dipermalukan dan dikalahkan dalam Perang Dunia II.
Sebagai tambahan, usia federasi sepakbola Jerman sebenarnya "baru" berusia empat tahun. Berdiri pada 1900, DFB (federasi sepakbola Jerman) vakum pada 1940 karena agresifitas Jerman di kancang Perang Dunia. Mereka baru bangkit lagi justru setelah kekalahan di Perang Dunia II itu. Namun baru pada 1950, tepatnya pada 22 September 1950, DFB kembali bisa bergabung dengan FIFA.
Hasil pertandingan, pada akhirnya, membuktikan banyak orang salah. Hungaria yang perkasa pada akhirnya gagal menjadi juara. Di laga final, Jerman bermain dengan semangat spartan, tak kenal lelah dan berjuang hingga akhir. Kendati tertinggal lebih dulu, Jerman pelan tapi pasti akhirnya tampil perkasa, dan sejak laga itulah predikat Jerman sebagai kesebelasan yang lambat panas, sebagaimana mesin panser, mulai dikenal luas dan melekat.
Baru enam menit pertandingan berjalan, Puskás membuka keunggulan Hungaria. Dua menit setelahnya, Hungaria menggandakan keunggulan lewat Zoltán Czibor. Jerman Barat memangkas ketinggalan pada menit kesepuluh lewat Max Morlock. Di menit ke-18, keadaan kembali berimbang setelah Helmut Rahn menyarangkan bola di gawang kawalan Gyula Grosics, penjaga gawang tangguh Hungaria yang sama pentingnya dengan para pemain depan.
Pada babak kedua, Hungaria terus menerus menghujani gawang Jerman Barat. Namun gol tambahan yang mereka cari tak juga mereka dapatkan. Malah Jerman Barat yang menemukan gol penentu kemenangan, enam menit sebelum waktu normal berakhir.
Puskás sebenarnya berhasil mencetak gol di menit ke-89; gol penyeimbang yang akan memaksa pertandingan kembali imbang jika saja gol tersebut dinyatakan sah. Namun Puskás, menurut hakim garis, terlebih dahulu offside (Puskás, hingga akhir hayatnya, masih enggan mengakui keputusan hakim garis karena menurutnya gol yang ia cetak sah). Skor 3-2 untuk keunggulan Jerman Barat bertahan hingga wasit William Ling asal Inggris meniup peluit panjang.
Jerman memenangi pertandingan yang selamanya dikenang sebagai Mukjizat Bern.
Mukjizat Bern menjadi awal kehancuran sepakbola Hungaria. Bagi Jerman Barat sendiri, kemenangan ini adalah momen penting bagi negara. Jerman Barat, selepas Perang Dunia II, adalah negara yang sengsara. Kekalahan perang meninggalkan kerusakan dan kehancuran, serta kelaparan dimana-mana. Semangat hidup rakyatnya hancur. Mereka malu mengaku sebagai rakyat Jerman Barat karena Adolf Hitler telah mencoreng muka negara. Di mata dunia, Jerman Barat adalah aib. Menjadi warga Jerman Barat bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.
Namun Mukjizat Bern mengubah segalanya. Saat Jerman Barat dinyatakan menjadi juara dunia, seisi Jerman Barat berpesta. Tak hanya itu, mereka kembali mau dengan bangga mengakui diri sebagai rakyat Jerman Barat. "Orang-orang tidak berkata para pemain tim nasional menjadi juara dunia," kenang Horst Eckel. "Mereka berkata: 'kamilah juara dunia.' Rasa kebersamaan Jerman Barat tiba-tiba saja kembali."
Inovasi Adidas pada setiap sepatu yang dikenakan para pemain Jerman Barat disebut-sebut menjadi kunci kemenangan die Mannschaft. Di lapangan yang berlumpur, para pemain Hungaria kesulitan mengembangkan permainan. Jangankan itu, bergerak pun mereka tidak leluasa.
Para pemain Jerman Barat, di lain pihak, tidak menemui kesulitan serupa karena sepatu mereka mencengkeram kuat permukaan lapangan. Selain Adidas, ada sosok lain yang pantas diberi pujian atas keberhasilan Jerman Barat mengangkat tinggi trofi Piala Dunia untuk kali pertama. Sosok yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan adalah Josef Herberger. Pria yang akrab disapa Sepp tersebut, boleh dibilang, membawa Jerman Barat menjuarai Piala Dunia dengan kepercayaan diri tinggi.
Sepp Herberger rupanya sengaja menyimpan para pemain utama kesebelasannya ketika berhadapan dengan Hungaria untuk kali pertama. Ia melakukannya agar Hungaria merasa berada di atas angin saat kembali berjumpa Jerman Barat di laga final.
Ya, Herberger yakin dirinya mampu membawa Jerman Barat â tim kurcaci dari negara yang hancur karena kalah perang; kesebelasan kecil yang mayoritas pemainnya adalah pemain amatir â ke final. Dan ia yakin bahwa lawan yang akan ia hadapi di partai pamungkas adalah Hungaria.
Semua prediksi Herberger terbukti benar. Saat kembali berhadapan dengan Hungaria di final, ia menurunkan semua pemain utamanya untuk menghadapi Hungaria yang berbeda; Hungaria yang merasa mampu mengalahkan Jerman Barat dengan mudah. Hungaria pun menghadapi Jerman Barat yang sama sekali berbeda. Komposisi pemain Jerman Barat yang mereka hadapi di Bern berbeda dengan Jerman Barat yang mereka hadapi di Basel.
Selebihnya adalah sejarah; sejarah yang diciptakan oleh Sepp Herberger yang, jika masih hidup, akan merayakan ulang tahunnya yang ke-118 pada hari ini.
Komentar