Tim Nasional Brasil memainkan pertandingan kedua mereka di Piala Dunia 1970. Selecao menghadapi Inggris di Guadalajara. Sekitar 7.836 km ke arah tenggara, di Sao Paulo, seorang bocah bernama Marcos Evangelista de Morais lahir.
Brasil memenangi pertandingan melawan Inggris 1-0. Empat pertandingan setelahnya mereka menangi pula. Sang bocah tumbuh dari hari ke hari. Brasil meraih gelar juara dunia mereka yang ketiga. Sang bocah mendapat nama panggilan Cafu.
Brasil terus dan terus berusaha menambah koleksi trofi Piala Dunia mereka setelah Meksiko 1970. Namun Brasil terus dan terus gagal. Mereka baru bisa kembali memenangi final Piala Dunia dengan Cafu sebagai bagian dari tim.
Amerika Serikat 1994 menjadi Piala Dunia pertama Cafu. Perannya tak lebih dari pemain pengganti. Jika bukan karena Jorginho cedera, ia mungkin tak tampil di final.
Empat tahun berselang peran Cafu sama sekali berbeda. Ia sudah menjadi pemain utama. Di final, seperti di pertandingan-pertandingan lainnya, Cafu tampil sejak menit pertama. Hasil akhir Perancis 1998, walau demikian, berbeda dengan AS 1994. Cafu dan Brasil kalah tiga gol tanpa balas.
Perjalanan Brasil ke Korea/Jepang 2002 tidak mulus. Situasi Cafu juga kurang menyenangkan. Oleh Kepala Pelatih Tim Nasional Brasil Wanderley Luxemburgo, peran kapten Cafu dicabut setelah sang pemain mendapat kartu merah dalam pertandingan kualifikasi melawan Paraguay. Luxemburgo dipecat tidak lama setelahnya. Posisinya digantikan Luiz Felipe Scolari.
“Aku kapten di setiap pertandingan kualifikasi Piala Dunia hingga Scolari mengambil alih dan memberi ban kapten kepada Emerson—pemain hebat yang sudah dia kenal dengan baik sejak mereka masih di Gremio. Scolari mendatangiku dan menjelaskannya dan aku bilang tidak apa-apa; yang aku mau hanya menjadi juara dunia lagi. Dia tidak menyangka jawabanku, dan kami menjadi teman.”
Emerson menderita cedera bahu saat kualifikasi. Scolari mengembalikan ban kapten kepada Cafu, yang meminta sang pelatih tetap membawa Emerson ke Piala Dunia. “Tapi aku tak berdaya di situ; Scolari menggantinya dengan Ricardinho,” ujar Cafu.
Seperti Piala Dunia 1970, Brasil memenangi semua pertandingan di Piala Dunia 2002. Cafu merasa berada di puncak dunia. Begitu tinggi sampai ia tak sungkan meminta Sepp Blatter dan Pele membantunya memegangi meja pajang trofi Piala Dunia. Meja pajang itu untuk piala, bukan manusia; Cafu tetap naik. Sambil mengangkat tinggi Piala Dunia Brasil yang kelima, Cafu berteriak: “Regina, eu te amo!”—”Regina, aku mencintaimu!” Semuanya terjadi begitu saja, tanpa rencana.
“Ketika aku menulis ‘100% Jardim Irene’ di kausku, dan memberi penghargaan kepada Regina, aku tidak merencanakan itu sebelumnya. Aku tidak tahu semua ini akan terjadi,” ujar Cafu berkisah, sebagaimana dikutip dari laman web FIFA. “Regina sudah bersamaku selama lebih dari 30 tahun dan aku rasa adil memberinya penghargaan di saat itu, mengingat banyak hal yang telah kami lalui bersama.
“Soal Jardim Irene, itu favela tempatku lahir, tumbuh, dan sekarang punya yayasan. Aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa seseorang yang datang dari lingkungan sederhana, tanpa prospek sama sekali, tetap bisa menjadi atlet hebat dan pribadi yang baik.”
Cafu terus bermain setelahnya. Ia bahkan masih menjadi kapten tim di Piala Dunia 2006. Langkah Brasil di Jerman, walau demikian, terhenti di perempat final. Cafu kecewa, tapi tak menyimpan banyak penyesalan. Biar bagaimana, ia satu-satunya pemain yang bisa tampil di tiga final Piala Dunia berturut-turut.
Komentar