Pada Sebuah Tempat Bernama Stadion

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Pada Sebuah Tempat Bernama Stadion

Dikirim oleh R.M. Agung Putranto Wibowo


Jika kau hendak menemukan kebahagiaan, pergilah ke stadion.

Jika kau hendak melepas teriakan, lepaskanlah di dalam stadion.

Jika kau hendak menemukan pasangan hidup, carilah di stadion.

Jika kau hendak lari dari perasaan bimbang yang mempersempit hati, teguhkan ia untuk merapat ke stadion; niscaya hatimu kembali luas seluas semesta yang bertaburan bintang.

Jika kau hendak mengetahui arti cinta sejati, ketahuilah di stadion; niscaya kau akan membongkar misteri cinta yang selama ini menggelora di dada.

Jika kau hendak melihat air mata, jangan ragu untuk menyaksikan kejamnya stadion.

Jika kau sudah bosan dengan musik-musikmu, dengarkanlah musik yang menggetarkan di stadion.

Jika kau menyukai kedamaian, coba berdamailah dengan stadion.

Ya, tempat itu bernama stadion!

Stadion merupakan panggung drama sembilan puluh menit lamanya bagi keagungan para pihak yang terlibat dalam permainan sepakbola. Mereka berseteru di atas lapang rumput yang dikelilingi tanpa ragu oleh pilar-pilar beton pilihan yang berdiri dengan gagah. Stadion kerap menjadi saksi bisu perhelatan drama yang mempertontonkan beragam aksi dan visi misi berbalut strategi. Bahkan perhelatan nan dramatis itu pada akhirnya juga akan bermuara ke hati serta memori para suporter.

Tempat Awal atau Tempat Akhir?

Kekuatan sihir stadion mampu menjadikannya tempat awal dirajutnya kisah percintaan anak manusia dengan kemolekan permainan sepakbola. Mata lampu stadion sanggup menerangi cahaya penerang untuk hati anak manusia yang dahulu gelap gulita, sehingga pijarnya menjadi saksi perpaduan kasih sempurna antara kesebelasan dan cinta buta suporter; tiada peduli ratusan tetes air hujan, tiada peduli tajamnya sorotan mentari ke arah mereka, selama tim kesayangannya tengah berjibaku layaknya seorang gladiator, mereka akan senantiasa berdiri tegak di dalam stadion.

Keseriusan dalam membangun kemegahan stadion juga sempat membuat Afrika Selatan menjadi negara Afrika pertama yang mampu menggelar Piala Dunia, sekaligus juga akhir yang malang bagi ribuan pekerja yang telah berkorban nyawa demi berdirinya pilar-pilar yang angkuh menjulang. Pilar-pilar ini pula yang kemudian menjadi rangka utama terbentuknya stadion berbentuk oval, rumah untuk lapangan rumput berbentuk persegi panjang.

Adalah hal yang lumrah bila stadion selalu menjadi daya tarik utama bagi sebuah kejuaraan sepakbola, karena di dalamnya tersimpan berjuta susunan sandi yang menjadi pesan persaudaraan bagi seluruh pesertanya.

Terkadang tempat magis dan religius itu pula yang menjadi akhir dari segala cita dan harapan; baik bagi suporter maupun para pemain, entah bahagia atau durjana. Stadion sangat mungkin mengakhiri penantian serta harapan sebuah kesebelasan untuk dapat merengkuh gelar juara. Tentu masih segar dalam ingatan bagaimana klub kaya bergelimang harta asal Inggris, Manchester City, membuat lutut para suporternya lemas dan seketika itu juga mati rasa karena Etihad Stadium pada 2012 lalu menjadi saksi bisu bagi tim yang belum pernah merengkuh gelar juara Barclays Premier League tersebut mengakhiri penantian panjangnya.

Saat itulah penantian panjang yang berlangsung lebih dari empat puluh tahun lamanya tersebut berakhir. Manchester City secara dramatis dinobatkan sebagai yang terbaik di negeri Ratu Elizabeth. Tendangan keras Kun Aguero di menit-menit akhir laga menghunjam gawang Queens Park Rangers. Seketika itu terciptalah euforia di semua sudut stadion.

Kejamnya stadion juga pernah melahirkan kisah durjana tentang hilangnya nyawa sembilan puluh enam pecinta sepakbola. Pada 15 April 1989, mereka meregang nyawa di sebuah tempat suci bernama Stadion Hillsborough.

Dengan cara berbeda stadion pernah menorehkan luka di hati Bayern Munchen dan seluruh pendukungnya. Kesebelasan terbaik Jerman tersebut dipaksa menanggung malu di rumah sendiri, Allianz Arena, pada malam final Liga Champions 2012. Tiada mampu penulis mendeskripsikan betapa paraunya tangisan kesebelasan berjuluk FC Hollywood itu kala mereka takluk secara tragis di partai final lewat drama adu penalti melawan kesebelasan yang tiada sempat diunggulkan, Chelsea FC.

Malam itu sepanjang pertandingan, kaki-kaki lincah para pemain Bayern tampak begitu atraktif dan mampu menguasai jalannya laga. Namun sayang seribu sayang, tuah Allianz Arena menjadi akhir yang sangat amat buruk bagi sang empunya stadion.Sebaliknya bagi Chelsea, stadion berkapasitas 71.137 kursi tersebut itu menjadi awal manis. Di Allianz Arena, Chelsea menjuarai Liga Champions untuk kali pertama.

Kuantitas atau Kualitas?

Benarkah stadion yang baik adalah tempat yang sanggup menampung sebanyak-banyaknya manusia? Benarkah stadion yang baik adalah stadion yang terang-benderang di kala malam? Benarkah stadion yang baik adalah tempat yang terletak di kawasan padat penduduk agar mudah dijangkau? Benarkah stadion yang baik adalah tempat yang sanggup memproduksi jutaan desibel kebisingan tiap menitnya?

Penulis patut berterima kasih kepada pesatnya perkembangan zaman yang membuat kita tiada perlu terbang ribuan kilometer jaraknya hanya untuk menyaksikan kesebelasan favorit berlaga. Dewasa ini hanya dengan sentuhan jemari tangan, kita dapat menyaksikan secara langsung kesebelasan favorit berlaga lewat layar kaca. Untuk apa mengeluarkan uang hingga puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah jika kita dapat menyaksikan tayangan sepakbola sembari duduk manis di sofa rumah? Jika seluruh orang di dunia berpendapat seperti penulis, sudah tentu kursi-kursi di stadion menjadi kosong-melompong dan membuat pertandingan menjadi nihil kualitas.

Ternyata kehadiran suporter ke dalam stadion masih menjadi unsur penting dalam permainan sepakbola. Terlebih lagi di era sepakbola industri seperti saat ini, kehadiran suporter merupakan berkah bagi perbendaharaan kesebelasan. Adapun yang menjadikan kehadiran suporter di dalam stadion begitu penting bagi kesebelasan yang bertanding adalah soal dukungan. Secara psikologis, tentu hal ini akan mengangkat performa pemain dan disaat bersamaan menjatuhkan mental bertanding lawan. Sehebat itulah efek kehadiran langsung para suporter di stadion.

Aneh rasanya melihat dua kesebelasan saling berjibaku dan menerapkan strategi di lapangan tanpa sepasang mata pun di stadion yang menyaksikan permainan mereka. Meskipun demikian, jumlah penonton yang menyaksikan langsung sebuah pertandingan sepakbola juga bukan ukuran kualitas suatu pertandingan. Penulis masih ingat bagaimana dua musim berturut-turut klub Manchester City diejek oleh para penggemar sepakbola di media-sosial, karena ketika bertanding di hadapan publik sendiri—di stadion kebanggaan klub, mereka malah didukung dan ditonton oleh beberapa bangku kosong yang secara malu-malu mempertontonkan kehampaannya. Tidak ada kebisingan para pendukung setia di dalamnya. Lebih parah lagi kursi-kursi stadion terisi penuh oleh manusia yang sibuk memotret pemain atau sekadar berbincang dengan manusia lain di kursi-sebelah yang baru saja dikenalnya. Itulah yang mereka lakukan, bukan mendukung kesebelasan yang sedang bertanding.

Kualitas sebuah pertandingan sepakbola ditentukan oleh beberapa hal. Di antaranya adalah kualitas lapangan pertandingan, gemuruh suporter yang dengan lantangnya memekik nyanyian-nyanyian rindu kejayaan, tarian-tarian para pesepakbola kelas satu, strategi jitu para konseptor yang bersitegang di pinggir lapangan, para pengadil pertandingan yang parasnya seperti malaikat pencabut nyawa, bangunan kokoh nan erotik yang mengelilingi seluruh bagian panggung permainan, dan terakhir campur tangan alam yang kerap mengubah jalannya pertandingan.

Terkadang kuantitas penonton di stadion juga menentukan, namun kuantitas tiada dapat membeli kualitas. Dan sudah menjadi fitrah kualitas untuk menjadi indikasi sebuah permainan berkelas.

Ditakuti atau Diandalkan?

Keunikan stadion juga terletak pada hubungan batiniah antara stadion selaku markas kesebelasan dengan kesebelasan yang bernaung di dalamnya. Kesebelasan-kesebelasan besar masing-masing memiliki stadion kebanggaannya sendiri sekaligus menjadi tumpuan yang dapat diandalkan kala hasil akhir pertandingan haruslah berupa kemenangan.

Sebaliknya, bagi kesebelasan tamu yang bertandang ke markas lawan, bermain di stadion sama halnya dengan bermain di hamparan lumpur penuh ranjau. Walau kualitas rumput, struktur bangunan stadion, dan luas lapangan sebagai arena bertarung sama persis dengan kandang mereka, mengapa tim lawan harus ekstra hati-hati kala bertandang ke markas lawan? Mengapa stadion yang secara fisik menyuguhkan keanggunan dan keindahannya mesti ditakuti?

Ternyata bukan fisik stadion yang mengintimidasi, tetapi daya magis stadion itu yang mampu menyihir kesebelasan lawan. Tak jarang, mereka datang hanya untuk dipermalukan oleh kesebelasan tuan rumah lalu pulang dengan terhuyung sambil mengutuk irama-irama sumbang dari gaung kemenangan di dalam stadion.

Stadion: satu kata yang menyimpan dua makna bersinggungan. Di saat yang bersamaan sebuah stadion dapat menjadi tempat ternyaman di dunia bagi kesebelasan tuan rumah, sembari menjadi tempat pembantaian bagi kesebelasan tamu. Di satu malan dingin yang sama pula rintik hujan yang turun membasahi stadion dapat menjadi berkah bagi para suporter tuan rumah, dan menjadi jarum yang mampu melukai setiap suporter lawan. Kala panas menyerang stadion, pendukung tuan rumah menyambutnya sebagai kehangatan alam sementara pendukung kesebelasan tamu merasakan sengatan surya.

Nuansa yang dihadirkan di dalam stadion adalah gambaran surga sekaligus neraka. Aura yang hadir di sekitaran stadion mampu membuat bulu kuduk mereka yang berada di luar begitu cepatnya berdiri ketakutan atau berdansa mengikuti alunan nada.

Ya, tempat itu bernama stadion!

*Penulis: Agung Putranto Wibowo, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bisa dihubungi melalui akun twitter: @agungbowo26

Komentar