Oleh: Mukhammad Najmul Ula
Kapitalisasi kompetisi tertinggi sepakbola Inggris yang telah dimulai sejak musim 1992/1993 telah menimbulkan konsekuensi amat logis: Liga Inggris lebih mendunia sehingga pelakon dari seluruh dunia mulai merambah ke tanah Elizabeth.
Liga Primer telah berubah dari hanya sekadar tontonan pemuda tanggung di kawasan lokal menjadi hiburan utama kawula lintas usia di penjuru dunia. Dari hanya 13 pemain impor pada musim perdana menjadi 366 pemain asing pada musim ini. Bila dulu Arsene Wenger merasa kesepian karena nyaris tanpa kolega asing, kini justru Eddie Howe yang minim kawan seperjuangan setanah air.
Realita ironis yang tidak dapat ditemukan di liga besar Eropa lain ialah, belum ada pelatih lokal yang menjuarai Liga Primer. Sepanjang pagelaran Liga Primer yang pada musim ini menginjak usia perak (25 tahun), baru ada dua pelatih yang berbahasa ibu Bahasa Inggris, yakni Kenny Dalglish dan Sir Alex Ferguson yang menjuarai Liga Primer. Namun, dua-duanya orang Skotlandia, bukan orang Inggris.
Bersanding dengan mereka, hanya ada enam orang dengan latar belakang budaya berbeda, yaitu Arsene Wenger, Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, Roberto Mancini, Manuel Pellegrini, dan Claudio Ranieri yang berhasil menjuarai Liga Primer. Masing-masing dari mereka tentu punya pendekatan tersendiri dalam usahanya meraih poin sebanyak-banyaknya dalam satu musim kompetisi. serta memiliki gaya main berbeda yang disesuaikan menurut situasi musim saat itu.
Lantas, di manakah posisi para pelatih Inggris sepanjang 25 tahun terakhir? Edisi terakhir Liga Inggris lama dijuarai Howard Wilkinson, putra Sheffield bersama Leeds United. Sejak saat itu, praktis tidak ada pelatih lokal yang konsisten bersaing di jalur juara. Hanya ada nama-nama macam Harry Redknapp, Steve McClaren, atau Alan Pardew yang sempat menggoyang tatanan paruh atas klasemen.
Lain dari itu, produk lokal lebih sering dipakai oleh tim-tim medioker seperti Alan Curbishley, Neil Warnock, atau Sean Dyche. Nama terakhir boleh disebut sebagai pelatih muda percontohan untuk mengkreasi tim Liga Primer dengan skuad pas-pasan. Dyche saat ini memanajeri Burnley, tim yang berkandang di stadion kecil bernama Turf Moor.
The Clarets amat kontras dengan juara bertahan Chelsea meskipun ditukangi dua pelatih yang menyembah pertahanan gerendel. Burnley dikenal sebagai tim ortodoks dengan nyaris semua pemain utamanya berasal dari Britania Raya. Dengan sumber daya semacam ini, penggemar Liga Primer rasanya langsung bisa menebak ciri utama klub-klub semacam itu: pemain-pemain bertubuh tinggi besar, punya kebiasaan mengirim umpan lambung, irit penguasaan bola, dan tak jarang membunuh waktu secara mengesalkan.
Laga pertama musim ini melawan Chelsea menjadi bukti terbaru masih pakemnya eksplorasi Dyche bersama klub itu sejak promosi. Menurut Whoscored, mereka inferior dalam hal penguasaan bola, yakni cuma mencatat 38,1% penguasaan bola meski unggul jumlah pemain, dan hanya 75% diantara umpan-umpan mereka yang tepat sasaran.
Sebaliknya, mereka superior untuk urusan kemenangan duel udara, yaitu 22 berbanding 17. Tiga gol The Clarets bisa dikatakan merupakan pola lama. Penyerang tunggal Sam Vokes menjadi target utama para pemberi umpan silang, yang pada pertandingan itu berhasil dua kali menjebol gawang Thibaut Courtois. Sisi sayap benar-benar dieksploitasi Mathew Lowton dan kawan-kawan. Dua gol Vokes berasal dari progresi di sayap kanan dan gol Stephen Ward juga bermula dari sisi sayap, kali ini sayap kiri.
Pada pertandingan itu pula kita dapat menyaksikan kebiasaan laten Burnley. Para pemain selalu mencari cara agar dijatuhkan lawan, dan ketika wasit sudah memutuskan pelanggaran telah terjadi, bola akan diserahkan kepada kiper Tom Heaton (apabila tendangan bebas diambil di daerah sendiri) dan Robbie Brady (apabila di dekat kotak penalti lawan).
Tentu saja proses melangkah Heaton menuju titik tendang, lalu pemain depan menata diri—kadang menunggu duet bek tengah ikut maju, dan ancang-ancang dari Heaton sendiri memakan detik demi detik yang sangat berharga bagi Chelsea. Efeknya bagi penonton, penggemar Chelsea geregetan menyaksikan situasi seperti itu. Penonton netral kecewa akibat terlalu seringnya permainan terhenti, dan penggemar Burnley manggut-manggut saja melihat klub mereka meraih kemenangan langka di rumah orang.
Sean Dyche, manajer Burnley. Foto: @Burnlev
Dyche’s Way yang pemirsa nikmati pada dua musim terakhir sebetulnya memiliki pendahulu. Tony Pulis-lah orangnya. Ia menanamkan filosofi direct ball di Stoke City yang oleh Arsene Wenger disebut “sepakbola rugby” saking kerasnya klub asuhan Pulis. Manajer asal Wales tersebut membangun reputasi sebagai pelatih kolot yang mampu bertahan di Liga Primer dengan bujet minim, dengan gaya main umpan lambung, dan mengizinkan pemainnya menyarangkan tekel brutal.
Di dua klub berikutnya, Crystal Palace dan West Bromwich Albion, Pulis tidak meninggalkan identitasnya dengan tetap menitikberatkan taktik pada penumpukan pemain di depan kiper dan membiarkan lawan menguasai bola hampir di setiap pertandingan.
Dengan gaya seperti itu, tak heran jika di tiap klub Pulis sangat diperhitungkan tetapi cenderung dibenci. Juergen Klopp pun terlihat sewot menghadapi gaya main Pulis. Pada Desember 2015, timnya hanya sanggup menahan imbang West Brom-nya Pulis pada menit terakhir setelah timnya dicecar tanpa henti melalui bola mati dan umpan lambung.
“Kami tidak memiliki masalah dengan klub yang bermain bertahan, tetapi jika tim itu hanya mengandalkan umpan lambung, mereka tidak boleh menang. Laga ini tidak mudah. Kami bermain melawan tembok yang hanya memainkan bola-bola panjang dan mengincar tendangan bebas,” ujar Klopp pada konferensi pers pasca laga. Tensi tinggi antara dua manajer sepanjang pertandingan membuat keduanya tidak berjabat setelah pertandingan usai.
Pada pertandingan perdana musim ini saja, The Baggies berhasil unggul satu bola atas Bournemouth, lagi-lagi lewat bola mati melalui sundulan bek jangkung Ahmad Hegazy. Gelagat sepakbola rugbi masih tercium di The Hawthorns. Dasar keras kepala, Pulis sudah sejak jauh hari membela taktiknya.
“Ada banyak klub yang punya pemain, bujet, dan fasilitas jauh lebih baik dibanding dirimu dan karenanya kau harus mencari cara untuk menang. Itulah yang telah kulakukan dan akan kulakukan, memanfaatkan kekuatan tim ini,” ujar Pulis.
Tony Pulis, yang menerapkan sepakbola rugby. Foto: @SquawkaNews
Pelatih semodel Dyche dan Pulis memang tak menampilkan sepakbola menarik seperti halnya pelatih Eropa daratan. Dibenturkan dengan para pendatang tersebut, baik Dyche dan Pulis merasa, pelatih asal Britania dianggap sepi dan pelatih asing dianggap seksi. Simak ucapan Dyche berikut.
“Mereka mempertanyakan formasi 4-4-2 pada musim pertamaku di Liga Primer. Lalu kemudian semua orang memakainya pada musim kemarin dengan bergumam ‘Claudio Ranieri luar biasa, fantastis, jenius!’ Juergen Klopp lalu datang dan ikut memainkan 4-4-2 dilengkapi pressing dan pemainnya tak berhenti berlari. Orang-orang berpikir itu (taktik Ranieri dan Klopp) luar biasa. Bukankah Sean Dyche dari Burnley sudah mengerjakan hal yang sama setahun sebelumnya?”
Pulis menyetujui pendapat sejawatnya. Dia menyindir, “Mereka (pelatih asing) datang ke Inggris. Mereka seksi, membawa gaya baru, dan mencerahkan Liga Primer. Bukan masalah bagiku,” seperti dilansir Birmingham Mail, Pulis menjabarkan “Pressing tempo tinggi milik Sean Dyche tidak disambut sebagaimana Jeurgen Klopp dipuja-puji. Pada dasarnya gagasan Klopp tidak ada bedanya dengan pendekatan diriku dan Dyche”, ujar Pulis.
Syahdan, dua manajer konservatif Britania sudah saling merangkul. Idealisme mereka tentang bagaimana sepakbola dirayakan dikepung banyak tesis asing. Mereka melawan dengan kepercayaan bahwa uang tidak dapat merobohkan tembok-tembok tinggi. Bersiaplah menanti pertandingan berat sebelah tiap kali tim jagoan anda menghadapi West Brom dan Burnley, tetapi ingat selalu, mereka menyengat di udara!
foto: @Squawka
Penulis adalah mahasiswa yang menganggap sepakbola dan ilmu politik dua hal paling menggairahkan di dunia. Bisa dihubungi lewat @najmul_ula
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar