Oleh: Jonathan Manullang
Tahun 2006, seorang sutradara asal Iran bernama Jafar Panahi, merilis film panjang berjudul Offside. Kisahnya, terinspirasi dari pengalaman serupa milik putri sang sineas, tampil amat sederhana: seorang gadis nekat menonton pertandingan kualifikasi Piala Dunia antara Iran melawan Bahrain secara langsung. Walau ia tahu hukum yang berlaku tidak mengizinkan perempuan memasuki stadion dengan alasan tingginya risiko kekerasan fisik maupun pelecehan verbal.
Berkat keberanian Jafar mengangkat isu ini, Offside menerima sambutan luar biasa dari berbagai festival film internasional, namun pemerintah Iran melarang pemutarannya di dalam negeri sampai hari ini.
Karya sinematik bernuansa politis di atas cuma satu dari sekian banyak sampel yang menunjukkan interdisiplinernya sepakbola dengan perihal ideologi. Kita semua sadar betul bahwa sepakbola adalah sebuah fenomena kultural yang sangat unik. Belum ada jenis olahraga lain yang berkembang dan menyebar sedemikian rupa hingga mendunia seperti sepakbola.
Kelahiran basis pendukung/suporter kemudian menjadi salah satu imbas rasional dari karisma permainan ini. Jutaan orang menonton serta berpartisipasi di dalam ekosistem global sepakbola lantas menjadikannya lahan subur bagi pertumbuhan perjuangan ideologis.
Di luar gerakan buruh, hanya tersisa sedikit sekali area bagi ribuan individu kelas pekerja untuk berkumpul dan memperjuangkan sebuah tujuan besar dalam konteks tatanan masyarakat modern. Tentu akan muncul komentar-komentar sinis berupa tudingan semangat tribalisme, namun sesungguhnya solidaritas antar pendukung kesebelasan yang berbeda selalu terasa kuat. Hal ini, bila dipromosikan dengan tepat, mampu menghadirkan dampak positif terkait kesadaran kritis kelompok kelas pekerja.
Akar Historis Kapitalisme dan Kontribusi Kelas Pekerja
Perkembangan sepakbola modern adalah refleksi dari perkembangan kapitalisme. Arsip sejarah Football Association (FA) menyebutkan bahwa klub resmi pertama yang terdaftar adalah Sheffield FC pada tahun 1854. Pendirinya: kaum industrialis dan para pedagang.
Setelah itu sepakbola dengan cepat bertransformasi menjadi olahraga idola penduduk urban. Pada tahun 1888 total kehadiran penonton sepakbola di Inggris sebanyak 4.600 orang. Tahun 1895 catatan presensi naik ke angka 7.900, dan saat Perang Dunia I pecah tahun 1914, presensi telah mencapai 423.100 orang.
Akar kuat kapitalisme tetap bertahan sampai sekarang. Tahun 1990, sepakbola dalam bingkai industri global telah mengukir rekor pertumbuhan finansial ketika di saat bersamaan istilah neo-liberal mulai booming di mana-mana. Tahun 1994, akumulasi final keuntungan FIFA melampaui nominal 225 miliar dolar. Tahun 1997, nilai industri sepakbola Eropa saja diperkirakan setara 10 miliar dollar. Setelah abad berganti, kita bisa menyaksikan bagaimana penetrasi taipan Rusia dan Timur Tengah mengubah peta permainan secara drastis.
Uniknya, kedekatan historis sepakbola dengan kaum industrialis dan para pedagang selaku representasi kapitalisme (belakangan kalangan aristokrat turut bergabung pula) justru berjasa mengenalkan olahraga tersebut kepada warga kelas pekerja. Tatkala para bos sibuk bermain maupun berbincang sesama mereka, buruh-buruh pabrik dan pelayan toko diam-diam mencuri dengar.
Sepakbola kemudian menjadi sangat familiar serta digandrungi oleh anak-anak mereka. Lambat laun, organisasi serikat pekerja dan komunitas-komunitas lokal mulai melirik pertandingan sepakbola sebagai jadwal rutin alternatif untuk berkumpul.
Sejarah sepakbola modern mulai bertautan erat dengan perjuangan buruh sejak Factory Act disahkan tahun 1850. Undang-undang itu mereduksi total jam kerja selama seminggu sehingga untuk pertama kalinya para buruh pabrik dapat bersantai di hari Sabtu siang. Seluruh pabrik pengolahan serta lahan eksploitasi bahan mentah wajib berhenti beroperasi pada pukul 14.00, lantas melahirkan tradisi sepak mula pukul 15.00 yang terus digunakan hingga kini.
Dampak sosial yang timbul pasca Factory Act adalah faktor utama mengapa kota-kota industri akhir abad 19 seperti Sheffield, Liverpool, Manchester, dan Glasgow menjadi basis pertama kemunculan klub-klub sepakbola profesional. Sepakbola lantas mengalami perubahan kultural lagi, kali ini menjadi semacam obsesi bagi kelas pekerja berkat kesuksesan klub-klub mereka, membuat warga kelas menengah yang hadir dalam organisasi suporter perlahan-lahan terpinggirkan.
Kepentingan ekonomi kapitalis Inggris di luar negeri turut pula mendistribusikan sepakbola secara tidak langsung. River Plate, salah satu klub terbesar di Argentina, didirikan oleh sekumpulan buruh yang sedang mengerjakan proyek British Railways. Pola serupa dapat pula kita jumpai di koloni Inggris lainnya yang tersebar di Asia dan Afrika.
Posisi Politik Klub Sepakbola
Bilamana muncul pertanyaan seputar klub yang terikat sejarah perseteruan politis, jawaban paling populer pasti tidak jauh-jauh dari Barcelona dan Real Madrid. Ketidakakuran kedua kesebelasan tersebut sejatinya dapat kita telusuri kembali pada aksi represif tahun 1936 yang menimpa kelompok anarkis dan sosialis Catalan oleh Jenderal Francisco Franco, seorang diktator legendaris sekaligus investor utama Real Madrid selaku ikon resmi fasisme Spanyol saat itu.
Ada banyak lagi contoh klub sepakbola yang tumbuh dari sejarah antagonisme sosial semacam ini. Masih dalam lingkup La Liga, kota Seville misalnya memiliki sepasang klub: Sevilla menyandang kultur tradisional sementara tetangganya Real Betis mengusung identitas kiri jauh sebab mayoritas pendukungnya berasal dari kelas pekerja.
Di Jerman, sebuah kota pelabuhan bernama Hamburg terbelah dua berdasarkan tendensi politis: Hamburg SV didukung kelas pekerja sementara St. Pauli terkenal memiliki basis pendukung dari kaum bohemian, anak muda punk, serta kelompok anti fasis.
Ciri klub sepakbola di Israel lebih menarik lagi: basis pendukung lebih sering bergantung pada afiliasi politis daripada letak geografis. Maka jika seorang aktivis sosialis tinggal di Kota Netanya, ia bakal sering berkunjung ke Kota Tel Aviv atau Kota Haifa untuk menonton sepakbola seraya bergabung dengan organisasi suporter setempat.
Secara historis, klub-klub Hapoel (termasuk Hapoel Tel Aviv dan Hapoel Haifa) berideologi kiri serta mencantumkan gambar palu-arit dalam badge mereka. Di sisi seberang, klub-klub Maccabi yang konservatif (seperti Maccabi Netanya) kerap mengibarkan bendera Bintang Daud sebagai logo resmi mereka.
Kembali ke Inggris, tepatnya London, mungkin sudah cukup banyak yang tahu kalau West Ham dan Milwall secara tradisional mengemban kegelisahan kolektif para buruh di area East End, kontras dengan Arsenal dan Fulham yang mengakomodasi dukungan penduduk kelas menengah.
Rivalitas terkuat antar klub berbasis antagonisme sosial mungkin terdapat di Amerika Latin. Di Brasil misalnya, pertentangan kelas paling kental tampak melalui konflik antara kelompok miskin Kota Rio de Janeiro yang mendukung Flamengo menghadapi kalangan ‘aristokratik’ milik Fluminense. Pindah ke Uruguay, kita akan menjumpai persaingan klasik kapitalis-marxis lewat Newell’s Old Boys yang dibangun oleh anak-anak ekspatriat asal Inggris dengan Rosario Central yang digawangi oleh para buruh British Railways.
Tak jarang pula sebuah klub sepakbola mengambil sikap proaktif demi mempromosikan ide-ide politik yang berani dan provokatif. Kegiatan-kegiatan edukatif yang dijalankan lantas menginspirasi massa pendukungnya untuk turun ke jalan mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai berat sebelah.
Penonton sepakbola di Skotlandia seringkali memanfaatkan jadwal laga internasional melawan timnas Inggris sepanjang dekade 1980-an guna melancarkan protes keras terhadap gaya kepemimpinan pemerintah konservatif di bawah pimpinan Margaret Thatcher. Di titik ini, banyak individu kelas pekerja (dengan pendampingan kaum intelektual liberal) telah melihat pertandingan sepakbola sebagai sarana alternatif buat berekspresi.
Tatkala isu apartheid tengah mencapai puncak konflik di Afrika Selatan, beberapa stadion sepakbola menyediakan tempat bagi masyarakat asli untuk berkumpul, berdiskusi, maupun berdebat mengenai beragam isu politik yang perlu respon cepat. Begitu pula ketika Rumania berhasil melaju ke putaran final Piala Dunia 1990 setelah mengalahkan Denmark, pesta pora para pendukung Rumania mendadak berubah menjadi perayaan anti pemerintah pusat Uni Soviet.
Transisi Peran Suporter
Mari berimajinasi barang sejenak. Di perhelatan Liga 1 2017 musim kompetisi 2017, hadir kesebelasan PS TNI sebagai wakil institusi pemilik lapangan sepakbola terbanyak di Indonesia. Bila di kemudian hari muncul sebuah klub sepakbola dengan mayoritas pendukungnya adalah anggota serikat buruh dan/atau aktivis kemanusiaan, maka laga antara PS TNI menghadapi klub terakhir bakal penuh dengan aroma politis.
Bukan tidak mungkin pula, laga mereka sanggup menyamai gengsi pertemuan klasik PSMS Medan lawan Persib Bandung atau duel panas Persija Jakarta lawan Persib Bandung, atau bahkan sepanas Derby d’Italia atau El Clásico. Oke, imajinasi di atas memang berlebihan. Setidaknya untuk saat ini.
Poin yang menjadi fokus penutup tulisan ini terletak pada perubahan porsi dan peran suporter/pendukung seiring zaman berlalu. Tatkala para taipan minyak dari Rusia dan Timur Tengah mengambil alih kepemilikan klub, para pendukung menunjukkan respon cepat lewat berbagai cara demi memproteksi klub yang mereka cintai bersama.
Upaya-upaya resistensi ini lantas melahirkan beberapa bentuk apresiasi seperti ketersediaan ruang akomodasi lebih luas terhadap aspirasi para pendukung maupun undangan resmi kepada representasi mereka untuk bergabung dalam dewan klub yang bertugas mengawasi pelaksanaan sistem manajemen klub secara profesional.
Dari level klub naik ke level kompetisi. Bundesliga menjadi contoh sukses terkini bagaimana sebuah liga nasional mengembangkan sistem yang ramah terhadap pendukung kesebelasan. Harga tiket paling murah diantara lima liga terbesar Eropa ternyata sanggup bersanding dengan pencapaian rata-rata presensi penonton tertinggi di Eropa.
Bundesliga juga menjadi liga nasional pertama yang menerapkan peraturan 50+1 (The 50+1 rule). Peraturan tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa setiap elemen keanggotaan resmi yang mungkin terdapat dalam struktur organisasi sebuah klub sepakbola (termasuk organisasi resmi suporter) wajib memegang minimum 51% kepemilikan demi mencegah entitas tunggal memegang kontrol dominan.
Yang paling menarik, sekian persen dari total pemasukan via penjualan tiket dialihfungsikan sebagai subsidi silang bagi biaya perjalanan para pendukung tatkala klub sedang melakoni pertandingan tandang. Kebijakan Bundesliga di atas sudah mencerminkan ciri-ciri sosialisme walau masih jauh dari model idealnya. Namun setidaknya kebijakan tersebut memberi harapan konkret yang harus tetap tumbuh di tengah penggerusan kapitalisme yang seakan tiada henti.
Mengutip kata-kata salah satu pemain legendaris Liverpool, John Barnes, “football is a socialist sport. Financially, some may receive more rewards than others but from a footballing perspective, for 90 minutes, regardless of whether you are Lionel Messi or the substitute right-back for Argentina, you are all working to the same end.”
Sepakbola modern bukan lagi sekadar olahraga. Kini sepakbola sudah menjadi entitas ekonomi, kultural, dan sosial yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penulis adalah pengidola Tony Stark dan Jose Mourinho, juga penggila Football Manager. Biasa berkicau via akun @nathanvers
Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis
Komentar