Oleh: Muhammad Fahmi Hasan Affandi
Mengapa pemain sepakbola kita jarang yang memiliki badan berotot besar dengan guratan serat otot yang kering? Pesepakbola seperti ini bisa banyak kita temukan pada diri Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, Hulk (apalagi ketika marah), Alexis Sanchez, Antonio Valencia, dan masih banyak lagi.
Pertanyaan seperti itu kerap muncul ketika kita melihat pesepakbola nasional bertanding ataupun latihan. Pertanyaan seperti itu mengusik penulis untuk memberikan sedikit gambaran manfaat otot dan sebab-akibat pemain kita sedikit yang memedulikan penampilan otot mereka.
Sebelum kita membahas sebab-akibat pemain Indonesia tidak banyak yang memiliki massa otot yang baik, mari kita lihat manfaat dari massa otot dan pengembangan massa otot untuk penampilan (performance) pemain.
Otot seperti apa sih yang baik untuk atlet dan pemain sepakbola? Tentu otot yang menghasilkan gerakan keras, cepat, dan dapat dilakukan berulang kali dalam waktu yang lama dengan rasa lelah yang seminim mungkin. Dengan begitu, pemain tersebut diharapkan dapat menendang bola dengan keras dan akurat, berlari dengan cepat, dan ia dapat melakukannya berulang kali selama 90 menit dan bahkan lebih.
Otot adalah bagian penting dalam tubuh. Dengan otot, tubuh kita dapat bergerak melalui rangkaian gerak yang bermula dari rangsangan kemudian menuju reseptor, dilanjutkan oleh neuron sensorik (bagian saraf) menuju ke otak, dan otak menghantarkan kepada neuron motorik (bagian saraf), kemudian dilanjutkan kepada efektor melalui otot dan diakhiri dengan terjadinya gerakan (contohnya menedang).
Dari rangkaian gerak tersebut, kita dapat melihat bahwa otot adalah proses gerakan akhir dari rangkaian gerak. Jadi, lambat atau cepatnya dan keras atau pelannya suatu gerakan tergantung pada kapasitas otot kita.
Tahapan latihan pengembangan otot
Lalu bagaimana otot kita dapat menghasilkan gerakan keras, cepat, dan dapat dilakukan berulang kali dalam waktu yang lama dengan rasa lelah yang seminim mungkin? Menurut teori dari ahli periodisasi program latihan olahraga, Tudor Bompa PhD, ada tiga tahapan yang harus dilalui.
Tahapan pertama adalah hypertropy. Tahapan ini ada di saat atlet fokus untuk memperbesar ukuran otot mereka. Sebagai contoh, untuk melakukan program tersebut seorang atlet harus melakukan gerakan bench press (gerakan yang mayoritas untuk melatih otot area dada) sebanyak 6-12 repetisi (pengulangan gerakan), dengan beban 40%-60% dari beban maksimal (di awal program dilakukan tes awal yang mengetahui gerakan maksimal atlet tersebut pada setiap alat, yang biasa disebut tes 1 Reptisi Maksimum).
Latihan baiknya dilakukan 2-4 kali selama satu pekan. Latihan ini disesuaikan dengan kondisi atlet tersebut. Jika atlet tersebut dianggap berada di tahap awal, untuk menghabiskan tahapan ini bisa mencapai 4-8 pekan. Tetapi jika atlet tersebut dianggap sudah memiliki kapasitas ukuran otot yang mempuni, bukan tidak mungkin tahapan hypertropy ini akan dilalui dengan waktu dibawah 4 pekan.
Kedua, power training. Tahapan latihan ini bermanfaat agar atlet dapat menghasilkan gerakan yang keras dan cepat. Bentuk latihannya pun dengan beban yang tinggi dan dengan gerakan yang eksplosif.
Terakhir, strength endurance. Tahapan daya tahan ini bermanfaat agar atlet dapat melakukan gerakan yang kuat dan cepat dengan berulang-ulang dalam waktu yang lama. Latihan dilakukan dengan beban yang tidak terlalu berat, namun dengan repetisi yang banyak.
Masalah (otot) pesepakbola Indonesia diawali ketika off-season
Dari urutan periodisasi latihan kekuatan tersebut, lalu apa yang menjadi permasalahan pemain sepakbola Indonesia? Apakah pelatih fisik kita tidak ada yang memahami teori tersebut? Apakah atlet-atlet di Indonesia tidak dapat menjalankan program tersebut? Jawabannya tentu bukanlah itu.
Jika ingin dipecah, tahapan awal atau hypertrophy sebaiknya dilakukan saat off-season, karena pada saat ini tidak banyak latihan dan pertandingan yang dilakukan. Dengan begitu, kerja otot tidak terlalu banyak terpakai kecuali untuk latihan hypertrophy.
Beberapa pelatih fisik sepakbola dunia berpendapat, tahapan ini biasanya hanya dilalui oleh para atlet pemula, yang memiliki usia di antara 18-22 tahun. Persis seperti Ronaldo mulai tumbuh kembang ototnya ketika masih berstatus pemain Manchester United, atau Bale di Tottenham Hotspur.
Hal ini terjadi karena jika seorang atlet sudah melewati tahapan hypertrophy dengan maksimal saat awal kariernya, biasanya atlet tersebut tidak perlu memulai program hypertrophy lagi. Sayangnya pada fase off-season, lantas apakah pemain-pemain di Indonesia (terutama dengan rentang usia 18-22 tahun) sudah melakukan tugasnya untuk latihan hypertrophy?
Mungkin pemain kita pada saat off-season malah sibuk mencari kesebelasan karena masih sedikit kesebelasan yang melakukan kontrak jangka panjang, yang membuat pelatih dan kesebelasan hanya ingin menggunakan jasa pemain tersebut untuk satu musim saja.
Durasi kontrak secara tidak langsung memengaruhi perkembangan otot pemain
Berbicara hypertrophy, ada kaitan dengan bentuk investasi terhadap pemain oleh pelatih dan kesebelasan. Namun karena permasalahan kontrak yang biasanya dilakukan satu musim untuk pemain dan pelatih, membuat pelatih tidak melewati program hypertrophy dengan maksimal atau mungkin tidak melewati tahapan program tersebut.
Persepsi umum yang hadir adalah: yang penting dalam satu musim kontrak, pelatih membuat pemain tersebut siap “dipakai”. Padahal, di negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, kita sudah melihat beberapa pemain mereka yang memiliki tubuh yang kekar.
Tidak heran, banyak kesebelasan di sana menggunakan sistem kontrak jangka panjang terhadap pemain dan pelatih. Begitupun di kesebelasan muda (pengembangan pemain usia dini).
Jika kita konsisten dan mulai fokus pada pembinaan (perkembangan massa otot salah satunya), tidak menutup kemungkinan prestasi kita bisa lebih baik daripada Malaysia atau Thailand (atau negara-negara lainnya) di tingkat senior. Mungkin kita bisa bayangkan bagaimana Febri Haryadi tumbuh menjadi pemain yang memiliki massa otot seperti Ronaldo, dia tentu akan lebih kuat, berlari lebih kencang, menendang lebih keras, dan dapat berlari serta menendang kencang berulang-ulang (artinya memiliki daya tahan yang baik).
Atau mungkin kita melihat tubuh Lerby Eliandry sekekar Hulk (Brasil, bukan Hulk yang hijau tentunya), maka Lerby berpotensi menjadi pemain yang lebih berbahaya dalam kotak penalti lawan yang bisa lebih banyak menghasilkan gol untuk kesebelasannya.
Pesepakbola perlu memiliki otot (besar)
Manfaat dari otot yang besar pun sebenarnya bukan hanya untuk “gaya-gayaan”. Tetapi dengan massa otot yang ideal dapat membantu atlet untuk mempercepat recovery, tidak mudah cedera, mendapatkan peak performance, mempercepat mencapai golden age (usia emas atau puncak karier), dan memperlambat atlet melewati golden age.
Beberapa hari ini, Bali United melakukan kontrak jangka panjang (4 tahun) untuk bintang timnas U19, Hanis Saghara dan Feby Eka. Empat tahun tentu kontrak yang cukup untuk pemain seusia mereka. Sudah menjadi tangguh jawab kesebelasan tersebut untuk membawa para pemainnya melewati berbagai susunan program latihan yang dapat menunjang mereka mencapai peak performance, golden age, dan memperlambat terlewatnya golden age mereka.
Hal tersebut bisa terjadi jika para pemain menjaga gaya hidupnya, begitu pun andil pelatih dan kesebelasan yang mendukung. Federasi, pemain, pelatih, dan kesebelasan harus mulai peduli terhadap perkembangan massa otot pemain, karena dengan massa otot yang ideal, setidaknya kita bertahap lebih baik dari segi fisik yang selama ini sering dikeluhkan.
Bagaimanapun, olahraga sepakbola adalah kegiatan yang utamanya mengandalkan fisik (selain juga mental dan kecerdasan). Perkembangan massa otot adalah salah satu elemen penting pada kondisi fisik seseorang, dan kita tidak bisa pilih-pilih latihan untuk hal ini, pun dengan menyalahkan genetika.
Penulis adalah lulusan Magister Ilmu Keolahragaan Institut Teknologi Bandung, dosen luar biasa ITB, dan dosen Ilmu Faal Olahraga STKIP Pasundan. Biasa berkicau di akun Twitter @fahmihasannn
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar