Oleh: Vakra Oktora
Desember lalu menjadi bulan kelabu bagi saya. Sebagai seorang penggemar DC, saya menunggu-nunggu film yang telah saya nantikan selama belasan tahun: Justice League. Tapi sayangnya sejak tiga bulan belakangan saya justru dirundung gelisah. Alasannya tak lain karena WB (Warner Bros) sebagai rumah produksi bagi karakter-karakter komik DC telah menunjuk Joss Whedon, sutradara Avengers, yang terkenal humoris dalam film-filmnya, untuk menyelesaikan pekerjaan Zack Snyder yang memutuskan mundur di tengah produksi Justice League yang dia sutradarai, dikarenakan alasan keluarga.
Keresahan itu akhirnya terbukti kala saya menyaksikan Justice League. Film itu berselingkuh! Sentuhan sinematografi khas Snyder yang sangat artistik ‘dipaksa’ harus berbagi tempat dengan selera humornya Whedon yang kadang terkesan aneh. Hasilnya? Mengecewakan.
Sebagai seorang yang sangat menggilai karya-karya Snyder, seperti Watchmen, Man of Steel, dan Batman vs Superman, saya keluar dari bioskop dengan hati gundah. Separuh kesal, karena WB lebih mengutamakan selera pasar, separuh lagi menyerah, karena ternyata selera pasar kadang terlalu kuat untuk dilawan.
Keputusan WB mungkin didasari faktor finansial. Maklum, film DC sebelumnya yang dibesut Snyder, yaitu Batman vs Superman, mendapat kritik keras dari media karena dianggap ‘kurang humoris’, meski sebetulnya pesohor Holywood seperti Cristopher Nolan dan Frank Miller memuji film tersebut.
Kita mungkin bertanya-tanya: apakah sebuah film superhero memang harus lucu? apakah film superhero yang serius seperti ciri khas Snyder takkan digemari oleh penonton?
Berbicara keuntungan, Batman vs Superman meraup keuntungan 800 juta dolar AS (sekitar 10,74 triliun rupiah), dan itu jelas pencapaian luar biasa. Maka di sinilah pertanyaan janggal pun lahir: “Mengapa WB takut dengan ide Snyder (yang artistik) sampai harus ‘menendang’ Snyder di tengah proses produksi lantas memunggut Whedon (si humoris) untuk meneruskan proyek Justice League?”
Jawabannya adalah selera pasar. Sebuah film sejatinya adalah ‘barang seni’, tetapi setelah kesuksesan Disney dengan Marvel Cinematic Universe-nya seolah-olah ada ‘jiwa pasar’ yang mengatakan bahwa film-film superhero harus digarap dengan cara yang sama seperti cara Disney menggarap Marvel Cinematic Universe, yaitu humoris.
Apakah pandangan itu tepat? Dilihat dari sisi finansial, ide ‘humoris’ ini memang menguntungkan, terbukti dengan Avengers yang mencetak penjualan 1 miliar dolar, mengalahkan ide artistik khas Snyder yang ‘hanya’ mencetak penjualan 800 juta dolar.
Masalahnya, apabila rumah produksi film terus memutuskan memilih ide humoris seraya menyisihkan seniman seperti Snyder, maka mereka sedang membunuh seni itu sendiri. Dan ini jelas akan berdampak buruk bagi masa depan Holywood.
Pada Desember yang sama, Cristiano Ronaldo kembali memenangkan Ballon D’or dengan pemain-pemain Liga Spanyol mendominasi tim terbaik FIFA di tahun 2017. Para penikmat sepakbola modern pun seolah-olah masih percaya kepada dogma bahwa Premier League adalah liga terbaik di dunia. Di sini saya melihat fenomena yang sama yang terjadi antara perkembangan film superhero dengan sepakbola modern. Kata kuncinya adalah: industrialisasi.
Serie A meredup karena tidak mengikuti pasar
Serie A, dalam 30 tahun terakhir, pernah menjabat sebagai liga terbaik di dunia. Ini terbukti dengan prestasi timnas Italia dan juga prestasi kesebelasan-kesebelasan Italia di kancah Eropa. Dalam masa itu, jajaran pemenang Ballon D’or dimenangkan oleh pemain-pemain yang bermain di Serie A, seperti Marco van Basten, Roberto Baggio, Zinedine Zidane, Pavel Nedved, sampai Kaka.
Masalahnya, belakangan ini hadir anggapan bila Serie A telah meredup. Apakah Serie A memang benar-benar telah kalah total?
Saya pikir tidak. Dipandang dari sudut pandang prestasi, sepakbola Italia sebetulnya tidak sehancur-lebur yang dibilang media massa. Dalam 12 tahun terakhir timnas Italia berhasil satu kali juara Piala Dunia dan sekali masuk final Piala Eropa. Untuk urusan klub, dalam 10 tahun terakhir, Inter memenangkan treble, sementara Juventus kalah dua kali di final Liga Champions.
Di titik ini saya berani berkata bila Serie A masih unggul dibandingkan Premier League. Orang-orang yang menolak pandangan saya akan berkomentar bila Inggris memenangkan Liga Champions 3 kali dalam 12 tahun terakhir: Manchester United 2 kali dan Chelsea 1 kali. Oke. Baiklah. Tapi seperti apa prestasi timnas mereka? Nihil.
Inilah masalah yang jarang dipahami para penikmat sepakbola. Di sini kita harus memahami bahwa sebuah liga sepakbola sejatinya bukan hanya bertujuan menghibur penonton dan mendatangkan uang saja, melainkan juga harus mampu menjadi produsen pemain lokal yang handal dengan tujuan terciptanya sebuah tim nasional yang berkualitas.
Prestasi timnas tentu adalah hal tertinggi dalam kehidupan sepakbola sebuah negara, ini pandangan yang tak bisa diganggu-gugat, oleh karena itu paradigma yang mengatakan: “Premier League lebih bagus ketimbang Serie A” atau “Premier League is the best league in the world” hanyalah paradigma ‘korban pasar’.
Tapi Liga Primer justru menjadi korban pasar
Sebagai seorang lelaki dewasa, saya pikir saya harus jujur: saya mengangkat topi atas keberhasilan Premier League menjadi ‘liga paling populer’. Saya akui itu. Saya masih ingat saat 15 tahun lalu FA melakukan banyak perubahan. Contohnya memajukan waktu sepak mula agar penonton dari Asia yang jumlahnya ratusan juta tidak perlu bangun pukul 2 dini hari di waktu Indonesia, karena laga Premier League sudah dimulai sejak jam 7 malam.
Saya juga salut atas keberanian Pemerintah Inggris yang meliburkan pabrik-pabrik, atau setidaknya menerapkan aturan ‘setengah hari kerja’, saat kesebelasan kota tersebut berlaga kandang. Ini tentu membantu sepakbola itu sendiri dalam urusan bisnis. Lihat saja bagaimana stadion di Inggris selalu penuh oleh penonton yang bisa leluasa datang karena jam kerja mereka memang dikurangi, juga bagaimana di seluruh Asia, Premier League bisa ditonton dengan lebih nyaman karena tayang lebih awal bila dibanding Serie A.
Hal inilah yang membuat rating Premier League melonjak dan dengan begitu hak siar mereka semakin mahal. Tak heran, para investor berbondong-bondong menanamkan modal di Inggris.
Namun, banyak orang tak sadar bahwa sebuah paradoks baru saja terjadi. Karena Premier League menjadi idaman pasar, maka mau tak mau, mereka juga harus ‘patuh pada aturan pasar’, atau pada ‘standar pasar’.
Lihatlah betapa mudahnya seorang pelatih dipecat di Premier League meski ia telah memberikan prestasi pada kesebelasan yang memecatnya. Kita tahu bahwa hasil instan adalah hal sulit dalam sepakbola. Mungkin hanya Antonio Conte, Jose Mourinho, atau Pep Guardiola, yang bisa memberikannya, bahkan Sir Alex Ferguson sekalipun saat pertama kali menukangi Man United perlu waktu bertahun-tahun untuk bisa memberikan gelar juara liga.
Tapi kini tengoklah nasib Claudio Ranieri, David Moyes, Mourinho (dalam kesempatan lain), juga Manuel Pellegrini, yang telah menjadi korban pasar. Dalam laporan League Managers Association (LMA), pada musim 2015-2016 sepakbola Inggris mencatatkan rekor dalam urusan pemecatan pelatih sepanjang sejarah sepakbola Eropa, dengan rincian 53 terjadi lewat pemecatan dan 14 mengundurkan diri. Inilah bukti sisi negatif dari industrialisasi di ranah sepakbola.
Bagaimana bisa sebuah klub akan memiliki karakter? Bagaimana bisa kita melihat lagi United seperti era Fergie jika pemecatan ini terus terjadi? Bahkan kadang pemecatan itu hanya seperti ‘buang ampas’ saja.
Lihat saja Leicester City yang tak lebih baik setelah Ranieri dipecat. Begitu juga kesebelasan lain yang melakukan pemecatan pelatih di tengah musim. Bukan hanya menyedihkan, tapi ini juga akan membunuh karakter kesebelasan Inggris itu sendiri.
Berbicara bakat pemain, banyak talenta muda Inggris yang gagal bersinar dan ini juga akibat dorongan selera pasar. Man City dan Arsenal adalah contoh kesebelasan besar yang sangat minim pemain lokal bertalenta apabila kita tinjau dalam 10 tahun terakhir.
Kompatriot Prancis dan pemain-pemain Latin hilir mudik mengisi daftar susunan pemain, sementara bakat lokal seperti Raheem Sterling, Joe Hart, Theo Wallcot, dan Jack Wilshere, kesulitan mendapatkan menit bermain. Tak heran, prestasi timnas Inggris jeblok dalam 10 tahun terakhir.
Era Liverpool dan United yang memiliki pemain-pemain terbaik Inggris di 20 tahun terakhir telah usai. Padahal justru pada era itulah Liverpool mendapat banyak tropi Liga Champions, dan tentu kita masih ingat class of ‘92-nya Ferguson yang membuat timnas Inggris disegani karena berisikan Paul Scholes, David Beckham, Neville bersaudara; belum lagi duet Frank Lampard dan John Terry anak lokal West Ham United yang belum diindustrialisasi, juga Steven Gerrard dan Michael Owen hasil akademi Liverpool.
Tapi kini seperti apa wajah timnas Inggris? Mengapa dalam meme di jagat Twitter seolah-olah timnas Inggris selalu menjadi bahan guyonan favorit?
Dampak negatif industrialisasi sepakbola: hiburan dan prestasi instan
Mari kita tengok liga yang ‘katanya’ tertinggal dari Premier League, yaitu Serie A, yang tetap patuh pada ke-ortodoks-an mereka seraya menolak mengubah diri agar bisa menarik selera pasar. Laga sebesar Juventus vs Inter tayang pada pukul 2 dini hari, kurang ajar bukan? Tentu saja jumlah penonton Asia hanya sedikit yang menonton Derby D’Italia sehingga kepopuleran Serie A kalah dari Premier League. Akan tetapi, di sisi lain, Italia terus-menerus menciptakan bibit baru karena mereka menolak industrialisasi.
Berbicara soal sektor pelatih, Conte, Massimiliano Allegri, dan Vincenzo Montela, adalah generasi baru setelah Roberto Mancini dan Luciano Spaletti, yang meneruskan estafet kesuksesan generasi pendahulunya yaitu Carlo Anceloti, Fabio Capello, dan Marcelo Lippi.
Pelatih-pelatih ini terbukti bukan hanya sukses di Italia, tetapi juga di liga-liga lain termasuk Inggris. Selain Mourinho, hanya Conte dan Ancelotti yang bisa memberi gelar liga untuk Chelsea. Tak ada pelatih Inggris yang bisa melakukannya.
Di Man City, adalah Mancini yang membangun fondasi kesuksesan City. Sedangkan Roberto Di Matteo, dengan segala kekurangannya, menjadi satu-satunya pelatih yang bisa memberi trofi Liga Champions kepada Roman Abrahamovich, yang gagal dilakukan Mourinho dan Luiz Felipe Scolari.
Di Rusia, taktik Spaletti sangat ditakuti. Sementara di Spanyol ialah Ancelotti yang sukses memuaskan dahaga Real Madrid akan La Decima. PSG? Sudahlah, kita tau itu jasanya orang-orang Italia seperti Leonardo dan Ancelotti. Juga jangan lupakan prestasi Allegri di Juventus saat ini yang memenangkan 3 scudetti dan 3 Coppa Italia dalam 3 tahun terakhir, serta rutin masuk final Liga Champions.
Pertanyaannya, di mana regenerasi pelatih Inggris? Kelam. Buktinya dalam 10 tahun terakhir pelatih yang membawa kesebelasan Inggris menjadi juara Premier League bukanlah orang Inggris. Inikah modernisasi yang FA inginkan?
Bila kita bertanya langsung di depan wajah para pengurus FA, saya yakin mereka akan malu-malu mengakui inilah dampak negatif industrialisasi sepakbola yang menuntut menghadirkan sepakbola menghibur serta gelar juara yang instan.
Digemari pasar memberi keuntungan, tapi patuh kepada hukum pasar juga memberi kerugian
Tuntutan seperti itu membuat sebuah kesebelasan dipaksa mendapatkan prestasi secepat-cepatnya. Akhirnya satu-satunya solusi adalah belanja sebesar-besarnya. Mourinho sampai geleng-geleng kepala melihat jumlah uang yang dibelanjakan Man City untuk mengisi posisi full-back.
Tak aneh bila loyalitas kepada sebuah kesebe;asan menjadi hal yang langka. Tengoklah komentar Sir Alex yang berkata bila pemain zaman sekarang lebih mendengar agennya ketimbang pelatihnya, dan sang agen tentu akan terus memperhitungkan uang yang bisa didapatkan keduanya apabila si pemain memutuskan pindah kesebelasan.
Apakah one-club man seperti Gerrard, Ryan Giggs, dan Alan Shearer, bisa kita lihat lagi berlaga di Premier League di masa-masa depan? Rasa-rasanya mustahil. Apakah kita bisa melihat class of ‘92-nya Ferguson sekali lagi, di mana sebuah kesebelasan diisi oleh pemain-pemain akademi yang lantas memberikan prestasi? Saya pikir sulit. Tengok saja kasus Southampton.
Apakah juga gaya belanja besar-besaran seperti itu pasti selalu berhasil memberi prestasi kepada sebuah kesebelasan? Silakan Anda tanyakan pertanyaan itu kepada Milan atau Crystal Palace.
Akhirnya, mau tak mau, hukum ekonomi berlaku: menjadi yang paling digemari pasar tentu memberi keuntungan, tetapi di sisi lain patuh kepada hukum pasar juga akan memberi kerugian. Ini terjadi di setiap bidang.
Di Amerika, contohnya, kini sedang panas isu industrialisasi farmasi yang merugikan pasien: alih-alih memberi obat yang bisa langsung menyembuhkan, pasien justru terus dipaksa membeli obat-obatan yang sama dari tahun ke tahun. Kenapa? Karena kawan, industrialisasi membutuhkan ‘kesinambungan’, dan tanpa kesinambungan struktur ekonomi dunia akan bangkrut.
Jika Anda berpikir bahwa pihak farmasi menyayangi Anda serta peduli pada kesehatan Anda, tolong ingat fakta sederhana ini: ketika Anda sembuh, mereka takkan mendapatkan pemasukan. Walau begitu, meski setia kepada sesuatu yang ortodoks memang terasa indah, tapi kadang itu bisa membuat kita penyakitan dan tertinggal (contoh: kegagalan timnas Italia lolos ke Piala Dunia 2018).
***
Kesimpulan yang bisa kita dapat dari semua ini adalah sulitnya mencari yang sempurna di bidang apa pun. Ini disebabkan setiap ‘gaya’ memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sehingga pada akhirnya... kita semua dipaksa untuk memilih.
Sebagai seorang pencinta seni, saya rindu kala panggung musik Indonesia diisi seniman-seniman sekelas Sheila on 7, Padi, Cokelat, alih-alih anak-anak ingusan yang hanya bermodalkan tarian dan tampang tetapi tak bisa bernyanyi sama sekali seperti yang kita lihat di industri musik belakangan ini.
Saya juga rindu nuansa film superhero seperti The Dark Knight, Watchmen, atau Man of Steel, yang jelas-jelas memancarkan esensi seni, ketimbang kualitas film superhero ‘renyah’ nan ‘humoris’ yang menjadi trademark-nya Disney.
Saya juga rindu ketika sepakbola ditampilkan lewat ‘seni dan penghayatan’, lewat ‘totalitas dan loyalitas’, lewat ‘darah dan keringat’, seperti yang diajarkan Alessandro Del Piero, Javier Zanetti, Paolo Maldini, Gianluigi Buffon, dan Francesco Totti, bukan seperti Neymar yang doyan loncat kesebelasan dengan alasan uang.
Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan kata-kata sederhana: “Menyukai selera pasar tidaklah salah, tetapi mencintai seni tentu jauh lebih indah.”
Penulis adalah guru SMA yang tinggal di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Biasa berkicau di akun Twitter @vakra_oktora. Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar