Oleh: Agung Putranto Wibowo
Memasuki abad ke-21, klub-klub di liga Inggris semakin digandrungi masyarakat dunia. Media olahraga FourFourTwo pada awal 2017 merilis statistik bahwa terdapat 1,2 miliar orang mengikuti klub-klub liga Inggris di Facebook. Jumlah itu cukup untuk menahbiskan liga Inggris sebagai liga yang populer.
Selain karena dianggap paling kompetitif dibandingkan liga-liga top Eropa lainnya, banyaknya jumlah pertandingan dalam semusim juga jadi daya tarik tersendiri. Hal itu dikarenakan, selain mengikuti turnamen liga Inggris yang sekarang bernama EPL (English Premier League), klub-klub papan atas liga Inggris juga bertanding di ajang Piala Liga (saat ini namanya Carabao Cup), dan Piala FA. Sehingga ajang-ajang ini akan memanjakan fans setia, khususnya mereka yang menonton pertandingan lewat layar kaca.
Khusus ajang Piala FA, publik sepak bola Inggris patut berbangga. Tidak lain karena fakta bahwa kejuaraan ini merupakan yang tertua di dunia. Selain karena faktor sejarah, secara aturan teknis, turnamen yang sejak 2015 bernama Emirates FA Cup ini terbilang cukup unik.
Ketika wasit meniup peluit akhir dan pertandingan masih berjalan imbang, maka kedua tim mau tidak mau, suka tidak suka, akan bermain sekali lagi di venue yang berbeda. Ketika Chelsea ditahan imbang oleh Norwich City pada putaran ketiga Piala FA, maka tidak ada babak perpanjangan waktu ataupun adu penalti. Pemenangnya kelak ditentukan di partai ulangan alias laga replay yang akan dimainkan di Stamford Bridge, kandang Chelsea. Hal itu wajar mengingat pada partai pertama, laga itu digelar di Carrow Road, markas The Canaries.
Beda cerita jika pertandingan Norwich City vs Chelsea tersaji di babak perempat final Piala FA. Kedua kesebelasan mau tidak mau, suka tidak suka, harus segera bersiap menuju babak perpanjangan waktu yang berdasarkan aturan IFAB (International Football Association Board), terdiri dari dua babak yang masing-masing dimainkan selama 15 menit saja. Jika situasi masih imbang, baru dilanjutkan ke babak adu penalti.
Peraturan itu masih sangat baru diterapkan, yaitu pada musim 2016/2017. Sebelumnya, babak replay ditiadakan hanya ketika sudah berada di partai semifinal dan final yang keduanya berlangsung di Wembley Stadium. Lantas apa gerangan FA (PSSI-nya Inggris), sampai hati mengubah tradisi tersebut?
Ketika Piala FA diperebutkan pertama kali pada 1871, empat tahun kemudian sudah terdapat laga replay atau partai ulangan. Di akhir pekan tanggal 13 Maret 1875, Royal Engineers bermain imbang 1-1 dengan lawannya di final, Old Etonians. Kendati sudah dimainkan hingga babak perpanjangan waktu, kedua tim tetap sama kuat. Akhirnya diputuskan untuk mengadakan laga replay tiga hari kemudian pada 16 Maret 1875. Sejak hari bersejarah itu, praktis laga-laga replay di Piala FA menjadi lumrah ketika kedua tim bermain imbang.
Eks manajer Hull City, Steve Bruce, hanyalah satu dari sekian banyak manajer yang mengkritik kebijakan laga replay di Piala FA. Mantan penggawa tim nasional Inggris itu berujar, bahwa hasil-hasil seri dalam pertandingan Piala FA mestinya langsung diselesaikan dengan adu penalti, tak perlu laga ulang yang menghabiskan waktu dan energi para pemain. Sebagai pelatih, hal itu dirasa perlu ia sampaikan ke publik atas nama pemain. Adanya laga replay, membuat klub perlu menyusun kembali jadwal pertandingan yang sebelumnya sudah sangat padat.
Pria yang kini menjabat manajer Aston Villa itu juga berbicara atas nama suporter. Menurutnya, laga replay akan merugikan secara finansial. Para suporter jadi harus menyediakan uang lagi untuk hadir ke stadion demi mendukung tim kesayangan. Komentar tersebut menjadi relevan mengingat isu melambungnya harga tiket jadi keluh kesah suporter, khususnya mereka yang berstatus kelas menengah ke bawah. Menurut telaah Karl Marx, kelas ini masuk ke dalam golongan proletarian atau masyarakat kelas kedua yang menyambung hidup dari gaji hasil kerja keras mereka.
Bukan rahasia lagi jika perubahan sosial yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia, diinisiasi oleh kaum ini. Dengan bantuan organisasi massa yang apik dan satu pemimpin cerdik, kaum ini selalu berhasil mewujudkan tuntutan mereka. Jangankan untuk menurunkan harga tiket, kaum proletar sanggup menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Revolusi Rusia dan tumbangnya Orde Baru, menjadi bukti bahwa kaum proletar bukanlah kaum sembarangan.
Namun kaum proletar belum tentu jadi kaum progresif, karena sesungguhnya “progresif” adalah kata sifat. Sebaliknya, kaum progresif bukan berarti mereka yang miskin secara ekonomi. Orang-orang dengan pemikiran progresif, bagi saya justru ialah orang-orang kaya yang punya banyak imajinasi liar ke arah perbaikan tatanan.
Kaum progresif inilah yang sedang menentang tradisi dan supremasi Piala FA di Inggris. Beberapa dari mereka hadir tidak hanya dalam wujud suporter, tetapi juga perancang kebijakan. Mereka mengisi pos-pos strategis di kantor FA. Wacana penghapusan laga replay sudah lama bergulir, tapi hal itu selalu kandas di rapat-rapat yang lebih sering membahas persentase hak siar. Meski demikian, kaum progresif tak cepat putus asa. Penghapusan sistem replay sejak perempat final di musim 2016/2017 mungkin bisa jadi kemenangan kecil mereka.
Dalam semesta kehidupan, kita selalu dihadapkan dua sisi yang pasti berlawanan. Seperti misalnya ada matahari ada bulan, ada bangun ada tidur, ada AC Milan ada Inter Milan, termasuk ada yang progresif dan ada pula yang konservatif.
Mereka memang tidak mendapuk diri sebagai kaum konservatif, tetapi pola pikir mereka sesungguhnya mencerminkan akan hal itu. Kaum konservatif adalah orang-orang yang bersikeras mempertahankan kesucian Piala FA. Tradisi demi tradisi yang terlanjur berjalan ratusan tahun, patut lestari atau setidaknya jangan sampai punah meskipun sudah tak lagi relevan. Salah satunya adalah kebijakan laga replay.
Kaum konservatif menganggap penghapusan laga replay akan mencederai marwah Piala FA. Lalu ketika saya melakukan riset apa itu marwah Piala FA dan apa filosofi di balik aturan tersebut, saya tiada mendapat satu pun informasi yang berkaitan. Mungkin saja aturan nir-makna tersebut yang menjadi landasan mengapa laga replay layak ditentang. Ibaratnya, buat apa kita patuhi hukum yang kita sendiri tidak ketahui maksud dan tujuan hukum itu diciptakan. Bahkan, aturan yang masih berlaku itu dianggap merugikan pemain dan suporter seperti yang telah Steve Bruce keluhkan di atas.
Sehingga menjadi pertanyaan menarik, untuk apa dan untuk siapa laga replay Piala FA? Apakah kaum konservatif sengaja melanggengkan aturan demi kepentingan bisnis semata? Ah saya lupa jika ada pendapatan menggiurkan dari hak siar. Apalagi diprediksi, jumlah fans liga Inggris akan bertambah seiring dengan munculnya klub-klub baru jago seperti Manchester City dan Tottenham Hotspur.
foto: reuters.com
Penulis merupakan sarjana hukum yang pernah bermimpi jadi Ketua Umum PSSI. Aktif di Twitter dengan akun @agungbowo26. Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar