Oleh: Akhmad Mukhlis
Bagi penikmat sepakbola hari ini, Napoli (mungkin) adalah asa terakhir. Diam-diam, banyak yang mendoakannya untuk sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar kita sebagai manusia: harapan dan kejutan. Saya tidak hendak berbicara sepakbola sebagai olahraga, tetapi sepakbola sebagai sebuah integrasi sistem sosial, kapital, bahkan sebagai sebuah kebutuhan emosi dan fantasi. Sepakbola yang melebihi cabang olahraga manapun di dunia.
Società Sportiva Calcio Napoli, klub yang tahun ini genap berusia 92 tahun, merupakan harapan terakhir sepakbola tahun ini. Jika kita melihat klasemen liga-liga top Eropa, mau tidak mau penikmat sepakbola akan dibuat putus asa. Hampir tidak ada yang membuat kita tertarik, karena semuanya berjalan sesuai prediksi para pengamat sepakbola.
Kita mulai dari tabel di Premier League sebagai liga termahal dunia. Meskipun sempat sengit pada pekan-pekan awal, sekarang tidak ada lagi yang berani meragukan bahwa gelar juara telah menjadi milik Manchester City. Jarak 16 poin dengan Manchester United pada pekan ke-30 membuat tim Pep Guardiola amat sangat nyaman di puncak klasemen.
Tak berbeda di La Liga. Meskipun awalnya banyak yang meragukan adaptasi Ernesto Valverde di Barcelona, sekarang siapa yang berani memprediksikan gelar juara akan lepas dari tangan Barcelona? Kalaupun ada, bagi saya itu bukanlah prediksi melainkan harapan pendukung Real Madrid. Jarak delapan poin dengan Atlético Madrid dan … (ah, sudahlah) sangat jauh dengan Real Madrid membuat Barcelona layaknya seorang perempuan yang tengah nyaman dalam layanan spa premium.
Yang paling memprihatinkan adalah Bundesliga Jerman dan Ligue 1 Prancis. Saking membosankannya, Anda mungkin merasakan bau air liur saya dalam huruf yang tengah Anda baca dalam paragraf ini. Karena kedua liga tersebut benar-benar membuat saya tertidur nyaman sambil ngiler. Bayang-pun (ini adalah istilah ‘paling’ untuk bayangkan) jarak antara Bayern dengan FC Schalke 04 yang berada di peringkat kedua adalah 20 poin. Sedangkan jarak antara Paris Saint-Germain dengan AS Monaco adalah 14 poin. Bagaimana tidak nyenyak kita melihat klasemen yang jaraknya hampir sepanjang kasih ibu tersebut!
Saya tidak menyebutkan Eredivisie Belanda dan Premeira Liga Portugal karena pasti Anda juga tidak terlalu menghiraukan kedua liga tersebut.
Manusia dan Psikologi Kejutan
Kita adalah makhluk unik, seringkali berharap, juga seringkali bersorak riang ketika mendapat kejutan. Harapan biasanya kita munculkan dengan prediksi, sedangkan kejutan menumbangkan prediksi. Ya, kita menyukai kejutan sebagai paradoks dari harapan itu sendiri. Barangkali kita tidak akan menemukan makhluk seperti diri kita, dan itulah nampaknya yang telah kita yakini dalam kitab suci agama-agama.
Lihat saja, betapa hebohnya kita yang diwakili pewarta berita sepakbola sewaktu Blackburn Rovers menjuarai Premier League pada tahun 1994/95. Begitupun ketika lebih dari 20 tahun kemudian Leicester City kembali melakukannya. Di Jerman ada kisah Kaiserslautern 1997/98 dan Wolsburg 2008/09, di Belanda ada Twente 2010/11, di Prancis ada Montpellier 2011/12 dan Monaco tahun lalu. Jangan lupakan pula betapa riangnya dunia menyambut Yunani sebagai jawara Eropa 2004 dan Zambia sebagai jawara Afrika 2012.
Berpuluh tahun psikologi mencoba menggambarkan harapan dan juga kejutan bahkan mencoba menurunkannya dalam indikator untuk diukur. Bagi ilmuan psikologi, harapan merupakan dasar bagi motivasi manusia, dalam artian dia yang memberikan bara bagi kehidupan manusia. Tanpa harapan, manusia tinggallah sistem organ tubuh. Berbeda dengan harapan, kejutan merupakan luapan emosi serupa heran atau takjub yang disebabkan oleh sesuatu yang di luar prediksi atau tidak terduga. Intinya, kejutan merupakan emosi yang butuh pondasi berpikir, tanpa bisa berpikir manusia tidak akan bisa terkejut. Sama seperti emosi yang lainnya, kejutan dapat berada pada kutub positif ataupun kutub negatif. Lalu, apa pentingnya terkejut?
Manusia pada dasarnya membutuhkan kejutan untuk kembali tertarik dan menemukan kembali intensi belajar. Dalam buku yang diberi judul Surprise: Embrace the Unpredictable and Engineer the Unexpected (2015), Tania Luna dan LeeAnn Renninger menyebut kejutan (baik itu positif ataupun negatif) sangat penting untuk membawa semangat dalam hidup kita. Prosesnya, dengan terkejut otak kita mengeluarkan dopamine. Itulah yang membantu kita untuk kembali fokus pada ketertarikan hidup dan menginspirasi kita untuk melihat sesuatu dari perspektif yang lain, reflektif.
Sebuah penelitian psikologi yang dipublikasikan dalam jurnal Cognitive Psychology (2015) menjelaskan pada dasarnya kejutan memiliki tingkatan, mulai yang biasa, sedang sampai sangat mengejutkan. Meadhbh Foster dan Mark Keane dalam penelitian yang diberi judul why some surprises are more surprising than others: surprise as a metacognitive sense of explanatory difficulty tersebut menyebut terdapat empat faktor yang membuat kita terkejut, yaitu memori kita, skenario kejutan, logika rasio, dan juga kerja kognitif kita saat kejadian. Keempatnya yang membuat kejutan menjadi bertingkat.
Napoli Hanya Akan Menjadi Kejutan Kecil
Melihat segala atributnya, sebenarnya Napoli tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Leicester dalam hal mengejutkan penikmat bola dunia. Setidaknya itulah yang juga dikatakan oleh Foster dan Keane (2015) dalam penelitian yang telah disebutkan di atas. Kalaupun Napoli juara, mungkin mereka hanya akan masuk dalam kategori kejutan biasa. Berikut ini empat faktor yang membuat Napoli hanya akan menjadi kejutan biasa:
Pertama, memori tentang sejarah Napoli. Otak kita telah menyimpan pengetahuan tentang sejarah tim Kota Naples tersebut. Maradona adalah produk sejarah termasyhurnya, dua kali Napoli merajai panggung Serie A dan deretan gelar lainnya. Napoli bukanlah tim anak bawang layaknya Leicester sewaktu mereka menjadi kandidat juara dulu.
Faktor kedua adalah skenario kejutan. Mari kita berbicara tentang konsistensi bukan hanya tahun ini, namun tahun-tahun sebelumnya. Setelah hanya menjadi pengganggu (tidak serius) Juventus dalam dominasinya enam tahun terakhir, waktunya tahun ini Napoli memberikan kejutan kecil bagi penggemar sepakbola dunia. Gelaran Serie A tahun ini telah membuat skenario juara Napoli lebih logis, karena Lorenzo Insigne dkk adalah juara paruh musim dan memiliki grafik meningkat dibandingkan tahun kemarin dalam hal pengumpulan poin serta jumlah gol yang diborong.
Faktor selanjutnya adalah logika. Secara logis, Napoli memiliki segala perangkat untuk menjadi jawara tahun ini. Mereka memiliki pelatih cerdik, pasukan merata dan juga memiliki basis suporter yang melegenda. Ketiganya menjadi kolaborasi logis yang dibutuhkan setiap tim untuk menjadi juara.
Faktor terakhir adalah kesiapan kognisi kita. Faktor inilah yang membuat Napoli tetap masuk dalam kandidat kejutan. Dominasi dan konsistensi Juventus mungkin yang menghalangi kesiapan kita untuk melihat jawara baru Italia dalam lebih dari satu dasawarsa terakhir. Penikmat sepakbola yang memperhatikan Serie A tentu sangat ingat bagaimana Juventus sangat berpengalaman dalam menguntit dan kemudian meninggalkan pesaingnya saat mereka terpeleset di akhir-akhir kompetisi. Itulah juga yang terjadi pada Napoli dan Roma dalam beberapa tahun terakhir -- menjadi penantang sampai dua pertiga kompetisi, kemudian tertinggal jauh saat kompetisi berakhir.
Serie A Sebagai (calon) Penyelamat Kita
Melihat betapa lancar jalannya prediksi pengamat pada liga-liga yang saya sebutkan di atas, Serie A tampaknya menjadi harapan terakhir kita tahun ini. Setelah kisah heroik Leicester City dua tahun lalu dan betapa girangnya kita pada pencapaian AS Monaco yang membangunkan kita pada mimpi panjang PSG, sepertinya Napoli bisa saja menjadi pelepas dahaga kita akan sebuah kejutan. Bagi pengamat Serie A, Napoli sekali lagi akan menggairahkan mulut dan jari pengamat untuk berbicara dan menulis lebih jauh tentang fantasi sebuah sepakbola. Sampai pekan ke-26, Napoli memimpin klasemen Serie A dengan selisih satu poin atas Juventus. Namun setelah pekan ke-27, Napoli kembali tergusur ke peringkat kedua karena Juventus berhasil menang sementara Napoli bermain imbang. Walau begitu bukan berarti kans Napoli juara tertutup, toh meski Juventus bisa unggul empat poin, kedua kesebelasan masih punya 10 laga sisa di mana keduanya juga akan saling bertemu.
Sebagai penikmat sepakbola, kita tentu sangat berharap bola itu masih bundar. Minimal kebundaran bola masih berlanjut tahun ini. Kita membutuhkan ledakan dopamine dalam otak, untuk menggairahkan dunia (kompetisi) sepakbola. Layaknya sopir, kita membutuhkan jalan yang tidak hanya lurus, agar tetap fokus. Kita sangat butuh Napoli tahun ini setelah harapan tersebut secara matematis tidak bisa kita dapatkan dalam liga-liga besar lainnya.
Sedikit saja saya rasa cukup daripada tidak sama sekali bukan? Dalam lubuk hati terdalamnya, Juventini pun mengamini hal ini. Mereka juga manusia, mereka pastilah membutuhkan kejutan untuk kembali berharap tim kesayangnnya menjadi juara tahun depan. Saya rasa harapan tersebut lebih indah daripada lima tahun terakhir. Bukan begitu?
Penulis berprofesi sebagai dosen psikologi, berdomisili di Malang. Dapat dihubungi lewat akun Twitter @AkhmadMu.
Komentar