Oleh: Guntur S. Nugroho
Senin (19/03) malam, lewat salah satu grup WhatsApp pembinaan sepakbola junior, muncul kabar duka tentang meninggalnya seorang pesepakbola U15 asal Malang, Jawa Timur. Remaja bernama Krisna Yusuf tersebut diduga kelelahan setelah mengikuti dua pertandingan di dua kota – Gresik dan Pasuruan – dalam 24 jam. Para anggota grup berharap bahwa berita tersebut hanya isapan jempol, dan meminta untuk saling mencari informasi tentang kebenarannya.
Esoknya, pukul 09.30 WIB, kabar duka tersebut dipastikan kebenarannya. Beritanya dimuat di Malang Post.
Krisna Yusuf (13 tahun) adalah pemain SSB Arema Domhils. Ia bermain di Gresik pada Sabtu, dan pada Minggu paginya ia bermain di Pasuruan. Sempat bermain di babak pertama, Krisna merasa pusing di babak kedua. Singkat cerita, Krisna dibawa ke RS Bangil, kemudian dirujuk ke Malang. Ia meninggal dunia dalam perjalanan menuju RS Syaiful Anwar Malang.
Pada kondisi seperti ini, dengan sumber berita yang kurang lengkap, kurang bijak untuk mencari-cari siapa yang paling bertanggung jawab tentang kejadian ini. Mari kita merenung sejenak dan mencoba melihat dunia sepakbola junior di sekitar kita.
Dunia sepakbola akar rumput bisa juga disebut sepakbola usia dini, karena lebih banyak melibatkan anak-anak usia di bawah 15 tahun, sangat bergeliat dan ramai, bahkan saat PSSI dihukum oleh FIFA.
Mereka yang berkecimpung di dalamnya seolah mempunyai mimpi, dunia, dan drama tersendiri. Dalam satu kota atau kabupaten, bisa ada puluhan sekolah sepakbola (SSB) atau akademi, dari yang pelatihnya hanya eks pemain tarkam, guru olahraga, berlisensi D nasional, sampai yang A AFC. Ada yang tidak dibayar dan sering nombok, hingga yang bergaji jutaan rupiah.
Sepakbola usia dini dan remaja semakin hari semakin bergairah. Ini ditandai pula dengan dibukanya akademi-akademi baru di Indonesia oleh bintang sepakbola nasional maupun internasional, misalnya Michael Owen yang baru-baru ini berkunjung ke Jakarta.
Tentunya kita paham, bahwa akademi-akademi khususnya dari luar negeri tersebut mempunyai metode pendidikan yang bisa dikatakan paket komplet, yang membuat biaya SPP untuk berlatih di sana di atas 500 ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Pertanyaannya, apakah orang tua harus memasukkan anak-anaknya ke SSB atau akademi sepakbola “impor”, atau harus mengeluarkan biaya mahal, untuk mendapat pelatihan yang bermutu baik? Bermutu baik menurut siapa?
Apakah Anda pernah membaca pedoman standar pendirian dan pengoperasian sekolah sepakbola atau akademi sepakbola di Indonesia? Andaikan ada pedomannya, sudahkah tersosialiasi dan siapakah yang membuat serta mengawasi pelaksanaannya? Kalau standarisasi belum ada, dari mana kita memberikan cap kepada sekolah sepakbola “elit” dan akademi berbiaya mahal lainnya sebagai yang bermutu?
Faktanya, anak-anak kita cukup mampu bersaing di turnamen-turnamen semacam Danone dan Gothia, tetapi kemudian entah ke mana setelah beranjak remaja.
Kembali ke masalah musibah yang disebutkan di atas. Semua pihak semestinya paham, bahwa sepakbola dan olahraga apapun, banyak faktor yang mendukung untuk seseorang bisa menjadi bintang atau berprestasi.
Dalam hal ini, faktor-faktor itu sebagai sesuatu hal yang menjadi pertimbangan bagi semua pihak. Apakah harus disebutkan faktor-faktor apa saja, yang kalau oleh akademisi olahraga pasti sudah hafal di luar kepala.
Yang lebih penting mestinya adalah, siapa yang bertanggung jawab atas dijalankannya faktor-faktor tersebut? Pihak orang tua, pihak pelatih, pihak pemerintah, atau pihak federasi? Apakah orang tua dan pelatih saja? Mungkinkah federasi dan pemerintah saja sudah cukup?
Sekolah sepakbola dan akademi sepakbola di sekitar kita yang dikelola baik oleh eks pemain, oleh guru maupun oleh orang tua (masyarakat) belumlah mempunyai standar pengelolaan yang menyeluruh. Umumnya mereka lebih menitikberatkan di masalah teknis kepelatihan dan fasilitas penunjang latihan.
Wawasan tentang nutrisi, P3K, pendidikan karakter, hubungan dengan orang tua, dll., yang mestinya diinisiasi dan dijalankan oleh tim manajemen sekolah sepakbola, belum dilaksanakan dengan selayaknya, dan bahkan ada yang belum melaksanakannya.
Hal-hal penunjang selain ilmu kepelatihan seyogyanya juga penting untuk dipelajari, dijalankan, dan disosialisasikan, untuk menghindari hal-hal yang berakibat buruk bagi olahragawan atau tim olahraga itu sendiri.
Masalah kecelakaan pemain di pertandingan dipahami sebatas kewajaran sebagai bagian dari olahraga. Lapangan yang rusak dimaklumi sebagai akibat dari cuaca. Keriuhan para orang tua sebagai suporter yang menyeru kepada wasit dan bahkan pelatih timnya sendiri dipahami sebagai bentuk koreksi yang menjadi kebiasaan yang wajar.
Menilik kutipan puisi dari pujangga Kahlil Gibran,
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau, tapi bukan darimu.
Meskipun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu...
Sampai pada titik tersebut, terlepas apapun pandangan dari agama yang kita anut tentang pengasuhan anak, ada satu hal yang universal, anak adalah orang lain. Artinya, teori apapun yang menjelaskan bahwa gen orang tua dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak, termasuk kejiwaannya; anak telah mempunyai keunikannya sendiri yang telah tersurat dalam takdirnya.
Orang tua, pelatih, lingkungan, media, dan lain-lain, adalah faktor-faktor yang bisa memengaruhi, namun anak sendirilah yang akan menemukan dirinya sendiri seiring waktu. Semua pihak seyogyanya mengarahkan, bukan memaksakan; membina, tidak menghina; menyandingkan, tidak membandingkan; dan mencintai, tidak mencela.
Pilihan selalu ada untuk tidak mengindahkan “kata-kata mutiara” tersebut, hingga mendadak kebanggaan hati tidak lagi bisa menjadi “perhiasan dunia” pelatih dan orang tua.
Mimpi Krisna dan pesepakbola junior lainnya layak untuk diwujudkan menjadi kenyataan, bukan menjadi mimpi yang abadi.
Mari berdoa, berharap, dan berusaha bahwa kejadian tersebut adalah yang terahir kali kita jumpai di persepakbolaan junior kita. Terus mematutkan diri dalam membina atlet (anak) dengan bekerjasama dengan semua pihak, demi masa depan anak kita sendiri. Semoga kita menjadi pembina yang semakin bijak.
Penulis adalah pegiat suporter SUPERGARD dan Sukarelawan Forum Pembina Sepakbola SSG. Berdomisili di Salatiga. Dapat dihubungi lewat akun Twitter @kakimerbabu.
Komentar