Oleh: Andreas Situmorang
Tak ada gading yang tak retak. Peribahasa ini mengandung arti bahwa tak ada suatu pekerjaan pun yang tak ada cacatnya. Atau dalam kata lain boleh dibilang bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini.
Peribahasa inilah yang cocok menggambarkan perjalanan Liverpool pada musim 2018/19 saat ini. Di balik tangguhnya lini pertahanan The Reds yang baru kebobolan 15 kali di Premier League, muncul pertanyaan soal kegananasan trio Sadio Mane - Roberto Firmino - Mohamed Salah atau yang kerap disebut Trio Firmansah. Salah satu trio terbaik di Eropa saat ini mulai menunjukkan kelemahan.
Pada musim 2017/18 ketiganya menyumbang total 91 dari 135 gol yang dibikin The Reds di semua kompetisi. Bagaimana dengan musim ini? Ketiganya memang masih menjadi andalan The Reds di lini depan. Total 44 dari 70 gol Liverpool berasal dari mereka. Namun bisa kita lihat ada perbedaan besar di sana. Dengan sisa 16 pertandingan yang dimiliki Liverpool, dengan asumsi mereka melaju sampai final Champions League, tampaknya akan sangat sulit bagi ketiganya untuk mendekati rekor gol yang mereka bikin musim lalu.
Semuanya tercermin pada laga menghadapi Manchester United, 24 Februari lalu, dalam lanjutan Premier League. Memiliki keuntungan dengan United yang telah menghabiskan jatah pergantian pemain hanya dalam 30 menit, Liverpool sepanjang laga hanya mampu melepaskan 1 tembakan tepat sasaran. Oke, mungkin akan muncul alasan karena Firmino telah ditarik lebih dulu di pertengahan babak pertama karena alasan cedera, namun hal yang sama terjadi 4 hari sebelumnya ketika menghadapi Bayern Muenchen dalam lanjutan babak 16 besar Champions League. Tampil dengan dukungan penuh suporter yang memadati Anfield, The Reds hanya mampu melepaskan 2 tembakan tepat sasaran.
Lalu apakah yang terjadi? Mungkinkah Trio Firmansah sudah mulai melemah? Atau mungkin memang strategi Jurgen Klopp yang mulai mengurangi intensitas pressing-nya ketika menghadapi tim-tim besar?
Roberto Firmino
Nama pertama adalah Roberto “Bobby” Firmino. Firmino adalah pemain yang lebih dulu menginjakkan kaki di Anfield dibanding kedua rekannya. Dirinya didatangkan oleh sang mantan manajer Brendan Rodgers, tetapi mulai menunjukkan kelasnya di bawah kepelatihan Klopp.
Statistiknya cukup luar biasa. Sebanyak 61 gol dibuat dari 180 penampilan. Seperti kita ketahui, Firmino awalnya berposisi sebagai gelandang serang. Cederanya Divock Origi dan Daniel Sturridge kala itu memaksa Klopp untuk menempatkan Firmino di lini depan.
Musim ini Firmino baru berhasil membuat 11 gol. Dia jadi penentu kemenangan The Reds atas PSG pada pertemuan September lalu. Firmino juga berhasil bikin hattrick dalam kemenangan sensasional 5-1 atas Arsenal akhir tahun lalu. Salah satu yang jadi ciri khasnya apalagi kalau bukan no-look goals, yaitu menendang bola dan mencetak gol tanpa melihat gawang sama sekali. Banyak tim yang menjadi korban keganasan no-look goals milik Firmino ini.
Firmino adalah pemain yang penuh energi dan kerap membantu pertahanan. Dia tak sungkan untuk turun ke tengah dan mencoba merebut bola dari kaki lawan. Bahkan pada musim lalu Firmino membuat tekel lebih banyak dibanding Jan Vertonghen, Nicolas Otamendi, Fernandinho atau bahkan kaptennya sendiri, Jordan Henderson.
Musim ini hal di atas menghilang dari Firmino. Intensitas kerja kerasnya mulai berkurang. Dia lebih banyak menunggu di sepertiga akhir lapangan. Padahal musim lalu tak jarang aksi Firmino yang ikut turun ke bawahlah yang mengawali serangan balik The Reds.
Sadio Mane
Mane adalah satu-satunya pemain Liverpool yang mencetak gol pada Final Champions League tahun lalu. Setelah meraih penghargaan Liverpool’s Player of the Year pada musim pertamanya, namanya kalah bersinar dibanding Salah. Selain itu, sifatnya yang agak kalem di ruang ganti secara tak langsung mempengaruhi performanya di dalam lapangan.
Seringkali Mane membuang peluang ketika sudah berhadapan satu lawan satu dengan kiper lawan. Mane tampaknya kurang percaya diri ketika bermain. Padahal gaya bermainnya dengan akselerasi yang cepat seringkali menyulitkan lini pertahanan lawan.
Musim ini sebenarnya tak banyak yang berubah dari seorang Mane. Total 13 gol telah dibuatnya dari 34 penampilan. Mane hanya perlu menambah kepercayaan dirinya ketika berada di lapangan. Dia mesti lebih memanfaatkan peluang ketika membawa bola di kakinya. Golnya ke gawang Crystal Palace baik ketika di kandang maupun tandang menunjukkan betapa kuatnya sang pemain ketika mengajak adu lari bek lawan.
Perubahan nomor punggung Mane dari 19 ke 10 di awal musim diyakini banyak orang menjadi awal dari sesuatu yang spesial. Mane tampaknya akan menjadi sosok underrated yang akan membawa The Reds mengakhiri puasa gelar liganya musim ini.
Mohamed Salah
Nama terakhir, Mohamed Salah, adalah sosok yang paling besar di antara ketiganya. Salah dengan cepat menjadi primadona publik Anfield setelah mencetak total 44 gol di musim pertamanya. Musim ini dia memang sudah berhasil membuat 20 gol, standar yang wajar bagi pemain lini depan. Akan tetapi ekspektasi publik sepakbola sudah terlanjur tinggi kepada Salah.
Sempat disandingkan dengan Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, Salah justru gagal mengemban ekspektasi tersebut. Netizen bahkan mulai memberikan sebutan “One Season Wonder” kepada sang pemain mengingat performanya yang tidak sespesial musim lalu. Fakta di lapangan tidak berbohong. Salah sejauh ini gagal mencetak gol dalam pertandingan penting besar seperti menghadapi PSG (2 pertandingan), Bayern Muenchen, Tottenham, Chelsea, Manchester City (2 pertandingan), dan Manchester United (2 pertandingan). Bukannya mengapa, tetapi kebesaran seorang pemain pasti bakal terlihat ketika bertanding dalam laga-laga besar.
Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Tentu saja gilanya performa Salah musim lalu membuat lawan pun menaikkan standar dalam menjaga sang Egyptian King. Bukan hal jarang lagi melihat Salah dijaga oleh lebih dari dua pemain lawan. Ketika menghadapi Bayern, aksi Salah tertangkap kamera ketika sedang dijaga 3 pemain lawan.
Pemain lawan mulai selalu membatasi Salah agar tidak masuk ke kotak penalti. Sering sekali Salah hanya terlihat bertukar umpan-umpan pendek dengan James Milner dan Trent Alexander-Arnold di sisi sayap The Reds karena kesulitannya masuk ke kotak penalti lawan.
Main Buruk Tapi Menang
Ketika diwawancarai beberapa saat lalu, Emile Heskey, mantan pemain Inggris dan Liverpool, percaya bahwa mantan klubnya saat ini lebih mengutamakan hasil akhir dibanding permainan cantik. Sering memang kita melihat di musim ini ketika Liverpool tampil tidak spesial, tetapi tetap mampu meraih poin bahkan memenangkan pertandingan.
Mental sekuat inilah yang tidak dimiliki oleh Liverpool selama beberapa tahun ke belakang. Klopp tentu menjadi aktor di balik semua ini. Dia mungkin telah mempelajari bahwa untuk menghadirkan sebuah trofi, semuanya dimulai dari lini pertahanan yang baik. Karena itulah Klopp sendiri tampaknya tidak terlalu peduli akan berkurangnya keganasan trio Mane-Firmino-Salah ini.
Memang sebagian fans pasti akan lebih terhibur dengan aksi gila-gilaan mereka memporak-porandakan lini pertahanan lawan, namun semuanya kembali kepada sang manajer yang mengerti apa kebutuhan yang diperlukan tim.
*Penulis adalah seorang pendukung Liverpool sejak bangku Sekolah Dasar. Saat ini berkuliah di Teknik Elektro Universitas Brawijaya. Bisa dihubungi lewat akun IG @andreasitumorang_
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Simak opini dan komentar Rochy Putiray terkait para pengurus PSSI yang ditangkap oleh Satgas Anti Mafia Bola di video di bawah ini:
Komentar