Oleh: Risyad Tabattala
Selalu ada dua sisi mata uang bagi pria ini. Sebagian mencintainya dan sebagian lain membencinya. Sebagian memujinya atas setiap tetes keringat dan darah yang dia tumpahkan di tengah lapangan. Sebagian lain membencinya karena permainan keras dan provokasi yang menjadi momok buat semua lawan. Tanyakan kepada Steven Gerrard betapa jengkelnya dia setelah berkesempatan bertarung dengan pria ini di dua laga Final Liga Champions.
“Dia terlihat agresif, tapi faktanya dia menyeramkan seperti anak kucing. Saya tidak masalah jika harus melawannya setiap pekan, dia tidak dapat melukai Anda. Saya tidak pernah melihatnya memainkan bola hebat,” ujar Gerrard.
Pria yang dimaksud Steven Gerrard ini lahir pada suatu musim dingin di Corigliano Calabro, salah satu area termiskin di Italia bagian selatan. Kerasnya kehidupan di Corigliano Calabro barangkali sedikit banyak memberi pengaruh terhadap karakter keras pria ini.
Karier seniornya berawal dari Perugia pada musim 1995/96, lalu membuat langkah aneh berkarier ke tanah Britania, sebelum akhirnya kembali ke Salernitana. Pada musim panas 1999 ia diboyong ke AC Milan dan sisanya adalah sejarah. Pria ini bernama Gennaro Gattuso, dan untuk segala permainan kerasnya di lapangan, sebagian kita menjulukinya Si Badak.
Gattuso memiliki koleksi hampir seluruh gelar yang mungkin diraih oleh seorang pemain Italia selama rentang delapan belas tahun karier profesionalnya. Dua gelar Serie-A, satu Coppa Italia, dua Super Italia, dua kali juara Liga Champions, satu gelar Super Eropa, dan dua Gelar Juara Dunia antar klub.
Sudah cukup? Belum. Gattuso satu hal yang bahkan Steven Gerrard-pun berani menjual nyawa untuk mendapatkannya: satu gelar juara dunia bersama timnas Italia.
Dengan deretan gelar sepanjang ini, seperti apa kita menggambarkan permainan seorang Gattuso?
Jika lapangan sepakbola adalah bar, maka Gattuso adalah tukang pukulnya. Terkesan tidak penting, tapi tanpa Gattuso yang berpatroli di tengah lapangan, maka tidak akan ada Pirlo yang leluasa memainkan tempo. Juga tidak akan ada Kaká yang menari samba menembus jantung pertahanan lalu meloloskan umpan untuk dicocor masuk gawang oleh Inzaghi yang entah muncul dari mana berlari seperti orang teler yang tidak meyakinkan.
Tidak jauh dari sosoknya yang garang di tengah lapangan, sosok Gattuso memang tak bisa lepas dari berbagai hal yang bersinggungan dengan kekerasan. Jika ada yang bisa membuat Zlatan Ibrahimovic ketakutan, maka Gattuso-lah orangnya.
Sebelum bermitra sebagai rekan setim, Gattuso pernah menampar Zlatan Ibrahimovic dalam sebuah duel ketika AC Milan berhadapan dengan Ajax di Liga Champions musim 2002/03. Zlatan terdiam, AC Milan lolos ke babak berikutnya dan mengangkat piala di akhir partai final.
Tidak cuma sesama pemain, asisten pelatih tim lawan juga pernah menjadi korban keganasan Gattuso. Joe Jordan pernah mengalaminya ketika AC Milan menjamu Tottenham Hotspur di Liga Champions 2011/12. Tak tanggung-tanggung, Joe Jordan kena apes dua kali. Gattuso mencekik Joe ketika pertandingan berlangsung, lalu menanduk pria malang ini ketika keduanya kembali berkonfrontasi di akhir laga. Benar-benar malam yang buruk untuk buat Joe Jordan - yang justru semasa masih bermain pernah dua tahun membela AC Milan. Tidak ada yang tahu apakah dia masih berselera menyantap Pizza, Spaghetti atau apa pun yang berbau Italia setelah dihajar Gattuso malam itu.
Tak cuma lawan, rekan setim sendiri-pun juga pernah jadi korban Gattuso - meski kali ini dalam konteks yang tidak terlalu serius dan cenderung konyol. Dalam buku biografinya, "I Think Therefore I Play”, Andrea Pirlo menceritakan momen ketika Gattuso benar-benar mengamuk setelah dirinya dijahili habis-habisan oleh anggota skuad AC Milan seperti Massimo Ambrosini, Alessandro Nesta, Filippo Inzaghi, Christian Abbiati, dan Massimo Oddo. Saking ngamuknya, Pirlo berkisah, "Gattuso mengambil garpu dan mencoba mendekatkannya kepada kami. Beberapa dari kami melewatkan pertandingan karena serangan garpu Rino.”
Lain cerita, satu dekade setelah Gattuso ribut dengan Ibrahimovic, keduanya kembali bersitegang ketika sama-sama membela AC Milan. Tapi kali ini giliran Gattuso yang jadi korban.
Tak terima dijahili Gattuso sepanjang sesi latihan, Ibrahimovic yang berpapasan di ruang ganti langsung menyambut kedatangan Gattuso, menguncinya, lalu membanting pria itu ke tempat sampah. Satu adegan yang disebut Thiago Silva meski sarat kekerasan tapi sangat lucu dan bahkan membuatnya terus tertawa seminggu penuh.
"Gila sekali, kami semua mulai tertawa memikirkan bagaimana ekspresi wajah Gattuso. Sumpah, saya tak bisa berhenti tertawa selama satu minggu!" kata bek asal Brasil itu menceritakan kembali kejadian ajaib yang berlangsung di depan matanya.
Tabiat main tangan Gattuso bahkan terus berlanjut ketika dia berganti peran menjadi pelatih. Kejadian itu berlangsung saat dia menjabat pelatih Pisa dan memimpin timnya menghadapi SPAL di laga Serie B. Rupanya di tengah pertandingan, Gattuso kesal luar biasa karena barang yang dimintanya terlambat datang lalu kedapatan menampar asistennya di pinggir lapangan. Untungnya laga itu dimenangkan Pisa dan diakhir pertandingan, Gattuso dan sang asisten akhirnya merayakan kemenangan bersama.
Tapi di tengah segala citra kekerasan di sekeliling Gattuso, banyak orang lupa bahwa kejayaan AC Milan dan Italia di awal dekade 2000-an bisa jadi tidak akan ada tanpa kehadiran Gattuso. Kombinasi Andrea Pirlo dan Gattuso adalah kunci kesuksesan AC Milan dan Italia kala itu. Jika Pirlo juru masak, Gattuso adalah tukang sapunya. Jika Pirlo adalah arsitek maka Gattuso adalah kulinya. Gattuso adalah alasan mengapa Pirlo punya cukup ruang untuk bermain begitu artistik di masa puncaknya - dan mengirim AC Milan juga Italia ke puncak dunia.
Soal dedikasi, Gattuso juga juaranya. Gattuso mengalami gangguan kerja otot mata pada tahun-tahun terakhir kariernya sebagai pemain sepakbola. Tapi itu tidak menghalanginya untuk terus tampil trengginas di akhir kariernya.
Di suatu pertandingan, Gattuso pernah bermain hanya dengan menggunakan sebelah mata sepanjang pertandingan bahkan sempat membuatnya bertabrakan dengan Alessandro Nesta. "Saat pertandingan AC Milan menghadapi Lazio, saya bermain satu jam setengah dengan hanya menggunakan satu mata," kata Gattuso, seperti yang ditulis kembali oleh harian Spanyol, AS.
Menurut Gattuso, kondisi matanya tersebut karena otot matanya tidak bekerja dengan baik. "Anda melihat satu objek tapi ada di empat atau posisi yang berbeda," kata Gattuso. "Saya menabrak seorang pemain karena saya kira itu pemain lawan tapi ternyata itu adalah Alessandro Nesta," lanjutnya. Tabrakan cukup signifikan, bahkan membuatnya absen hingga beberapa lama.
Gangguan otot mata ini belakangan kembali mengganggu. Gattuso, yang kini melatih Napoli, terlihat menggunakan penutup mata kala mendampingi anak asuhnya bertanding di beberapa pertandingan terakhir Napoli musim ini. Dia bahkan mengaku sudah ikhlas dan berpesan jika suatu saat ajal menjemput, dia ingin dikubur di tengah lapangan. "Kondisi ini membuat fisik merasa sangat lelah, apalagi jika harus melihat dalam 24 jam sehari," ujar Gattuso, dikutip dari AFP.
Di kesempatan lain, Gattuso berujar ke awak media mengenai perjuangan sekaligus kepasrahan yang dimilikinya terkait penyakit yang dia hadapi. "Selama sebulan ini ada rumor bahwa saya akan mati, jangan khawatir, saya tak akan mati. Tetapi jika mati, saya siap pergi ke tempat saya tinggal: di lapangan sepak bola," lanjutnya.
Tepat hari ini Gattuso berulang tahun yang ke empat puluh tiga. Hari-hari ke depan mungkin akan sangat berat bagi Sang Badak. Tapi pertarungan bukanlah hal yang asing buat dia menangkan selama ini. Dan semoga masih ada bertahun-tahun lagi bagi kita untuk menyaksikan Sang Badak bertarung, meski kali ini dari pinggir lapangan.
*Football, Biz, Tech & In Between | Twitter: @tabattala
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar