Dari Non-Tradisional Sampai Fintech di Lapangan Hijau

Dari Non-Tradisional Sampai Fintech di Lapangan Hijau
Font size:

 

Industri di luar olahraga murni telah lama melihat sepakbola sebagai panggung potensial. Jejak awalnya bisa ditelusuri sejak akhir 1970-an, ketika klub-klub mulai membuka diri terhadap sponsor korporat. Contohnya, Liverpool FC menjadi pionir di Inggris dengan memasang logo perusahaan elektronik bermerek Hitachi pada seragam tanding tahun 1979. Era ini membuka pintu bagi industri teknologi (seperti elektronik) untuk terlibat langsung dalam sepakbola. 

Tak lama berselang, sektor makanan dan minuman serta layanan finansial ikut meramaikan sponsorship. Coca-Cola, misalnya, telah menjadi sponsor resmi Piala Dunia FIFA sejak edisi 1978 dan bahkan memasang iklan di stadion setiap Piala Dunia sejak 1950. Di level klub, merek minuman seperti Carlsberg menorehkan sejarah dengan menjadi sponsor terlama Liverpool selama 18 tahun (1992–2010). 

Keterlibatan ini menunjukkan betapa eratnya keterkaitan industri minuman dengan citra klub. Sektor layanan keuangan pun menyusul: liga Inggris (Premier League) pernah disponsori penuh oleh bank Barclays pada 2004–2016. Perusahaan kartu kredit Mastercard juga telah menjadi mitra setia Liga Champions UEFA sejak 1994. Contoh-contoh tersebut menggambarkan bahwa sejak akhir abad ke-20, ketiga sektor – teknologi, F&B (food & beverage), dan finansial, kian mengakar dalam lanskap sepakbola global melalui berbagai bentuk sponsorship.

Memasuki abad ke-21, tren ini semakin meningkat. Perusahaan teknologi modern mulai muncul di jersey klub-klub elite. Rakuten (perusahaan e-commerce Jepang) menghiasi dada FC Barcelona sejak 2017 dengan nilai kontrak €55 juta per tahun. Raksasa streaming musik Spotify pun berani membeli hak nama stadion Camp Nou Barcelona pada 2022 sebagai bagian dari kesepakatan sponsor bernilai ratusan juta Euro.

Di Inggris, Manchester United sempat menggandeng TeamViewer (perusahaan software Jerman) sebagai sponsor utama pada 2021, menggantikan Chevrolet. Demikian pula, banyak klub top kini disokong bank atau perusahaan asuransi; contohnya Liverpool dengan Standard Chartered (bank internasional) sejak 2010. Intinya, dukungan dari industri non-tradisional bukan lagi hal asing dalam sepakbola modern – justru sudah menjadi tulang punggung finansial bagi banyak klub dan turnamen.

TeamViewer-Manchester-United-F365

Strategi Marketing: Mengapa Sepakbola Adalah Platform Favorit

Bagi perusahaan teknologi, makanan/minuman, maupun finansial, sepakbola menawarkan panggung pemasaran yang menggiurkan. Beberapa faktor kunci menjadikan olahraga ini sangat atraktif sebagai medium marketing:

Basis Penggemar yang Raksasa

Sepakbola adalah olahraga paling populer di dunia dengan sekitar 3,5 miliar fans global per 2025. Artinya, beriklan lewat sepakbola memberi potensi menjangkau hampir setengah populasi bumi. Bagi perusahaan yang ingin ekspansi global, menampilkan logo di ajang sepakbola ibarat berbicara di depan audiens raksasa lintas negara.

Jadwal dan Durasi Ekspose

Kompetisi sepakbola berlangsung sepanjang tahun dengan jadwal pertandingan rutin setiap pekan. Berbeda dengan event olahraga sekali jadi, sponsor di sepakbola mendapatkan eksposur berkala dan konsisten. Alhasil logo di jersey klub Eropa tampil di puluhan siaran pertandingan per musim karena nama sponsor liga disebut di setiap pemberitaan. Durasi panjang seperti ini akan memberi brand recall yang kuat di benak pemirsa.

Loyalitas dan Emosional Fans

Suporter sepakbola dikenal sangat militan dan loyal terhadap tim kesayangannya. Jadi, ketika suatu merek terpampang di jersey atau stadion tim pujaan, secara tak langsung merek itu terasosiasi dengan identitas klub. Hal ini juga bisa membangun kedekatan emosional antara brand dan konsumen. Semisal penggemar sepak bola akan mengingat kejayaan AC Milan bersama Opel atau Inter bersama Pirelli.

Sementara perusahaan finansial atau teknologi, mungkin dianggap “dingin” dapat terasa lebih membumi dengan mendukung klub sepakbola favorit masyarakat. Sebagai contoh, kemitraan Rakuten dengan Barcelona disebut sebagai bagian dari rencana ekspansi global perusahaan tersebut, memanfaatkan basis fans Barca di seluruh dunia untuk mengenalkan brand itu.

 

Screenshot 2025-04-04 133455

Keterlibatan Langsung dengan Konsumen

Beriklan di sepakbola tak lagi sebatas pasang logo. Strategi modern seperti ini memungkinkan interaksi langsung dengan fans. Misalnya, Shopee saat menjadi sponsor Liga 1 Indonesia 2019, memanfaatkan teknologi aplikasi untuk membuat halaman khusus liga, kuis interaktif, voting pemain favorit, hingga penjualan tiket online. Langkah ini bukan hanya mempromosikan brand, tapi juga mengajak fans berpartisipasi sehingga semakin lengket di ingatan konsumen.

Asosiasi Nilai Positif

Sepakbola menjunjung nilai sportivitas, kerja tim, dan perjuangan – citra positif yang ingin ditempel oleh banyak merek. Misalnya sponsor dari sektor minuman sering mengaitkan diri dengan euforia-euforia perayaan kemenangan. Sementara sponsor teknologi kerap mengklaim membantu performa tim lewat inovasi seperti perangkat analitik data pertandingan. Dengan hadir di dunia sepakbola, perusahaan berupaya mentransfer aura positif olahraga ke brand mereka. 

Semua strategi di atas bertujuan memaksimalkan ROI (return on investment) dari dana sponsor yang seringkali sangat besar. Menggelontorkan puluhan juta dolar untuk hak sponsor terasa sepadan ketika merek berhasil menancapkan citranya di benak miliaran pasang mata yang menyaksikan sepakbola setiap minggu.

Dibanding Olahraga atau Media Lain: Mengapa Memilih Sepakbola?

Perusahaan tidak serta-merta memilih sepakbola tanpa perbandingan dengan opsi marketing lain. Dibanding olahraga lain maupun media konvensional, sepakbola memiliki beberapa keunggulan mencolok. Secara global, ‘jangkauan sepakbola tak tertandingi’. Final liga Champions UEFA misalnya, rutin ditonton lebih banyak orang daripada Super Bowl di Amerika. 

UEFA memperkirakan final Liga Champions bisa menjangkau hampir 500 juta orang di seluruh dunia, sedangkan even sebesar Super Bowl “hanya” meraup sekitar 123 juta penonton rata-rata dan itupun mayoritas terkonsentrasi di AS. Dari sisi demografi, sepakbola juga melintasi batas geografis dan budaya: ia populer di Eropa, Amerika Latin, Afrika, Asia hingga Oceania.

Bandingkan dengan baseball yang besar di AS/Jepang saja, atau kriket yang terpusat di Asia Selatan. Maka sepakbola adalah bahasa universal untuk menjangkau konsumen lintas negara bagi brand global. Dibanding medium pemasaran lain seperti iklan TV atau digital semata, sepakbola menawarkan pengalaman brand yang lebih mendalam. Iklan biasa mungkin lewat sekejap di hadapan konsumen, tapi sponsor sepakbola hadir dalam konteks yang melekat di hati fans selama 90 menit pertandingan bahkan sepanjang musim.

Sebuah bank yang memasang namanya sebagai sponsor liga atau stadion, contohnya, akan disebut berulang-ulang dalam pemberitaan olahraga (“pertandingan pekan ini di Stadion XYZ” atau “Liga 1 BRI pekan ke-10”) – eksposur konsisten semacam ini sulit ditandingi iklan konvensional. Selain itu, asosiasi dengan klub/atlet idola memberikan endorsement implisit. Fans cenderung mengingat merek yang mendukung tim kesayangannya sebagai “bagian dari keluarga” tim tersebut.

Olahraga lain tentu juga dilirik sponsor (basket, F1, tenis, dll), namun sepakbola sering kali menawarkan nilai ekonomi lebih besar per investasi. Biaya sponsor di klub sepakbola top Eropa memang tinggi, tapi jangkauannya global. Sebagai perbandingan, biaya pasang iklan 30 detik di final NFL Super Bowl bisa mencapai lima juta dolar lebih, dengan audiens ~100 juta; sementara kontrak sponsor jersey tim sepakbola sekelas Manchester United sekitar $50 juta per tahun namun ditayangkan ke audiens jauh lebih luas di ratusan pertandingan.

Perhitungan semacam ini membuat banyak perusahaan merasa uang mereka “bekerja lebih keras” di sepakbola dibandingkan opsi lain. Tak kalah penting, sepakbola memberikan ruang kreativitas aktivasi brand yang fleksibel. Perusahaan teknologi bisa mengkombinasikan sponsorship dengan peluncuran produk baru yang menyasar fans dengan launching app khusus fans klub. Perusahaan makanan/minuman dapat mengikat promosi pembelian produk dengan tiket pertandingan atau merchandise tim.

Dibanding platform iklan tradisional, sepakbola menyediakan ekosistem pemasaran yang lengkap: ada event live, konten highlight di media, hingga komunitas fans di media sosial yang aktif membicarakan tim dan sponsor terkait. Inilah sebabnya, bagi banyak brand besar, sepakbola dianggap sebagai “gelanggang super efektif” untuk memenangkan hati dan perhatian konsumen.

Dampak Terhadap Industri Sepakbola dan Merek Sponsor

Masuknya sponsor-sponsor non-tradisional dalam skala besar tentu membawa dampak signifikan, baik bagi industri sepakbola itu sendiri maupun bagi merek yang bersangkutan. Dari sisi industri sepakbola, aliran dana sponsor yang melimpah ibarat bahan bakar pertumbuhan. Klub-klub papan atas Eropa kini mengandalkan pendapatan sponsor sebagai salah satu pilar utama keuangan, di samping hak siar dan penjualan tiket.

Suntikan dana teknologi, F&B, dan finansial memungkinkan klub membeli pemain bintang dengan nilai transfer fantastis, membayar gaji tinggi, serta membangun infrastruktur modern. Kompetisi pun makin kompetitif dan atraktif berkat hadirnya pemain-pemain mahal hasil sponsor. Liga-liga besar Eropa seperti Premier League, La Liga, hingga Liga Champions UEFA semakin mendominasi perhatian global karena didukung sponsor kelas dunia.

Bahkan La Liga Spanyol yang tadinya disponsori bank lokal (Banco Santander) memutuskan bermitra dengan perusahaan gim EA Sports mulai musim 2023/24, menandai pertama kalinya sponsor internasional (perusahaan video game) mengambil alih titel liga yang sebelumnya selalu dipegang bank Spanyol. Kesepakatan LaLiga EA Sports ini menunjukkan bahwa industri sepakbola kian terbuka pada inovasi dan kolaborasi lintas sektor, yang diharapkan membawa peningkatan dalam siaran pertandingan, interaksi digital dengan fans, hingga program pembinaan usia dini.

Di sisi lain, ketergantungan pada sponsor juga mengubah dinamika bisnis sepakbola. Saat ini, klub lebih mirip entitas korporasi global yang aktif menjual brand mereka untuk menarik sponsor baru. Bagian pemasaran klub bekerja keras menjalin kerja sama dengan berbagai perusahaan, menciptakan paket sponsor mulai dari sponsor utama jersey, sponsor lengan, mitra resmi di kategori tertentu (teknologi, hotel, minuman energi, dll.).

Akibatnya, identitas klub sebagian berkelindan dengan identitas sponsor. Beberapa stadion tradisional berganti nama menjadi nama perusahaan (contoh: Allianz Arena di Munich oleh perusahaan asuransi Allianz, Etihad Stadium di Manchester oleh maskapai Etihad). Bagi puritan sepakbola, tren ini kadang dipandang sebagai komersialisasi berlebihan, namun bagi banyak pihak lain ini adalah evolusi alami agar sepakbola bisa sustain secara finansial.

muenchen-allianz-arena

Dengan masuknya dana sektor teknologi dan finansial yang biasanya besar, kesehatan finansial klub meningkat dan risiko kebangkrutan berkurang, asalkan dikelola profesional. Dampak lainnya adalah adopsi teknologi dan peningkatan profesionalisme dalam ekosistem sepakbola. Sponsor dari sektor teknologi kerap menyumbang keahlian: misalnya penyediaan infrastruktur Wi-Fi stadion, platform streaming, analisis big data untuk performa tim, hingga konten media sosial inovatif.

Kompetisi pun terdorong berbenah agar sesuai ekspektasi sponsor korporat besar. Contoh nyata bisa dilihat di Indonesia ketika Shopee mensponsori Liga 1; mereka menegaskan komitmen mendukung perbaikan iklim sepakbola nasional menjadi lebih profesional. Artinya, sponsor tidak sekadar menempelkan logo, tetapi turut mendorong liga/klub meningkatkan standar manajemen, transparansi, dan keterlibatan suporter.

Dari sudut pandang positif, ini membantu industri sepakbola bertumbuh lebih modern dan teratur. Bagi merek sponsor itu sendiri, efeknya pun multi-dimensi. Keuntungan utamanya tentu pada peningkatan brand awareness dan citra. Setelah mensponsori FC Barcelona, Rakuten menjadi nama yang dikenal luas oleh penggemar sepakbola di Eropa yang mungkin sebelumnya awam terhadap brand e-commerce Jepang ini.

Demikian pula, Standard Chartered mendapatkan eksposur global dari jersey Liverpool yang tayang di Liga Champions setiap musim; hal ini sejalan dengan upaya bank tersebut ekspansi di Asia dan Afrika di mana Liverpool punya banyak penggemar. Studi menunjukkan bahwa di Spanyol, Rakuten kini menjadi salah satu merek yang paling diasosiasikan dengan sponsorship olahraga berkat kemitraannya dengan Barcelona. 

Namun, efektivitas sponsorship tidak selalu instan atau terjamin. Ada kasus di mana investasi besar di sepakbola justru dipertanyakan balik oleh pemangku kepentingan perusahaan. Misalnya, langkah TeamViewer menjadi sponsor utama Manchester United ternyata direspon negatif oleh pasar saham – harga saham mereka sempat turun 16% setelah pengumuman kontrak sponsor tersebut.

Para investor khawatir biaya marketing membengkak tanpa kepastian laba sepadan. Benar saja, dalam jangka dua tahun, nilai saham TeamViewer anjlok dan perusahaan memutuskan mengakhiri prematur kontrak £235 juta itu karena merasa bebannya terlalu besar. Contoh ini menggarisbawahi bahwa perusahaan harus cermat menghitung imbal hasil brand exposure vs biaya, dan memilih klub atau paket sponsor yang tepat dengan target pasar mereka.

Jika cocok, efeknya bisa luar biasa; jika tidak, bisa jadi pemborosan mahal. Selain itu, sponsor juga menanggung risiko reputasi. Seperti yang diketahui jika sepakbola tak lepas dari kontroversi dari berbagai hal di antaranya seperti performa buruk tim, skandal manajemen, hooliganisme suporter, dan lainnya. Kontroversi itu bisa berdampak kepada merek yang ikut tersorot atas pelbagai masalah tersebut. 

Meski demikian, banyak perusahaan menilai risiko ini sepadan dengan reward-nya. Padahal dengan manajemen krisis yang baik, sponsor seyogyanya bisa melewati badai insiden sepakbola. Malah, terkadang brand bisa mendapat simpati jika mendukung klub di masa sulit. Intinya, high risk, high return – ekspansi ke sepakbola ibarat bermain di liga besar marketing, hadiahnya besar namun tantangannya pun ada.

Menariknya, beberapa perusahaan F&B mengambil langkah ekstrim dengan masuk lebih dalam dari sekadar sponsor – yakni memiliki klub. Red Bull, misalnya, mengakuisisi klub RB Leipzig di Jerman dan Red Bull Salzburg di Austria sebagai bagian dari strategi menjadikan klub sepakbola sebagai platform pemasaran mereka sendiri. Strategi radikal Red Bull ini memungkinkan kendali penuh atas pesan brand dan integrasi nama produk langsung pada identitas tim.

Hasilnya, Red Bull berhasil mendongkrak citra mereka bukan hanya sebagai minuman energi tapi juga pemain serius di kancah olahraga profesional. Meskipun model seperti ini masih jarang diikuti perusahaan lain, fenomena Red Bull menunjukkan betapa jauhnya ekspansi industri non-tradisional bisa masuk ke sepakbola – bahkan hingga tulang sumsum kompetisi.

Contoh di Liga-Liga Top Eropa dan Implikasinya bagi Indonesia

Tren kolaborasi sepakbola dengan industri teknologi, kuliner, dan finansial tampak jelas di liga-liga top Eropa. Di Liga Inggris (Premier League), sponsor kaos tim-tim peserta mencerminkan berbagai sektor non-tradisional. Klub-klub besar seperti Manchester City disponsori maskapai internasional (Etihad Airways), Manchester United baru saja menggandeng Qualcomm Snapdragon (perusahaan chip teknologi) untuk menggantikan TeamViewer, Liverpool dengan bank global (Standard Chartered), Tottenham Hotspur dengan perusahaan asuransi jiwa Asia (AIA), sementara klub lain banyak disokong perusahaan taruhan, otomotif, hingga fintech.

Secara historis pun Premier League selalu melibatkan sponsor dari luar industri olahraga: di era 1993–2001 liga ini bernama FA Carling Premiership berkat sponsor bir Carling, lalu Barclaycard Premiership (2001–2004) dan Barclays Premier League (2004–2016) berkat sponsor kartu kredit dan perbankan. Kini Premier League memilih tanpa title sponsor untuk menjaga identitas, namun tetap memiliki daftar panjang mitra komersial di berbagai kategori.

Di Spanyol, La Liga selama satu dekade terakhir disokong bank domestik (BBVA lalu Santander). Pergantian besar terjadi ketika Electronic Arts (EA) masuk sebagai sponsor titel mulai 2023, mengubah nama La Liga Santander menjadi LaLiga EA Sports. EA sebagai perusahaan game memanfaatkan sinergi antara pertandingan nyata dan video game: hak nama liga real ini diintegrasikan dengan game sepakbola mereka (EA Sports FC), sehingga fans di dunia maya dan nyata terhubung.

LaLiga_EA_Sports_2023_Vertical_Logo-svg

Langkah ini juga membawa inovasi seperti penyebutan HyperMotion (teknologi game) pada nama divisi kedua La Liga, menandai kolaborasi unik antara teknologi gaming dan liga konvensional. Sementara itu, klub raksasa FC Barcelona menjadi contoh nyata bagaimana teknologi dan layanan keuangan merasuk: mereka sempat disponsori Rakuten (tekno) di jersey dan Beko (elektronik) di lengan, lalu sekarang Spotify (platform streaming) terpampang sebagai sponsor utama sekaligus mengambil hak nama stadion menjadi Spotify Camp Nou.

Real Madrid pun lama disokong Emirates (maskapai, bagian dari layanan keuangan/travel), dan menggandeng berbagai mitra teknologi seperti sponsor VR, blockchain, dsb. Di Liga Italia, nama sponsor liga silih berganti antara perusahaan telekomunikasi dan finansial (Serie A pernah bernama Serie A TIM karena disponsori Telecom Italia). Klub-klub Serie A tak mau kalah: Juventus dulu disponsori Jeep (otomotif) namun kini juga dilengkapi sponsor lengan Cygames (gaming), Inter Milan baru saja menggaet DigiCoin (crypto fintech) setelah lama bersama Pirelli (ban mobil), memperlihatkan pergeseran menuju sponsor-sponsor era digital.

Bundesliga Jerman meski nama liganya netral, banyak stadionnya mengusung nama korporat (Allianz Arena, Signal Iduna Park – asuransi, Volkswagen Arena – otomotif). Klub seperti Bayern Munich memiliki Deutsche Telekom (Telco) di jerseynya, sementara Borussia Dortmund disponsori Evonik (kimia) dan sempat menggandeng aplikasi trading crypto.

Rata-rata di Eropa, hampir setiap sektor industri maju mencoba peruntungan di sepakbola, menjadikannya ekosistem bisnis yang sangat kosmopolitan. Lantas, bagaimana implikasinya terhadap sepakbola di Indonesia? Sebagai negara dengan basis fans sepakbola yang besar, Indonesia mulai mengalami tren serupa dalam dekade terakhir. Liga 1 Indonesia kini rutin menggunakan title sponsor dari perusahaan teknologi atau finansial. 

Sejak format baru Liga 1 dimulai 2017, sponsor utamanya berturut-turut adalah Go-Jek & Traveloka (startup transportasi online dan travel booking pada 2017), lalu Go-Jek sendiri (2018), disusul Shopee (e-commerce, 2019–2020), dan belakangan BRI (Bank Rakyat Indonesia, 2021 hingga sekarang). Perpindahan ini jelas mencerminkan minat industri non-tradisional domestik untuk memanfaatkan sepakbola sebagai media promosi.

738056_720 

Dalam periode tersebut, kita melihat perubahan nama liga dari Go-Jek Traveloka Liga 1, Shopee Liga 1, hingga BRI Liga 1, sesuatu yang tak terbayangkan di era Liga Indonesia lama yang identik dengan sponsor dari perusahaan rokok atau instansi pemerintah. Efek positifnya, tentu dana segar mengalir ke klub-klub Indonesia. Sponsor seperti Shopee bahkan membawa inisiatif digital: dari penjualan tiket online hingga konten interaktif di aplikasi mereka yang membantu meningkatkan engagement fans liga lokal.

Bank BRI sebagai sponsor pun mendorong integrasi layanan keuangan digital (misal kemudahan pembayaran tiket melalui bank). Profesionalisme liga domestik meningkat karena sponsor besar menuntut pengelolaan yang lebih baik. Persaingan sehat antarklub untuk menarik sponsor juga memacu tiap tim membenahi manajemen dan branding mereka.

Beberapa klub besar Indonesia mulai memiliki partnership dengan perusahaan makanan/minuman nasional: Persib Bandung contohnya disokong Indofood (perusahaan mi instan & makanan) sejak 2018 dan Arema FC pernah disponsori Bentoel (rokok) serta Go-Jek. Hal ini menunjukkan bahwa merk nasional melihat nilai dalam terhubung dengan komunitas fans klub lokal. Ada pula dampak terhadap eksposur global Indonesia

Ketika perusahaan Indonesia mensponsori entitas sepakbola luar negeri, nama Indonesia ikut terangkat. Contohnya Garuda Indonesia sempat menjadi Official Global Airline Partner Liverpool FC pada 2012–2014. Langkah Garuda ini bukan hanya memasarkan maskapai, tapi juga membawa nama Indonesia ke kancah fans Liverpool sedunia. CEO Garuda waktu itu bahkan menyebut kemitraan dengan Liverpool diharap membuat Indonesia semakin dikenal di mata dunia, terutama di kalangan fans The Reds.

Logo Garuda terpampang di backdrop konferensi pers dan uniform latihan Liverpool, memberi publisitas internasional yang sulit dicapai lewat iklan biasa. Ke depan, penetrasi industri non-tradisional ke sepakbola Indonesia kemungkinan akan semakin dalam. Bukan mustahil kita melihat startup teknologi lokal menjadi sponsor jersey klub Liga 1, atau perusahaan fintech Indonesia mensponsori tim-tim Asia Tenggara, seiring makin kompetitifnya pasar digital regional.

Sepakbola tanah air kini kian terhubung dengan arus bisnis global. Ini memberi optimisme: dengan dukungan sponsor kuat, liga bisa lebih stabil dan klub bisa lebih mandiri secara finansial. Tentu tantangan tetap ada – misalnya memastikan kepentingan komersial tidak mengorbankan pembinaan pemain muda atau prestasi tim nasional. Namun, bila dikelola seimbang, kolaborasi dengan sektor teknologi, makanan/minuman, dan finansial bisa menjadi win-win bagi semua.

industri sepakbola tumbuh maju, sementara merek mendapat panggung emas untuk meraih hati jutaan fans fanatik.

***

Sepakbola modern telah berkembang menjadi ajang dimana perusahaan teknologi unjuk gigi, merek makanan/minuman pelepas dahaga para fans, dan institusi finansial menunjukkan dukungannya secara nyata. Dari stadion megah Eropa hingga liga domestik Indonesia, ketiga sektor non-tradisional ini kian menyatu dalam denyut nadi sepakbola. Strategi marketing melalui sepakbola terbukti efektif karena menyentuh emosi massa sekaligus memberi eksposur luar biasa luas.

Bagi klub dan liga, masuknya sponsor lintas industri berarti tambahan modal dan inovasi; bagi sponsor, sepakbola ibarat panggung global yang tiada duanya. Kolaborasi ini telah mengubah wajah pemasaran olahraga dan membuka babak baru di mana pertandingan di lapangan hijau juga menjadi ajang pertarungan brand-brand besar merebut perhatian dunia. Dengan segala data dan tren yang ada, satu hal terasa pasti: peluit kickoff telah berbunyi bagi era baru pemasaran, di mana sepakbola dan industri non-tradisional bermain dalam satu panggung yang sama.

Penulis adalah seorang dosen bernama Ibham Veza. Simak selengkapnya tentang penulis pada tautan ini: https://scholar.google.com/citations?user=oHj98SEAAAAJ&hl=en

Referensi

  1. Liverpool FC Wiki. Liverpool F.C. Home Kit – Sponsors. (akses data sejarah sponsor Liverpool) (Liverpool F.C. Home Kit | Liverpool FC Wiki | Fandom)

  2. Inside World Football. Coca-Cola became FIFA partner in 1978.... (sejarah sponsor Coca-Cola di Piala Dunia) (Fifa in dispute with Adidas and Coca-Cola over Club World Cup ...)

  3. Goal.com. Liverpool’s shirt sponsors history. (Carlsberg 18 tahun sponsor Liverpool) (Liverpool F.C. Home Kit | Liverpool FC Wiki | Fandom)

  4. SportsBallShop. EPL Title Sponsors Through the Years. (Barclays sebagai sponsor Liga Inggris 2004–2016) (English Premier League Sponsors Through the Years)

  5. UEFA/SportsPro. MasterCard renews Champions League sponsorship. (Mastercard sponsor UCL sejak 1994) (MasterCard renews Champions League sponsorship - SportsPro)

  6. FC Barcelona. Rakuten sponsorship deal begins. (Kontrak Rakuten-Barca €55 juta per tahun) (Rakuten sponsorship deal with FC Barcelona begins)

  7. Republika. Shopee Jadi Sponsor Utama Liga 1 2019. (komitmen Shopee dan inovasi aplikasi di Liga 1) (Shopee Jadi Sponsor Utama Liga 1 2019 | Republika Online) (Shopee Jadi Sponsor Utama Liga 1 2019 | Republika Online)

  8. WorldAtlas. Football is by far world’s most popular sport (3.5B fans) (The Most Popular Sports In The World - WorldAtlas)

  9. Sporting News. Champions League final vs Super Bowl viewership. (Final UCL ~500 juta penonton vs Super Bowl 123 juta) (Is the Champions League final bigger than the Super Bowl? How 2024 UEFA projected viewership compares to Chiefs vs. 49ers | Sporting News) (Is the Champions League final bigger than the Super Bowl? How 2024 UEFA projected viewership compares to Chiefs vs. 49ers | Sporting News)

  10. Reuters. EA Sports ganti Santander sebagai sponsor LaLiga. (sponsor teknologi pertama gantikan bank lokal) (EA Sports to take over LaLiga sponsorship from Santander | Reuters)

  11. Reuters. EA Sports partnership promises fan interaction. (janji peningkatan interaksi fan & broadcast dengan sponsor EA) (EA Sports to take over LaLiga sponsorship from Santander | Reuters)

  12. OneFootball/Yahoo. TeamViewer stock falls after Man Utd deal. (Harga saham turun 16% pasca-kontrak MU) (TeamViewer stock price falls after Man Utd announcement | OneFootball)

  13. Reuters. TeamViewer cuts Man Utd deal. (akhir prematur kontrak TeamViewer & dampak finansial) (TeamViewer's Q3 profitability beats on scaled-back Manchester United deal | Reuters)

  14. LSE Sports Business. Red Bull’s Sports Empire. (Red Bull beli klub untuk kendalikan branding di olahraga) (Red Bull’s Sports Empire: A Blueprint for Brand Success – LSESU Sports Business Group)

  15. Wikipedia (id). Sponsor title Liga 1 Indonesia. (Go-Jek, Traveloka, Shopee, BRI sebagai sponsor liga) (Liga 1 (Indonesia) - Wikipedia) (Liga 1 (Indonesia) - Wikipedia)

  16. Liverpool FC News. Garuda Indonesia partnership. (Alasan Garuda sponsori Liverpool: jangkauan fans global)

 

 

SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 30: DIFERENSIAL
Artikel sebelumnya SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 30: DIFERENSIAL
SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 31: KIPER DAN BEK
Artikel selanjutnya SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 31: KIPER DAN BEK
Artikel Terkait