Tim nasional sepakbola Singapura pernah mencapai masa kejayaan berkat sumbangsih para pemain naturalisasi pada periode 2004-2012. Berkat kebijakan ini, The Lions berhasil merajai Piala AFF edisi 2004, 2007, dan 2012. Namun seiring pensiunnya para pemain naturalisasi, prestasi Singapura menurun setelahnya.
Federasi Sepakbola Singapura (FAS) juga meminimalisasi praktik naturalisasi dan memilih pembinaan pemain usia muda sebagai upaya mengembalikan kejayaan sepakbola negara pecahan Malaysia itu. Upaya ini diklaim terbentur lunturnya budaya sepakbola di tengah masyarakat Singapura yang tengah bergelimang kemakmuran.
Mungkin FAS menginginkan Singapura kembali seperti 1998. Ketika kesebelasan negara ini mampu meraih Piala AFF 1998 tanpa adanya pemain naturalisasi.
Sukses berbekal talenta-talenta hasil naturalisasi
Pada AFF 2004, terdapat tiga nama pemain naturalisasi yang memperkuat timnas tertua di Asia ini: Daniel Bennett, Itimi Dickson, dan Agu Casmir. Di bawah asuhan tangan dingin Pelatih Radojko Avramovic, Muhammad Ridhuan dan kawan-kawan tampil gemilang dengan mengalahkan Indonesia di final dengan agregat meyakinkan, 5-2.
Agu menjadi aktor penting pada kesuksesan Singapura di Piala AFF 2004. Ia berhasil mencetak enam gol, hanya kalah satu gol dari pencetak-gol terbanyak turnamen, Ilham Jaya Kusuma. Berduet dengan Baihakkii Khaizan, Daniel Benneth berhasil menggalang pertahanan yang kokoh sepanjang turnamen. Hingga kini, Benneth masih menjadi pemegang caps terbanyak Singapura dengan 146 penampilan.
Daniel Benneth (kanan)
Singapura kembali tampil memukau pada Piala AFF 2007. Mereka berhasil mempecundangi raja ASEAN, Thailand di Final dengan agregat 3-2. Kali ini, mereka menambah tiga pemain naturalisasi di skuad: Precious Emuejeraye, Fachrudin Mustafic, dan Shi Jiayi.
Sebelum memutuskan mundur, Pelatih Avramovic berhasil mengantarkan Noh Alamsyah dkk. menjuarai Piala AFF 2012. Ini adalah gelar AFF keempat Singapura sepanjang sejarah dan trofi ketiga yang dipersembahkan pelatih asal Serbia itu.
Pada Piala AFF 2012, Pelatih Avramovic memanggil dua pemain naturalisasi tambahan yang berposisi sebagai penyerang, Qiu Li dan Aleksandar Duric. Yang menarik adalah Duric dipanggil ketika telah berusia uzur untuk ukuran pesepakbola, 37 tahun. Meski gaek, ia terbukti tokcer dengan meraih gelar pencetak gol terbanyak di Liga Premier Singapura sebanyak tiga kali berturut-turut Bersama Singapore Armed Forces (2007, 2008, dan 2009). Duetnya dengan Khairul Amri sukses menghasilkan 11 gol untuk kesebelasan Singa itu.
Ganti Pimpinan, Ganti Kebijakan
Pada 2017, kepemimpinan Federasi Sepakbola Singapura (FAS) beralih tangan dari Zainudin Nordin kepada Lim Kia Tong. Sejak berganti pimpinan, tercatat hanya Song Ui-Young yang masuk dalam daftar nama pemain yang dinaturalisasi. Gelandang asal Korea Selatan tersebut resmi menjadi warga negara Singapura pada 2021.
Dalam usaha memajukan sepakbola Singapura, presiden FAS yang baru condong pada pengembangan talenta muda daripada naturalisasi. Tak heran jika kran naturalisasi Singapura terkesan mandeg.
Menurut Today, FAS menggelontorkan dana sebesar 70.000 Dollar Singapura untuk mengadakan beberapa kompetisi usia muda: National Football League (NFL), Island Wide League (IWL), dan FA Cup. Dana ini belum termasuk uang untuk hadiah juara dan kompensasi keikutsertaan.
Pada Maret 2021, FAS meluncurkan Proyek “Unleash the Roar!” yang mengusung misi membawa Singapura lolos ke Piala Dunia 2034. Proyek yang juga melibatkan Kementrian Pendidikan serta Kementrian Budaya, Komunitas, dan Pemuda ini sukses membuka 12 sekolah akademi sepakbola.
Program terbaru dari proyek ini adalah Singapore Youth League diluncurkan pada 6 Februari 2024 kemarin. Program ini melibatkan 200 tim dari 52 akademi di seluruh wilayah Singapura.
Tertatih tanpa kehadiran pemain naturalisasi
Kemajuan sepakbola yang diraih dengan pembinaan usia dini tentu tak akan secepat hasil dari naturalisasi. Keberanian Singapura meminimalisasi naturalisasi dan mempercayakan timnas pada pemain binaan sendiri berdampak pada merosotnya prestasi.
Setelah mengecap manisnya prestasi bersama Radojko Avramovic, Singapura harus menelan pil pahit ketika ditukangi oleh Bernd Stange yang tidak diperkuat pemain naturalisasi. Mereka harus puas duduk di posisi tiga klasemen babak grup dan tak lolos ke semifinal Piala AFF 2014. Pada Piala AFF 2016, Singapura mendapatkan hasil serupa kendati telah memanggil dua pemain naturalisasi langganannya, Mustafic dan Bennett.
Fahrudin Mustafic
Tak bisa dipungkiri bahwa faktor usia yang telah uzur menjadi penyebab turunnya kualitas dua pemain tumpuan Singapura tersebut. Hasil serupa didapat The Lions pada AFF 2018 dan 2022. Hasan Sunny dan rekan-rekan mengalami kemajuan di Piala AFF 2020 dengan lolos ke semifinal. Titik terendah Singapura adalah kekalahan telak 0-7 atas musuh bebuyutannya, Malaysia di pertandingan terakhir fase grup Sea Games Kamboja 2023.
Kultur sepakbola yang impoten
Massifnya gerakan peminaan usia dini tidak serta merta menjamin masa depan cerah bagi sepakbola negeri mungil itu. Singapura tengah dilanda impotensi pada kultur sepakbola mereka. Hal ini disampaikan oleh seorang kolumnis Channel News Asia, Alywin Chew.
Ia berpendapat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan kultur sepakbola di Singapura tak lagi bergairah. Sebagai negara dengan standar ekonomi tinggi, para orang tua di Singapura ragu untuk mengarahkan anaknya menjadi pesepakbola.
Menjadi pesepakbola di Singapura dianggap kurang menjanjikan dalam mendatangkan kemakmuran. Para orangtua lebih suka mengarahkan anaknya pada cita-cita lain yang lebih berpotensi mendatangkan pundi-pundi dollar.
Sebagaimana di belahan dunia lain, anak-anak Singapura dewasa ini juga lebih gemar bermain gawai daripada melakukan aktivitas di luar ruangan, termasuk bermain sepakbola.
Bagaimana dengan Indonesia?
Meski tak sepenuhnya sama, keadaan Indonesia mutakhir ini mirip dengan apa yang dialami Singapura di Era Avramovic. Keduanya mendulang sukses dalam bentuk yang berbeda dan dengan cara yang cukup mirip.
Jika dulu Singapura gemar melakukan naturalisasi terhadap pemain asing yang terbukti sukses ketika bermain di kompetensi dalam negeri Singapura, sedangkan sekarang Indonesia tengah gencar memberi kewarganegaraan pada pemain asing yang punya darah nusantara.
Ketersediaan pemain keturunan tidaklah menentu. Menggantungkan prestasi timnas hanya pada proyek pemain keturunan adalah sebuah langkah yang berisiko. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti, di saat pemain-pemain keturunan yang sekarang memperkuat timnas pensiun, pemain keturunan berbakat di mancanegara sana juga habis.
Keadaan seperti ini tentu akan membuat kualitas Indonesia menurun bahkan terjun bebas, apalagi jika masih ketergantungan dengan pemain keturunan. Total sudah 19 pemain dinaturalisasi sejak Erick Thohir menjabat jadi Ketua Umum PSSI sejak 2023.
Oleh karena itu, pengembangan sepakbola di usia dini yang massif, sistematis, dan terstruktur, adalah sesuatu yang mau tidak mau harus digalakkan PSSI agar kualitas timnas tidak anjlok kala pemain-pemain keturunan ini pensiun kelak.
Namun aturan kompetisi domestic sendiri seolah tidak mendukung itu. Sebab PT LIB justru merencanakan adanya penambahan kuota pemain asing pada Liga 1 2025/26. Musim depan, diajukan menggunakan 11 pemain asing yang sebelumnya setiap klub berhak menggunakan maksimal delapan orang saja.
Tidak seperti Singapura, kultur sepakbola di Indonesa hari ini mengakar kuat. Hal ini tentu menjadi modal berharga bagi federasi dan pemerintah dalam mengembangkangkan proyek jangka panjang ini. Yang menjadi pekerjaan rumah adalah kesabaran dan keseriusan federasi dalam membangun kompetisi lokal, pengembangan pemian muda dan lainnya, agar tidak terlalu bergantung kepada pemain naturalisasi seperti Singapura.
Biodata penulis
Nama :Rifqi Iman Salafi
Alamat :Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Pekerjaan :guru honorer
Akun X : @rifqi_salafi