Alfred Riedl memang hanya boleh memilih dua pemain dari setiap kesebelasan Liga Indonesia (kecuali Mitra Kutai Kartanegara adalah tiga pemain) untuk dipanggil membela tim nasional Indonesia. Entah ini peraturan yang aneh atau tidak, secara tidak langsung malah menambah peluang bagi banyak pemain untuk masuk ke timnas.
Tidak heran, ada 12 pemain debutan yang dipanggil ke timnas Indonesia (jika mereka bermain nantinya), di antaranya Yanto Basna (Persib Bandung), Ichsan Kurniawan (Sriwijaya FC), dan Lerbi Eliandry (Pusamania Borneo FC).
Maksud awal “peraturan” ini adalah agar persiapan latihan timnas tidak mengganggu perhelatan ISC, tapi jika ditelaah lebih lanjut lagi... tujuannya aneh sekali, bukan? Bagaimana bisa urusan negara mengganggu kompetisi domestik? Ada-ada saja.
Namun, saya tidak ingin membahas itu. Saya lebih ingin membahas peluang kita untuk bermain di timnas Indonesia. Ya, kita itu adalah saya, kamu, dia, dan semua orang lainnya.
Dari Afghanistan sampai Zimbabwe, bermain sepakbola untuk negara sendiri adalah impian hampir seluruh bocah laki-laki di seluruh dunia. Banyak perbincangan dan perdebatan mengenai hal ini, kebanyakan adalah soal bakat dan pembinaan. Tapi kali ini saya akan mencoba mengesampingkan dua hal penting tersebut, ya, bukan karena tidak penting tapi, yah.
Jika berbicara peluang, maka kita akan membicarakan tentang angka-angka statistik. Untuk mengawalinya, kita lihat terlebih dahulu ke tempat yang terdekat dari kita: Tim nasional Indonesia.
Untuk bermain pada level timnas kita yang katanya prestasinya bobrok ini saja tentunya bukan perkara mudah. Butuh bakat dan latihan yang tekun untuk bisa sampai kepada level tim nasional senior. Ups, maaf saya jadi bahas bakat dan pembinaan lagi, kan.
Indonesia adalah salah satu negara yang sudah cukup lama bergabung dengan FIFA. Pertandingan pertama Indonesia berlangsung pada 28 Maret 1921 melawan Singapura di Batavia. Saat itu Indonesia berhasil menang dengan skor 1-0.
Berapa pesaing kita?
Pada sensus penduduk tahun 2011, ada banyak sekali manusia yang menghuni negara kita ini, yaitu 237.424.363 jiwa yang terbagi (tidak secara merata tentunya) dalam 34 provinsi. Dari jumlah yang terlampau banyak ini, 119.630.913 di antaranya adalah laki-laki dengan usia rata-rata 27,2 tahun.
Jika kita berasumsi bahwa 16 sampai 35 tahun adalah usia ideal untuk bermain sepakbola di level internasional untuk tim nasional Indonesia, kita dapat mendapatkan angka 41.870.819. Angka tersebut adalah jumlah jiwa yang harus dipertimbangkan oleh PSSI untuk menyeleksi pemain-pemain tim nasionalnya.
Dari sini, saya akan sedikit berasumsi dan menggeneralisasi, yang saya ambil dari salah satu tulisan di buku Sportonomics. Kontras dengan Indonesia, ada Inggris yang, jika kita adalah warga negara di sana, kita harus bersaing dengan tujuh juta jiwa lainnya untuk masuk ke tim nasional Inggris.
Peluang untuk masuk tim nasional tersebut akan semakin tinggi jika kita sudah memasukkan unsur-unsur seperti tidak semua orang tentunya tertarik dengan sepakbola dan banyak di antara mereka yang tidak memiliki keahlian yang memenuhi standar.
Tapi itu semua bukanlah melulu soal usia. Memilih posisi yang tepat adalah kunci bisa atau tidaknya kita dipanggil ke tim nasional.
Meskipun tidak ada batasan jumlah penjaga gawang yang bisa dipilih oleh sebuah negara dalam level internasional, para manajer secara tipikal akan memilih 3, yang arti kasarnya adalah akan ada sejumlah 633 kiper pada level internasional (3 dari masing-masing negara FIFA).
Peluang untuk masuk tim nasional Indonesia
Sekarang, kembali ke Inggris, karena Indonesia tidak memiliki sistem akademi memadai. Dari sekitar 9.000 bocah yang masuk ke akademi sepakbola di Inggris pada tahun 2010, hanya 9% yang mendapatkan kesempatan bermain di level tim senior (first team) kesebelasannya, dengan 78% yang gagal masuk tim senior masih juga bermain sepakbola secara profesional.
Pada tahun 2011, Tottenham Hotspur mengontrak secara profesional 10 bocah yang diseleksi dari 67 akademi setempat. Di atas kertas, statistik menunjukkan bahwa ada 10 bocah dari 6.000.000 yang tersedia, 1 banding 600.000, peluang yang sama bagi kita untuk mati tertabrak bus saat kita meninggalkan rumah. Namun krusialnya, di antara itu semua hanya 1 yang bermain sebagai penjaga gawang.
Sekarang kita aplikasikan model tersebut ke tim nasional kita sambil banyak berasumsi.
Asumsi pertama, penjaga gawang yang benar-benar hebat sangatlah jarang kita jumpai, dari 41.870.819 laki-laki yang bisa diseleksi untuk tim nasional Indonesia, hanya 3.806.438 yang bisa dikatakan cukup baik untuk memenuhi standar penjaga gawang, dengan 56.812,5 (atau satu banding 67) yang memenuhi standar sebagi penjaga gawang yang hebat.
Dengan standar 3 penjaga gawang yang dipilih oleh manajer untuk skuat tim nasional, ini akan "meningkatkan" peluang kita menjadi satu banding 18.937. Itu artinya, untuk masuk skuat tim nasional Indonesia sebagai penjaga gawang, kita harus bersaing dengan 18.937 orang lainnya. Wow!
Hampir mustahil jika kita tidak memilki bakat dan bekerja keras, ditambah faktor keberuntungan.
Di negara mana kira-kira saya bisa bermain?
Meskipun dengan “peraturan” aneh di paragraf pembuka, memang tetap berat untuk masuk ke timnas Indonesia, padahal ketika masuk pun kita belum tentu akan diturunkan. Sebenarnya ada cara lain bagi kita yang terobsesi untuk bermain sepakbola di level internasional dan sebuah jalur yang tidak murni berdasarkan pada kemampuan sepakbola kita.
Bagaimana? Yaitu dengan cara memilih negara yang tepat (naturalisasi), kita bisa menambah peluang kita untuk bermain sepakbola pada level internasional.
Dalam kasus Wanderley Santos Monteiro Júnior kemarin misalnya. Ia yang sebenarnya adalah warga negara Brasil, mungkin lebih mungkin bermain di level sepakbola internasional dengan Indonesia daripada dengan Brasil. Namun sayang, paspornya palsu.
Di Indonesia, hal yang sama juga berlaku beberapa kali dengan kasus Sergio van Dijk (Belanda), Greg Nwokolo (Nigeria), Bio Paulin (Kamerun), Cristian Gonzáles (Uruguay), dan contoh lainnya.
Masalahnya, Indonesia mungkin adalah negara yang tepat bagi mereka. Tapi bagi kita? Jika Indonesia yang sepakbolanya biasa-biasa saja ini saja bukanlah "negara yang tepat", lalu negara apa itu?
Dari 211 negara yang terdaftar sebagai anggota FIFA, San Marino adalah salah satu negara dengan gelar negara terburuk (meskipun bukan peringkat terakhir). San Marino baru memenangkan satu pertandingan saja sepanjang sejarah, yaitu saat melawan Liechtenstein pada April 2004.
Jadi jika kalian adalah pemuda dengan talenta sepakbola yang di atas rata-rata tapi tinggal di negara dengan populasi yang banyak seperti Indonesia, San Marino bisa menjadi tujuan hidup kalian.
Peluang Bermain untuk San Marino
Berbeda dengan Indonesia, hanya terdapat 31.817 jiwa yang menghuni total 9 castelli di San Marino. Dari jumlah tersebut, 15.343 di antaranya adalah laki-laki dengan usia rata-rata 41,7 tahun.
Jika sama dengan di atas, kita mengasumsikan usia 16-35 adalah usia ideal untuk membela timnas San Marino, maka akan terdapat 5.431 laki-laki yang tersisa. Lalu dengan formula yang sama pula, kita akan mendapatkan angka 489 laki-laki yang bisa dinilai sesuai standar sebagai pesepakbola yang baik, dengan hanya 7,29 laki-laki saja yang memenuhi standar sebagai penjaga gawang.
Kembali dengan standar 3 penjaga gawang yang biasa dibawa oleh manajer tim nasional, angka tersebut akan mengerucut menjadi satu banding 2,4. Itu artinya, kita "hanya" harus bersaing dengan maksimal 3 orang saja untuk bisa menjadi salah satu anggota penjaga gawang tim nasional San Marino. Lagi-lagi: Wow!
Semudah itukah?
Jika kita lagi-lagi mengesampingkan bakat, masalahnya adalah apakah semudah itu untuk memperoleh paspor kewarganegaraan San Marino?
Andaikan kalian beruntung untuk lahir di sana atau orang tua kalian berasal dari sana, kalian mungkin akan mendapatkan kemudahan dalam perizinan. Namun, jika kalian sekonyong-konyong memang ingin pindah kewarganegaraan menjadi San Marino, ini akan menjadi urusan yang sangat panjang.
Kalian harus menyerahkan status kewarganegaraan kalian sepenuhnya kepada San Marino dan bersedia untuk tinggal setidaknya selama 30 tahun di San Marino. Hal itu terlihat jelas mustahil, bahkan jika sekarang kalian masih sangat muda sekalipun.
Untuk mendapatkan kewarganegaraannya saja kalian harus membuang banyak waktu kalian sehingga tidak akan cukup bagi kalian untuk bermain di level internasional bersama tim nasional San Marino. Tapi setidaknya kalian akan memberikan kesempatan untuk anak-anak keturunan kalian untuk bermain sepakbola di level tertinggi bersama negara level terendah. Hiks.
Jadi, lebih cinta mana kalian, cinta negara Indonesia atau cinta sepakbola? Saya, sih, cinta keduanya, tapi jadi penonton saja...
Komentar