Sejak 2016, sejak PSSI tidak lagi dihukum FIFA, Bayu Pradana tak pernah luput dalam daftar panggilan pemain tim nasional. Ini artinya, sejak saat itu pula ketika daftar pemain timnas atau susunan pemain timnas rilis, akun Twitter Panditfootball kerap kali diramaikan dengan satu pertanyaan yang terus berulang; "Apa sih bagusnya Bayu Pradana?".
Sejak uji tanding "pertama" menghadapi Malaysia, ketika timnas Indonesia masih ditangani Alfred Riedl (kini Luis Milla), nama Bayu Pradana mulai selalu menghiasi skuat timnas Indonesia. Gelandang Mitra Kutai Kartanegara tersebut sudah mencatatkan 16 penampilan timnas dari total 19 laga sepanjang 2016-2018.
Hanya tiga kali Bayu Pradana tak berlaga di timnas. Absennya Bayu pun lebih karena "aturan" yang membuatnya harus tersingkir. Melawan Myanmar pada Maret 2017, skuat Indonesia diisi oleh pemain U23 seluruhnya. Pada November 2017 melawan Guyana, hanya satu pemain senior yang dipanggil (Ilija Spasojevic). Sementara saat menghadapi Islandia, ia tak masuk dalam polling pemain pilihan masyarakat Indonesia untuk Indonesia XI (ini bukan timnas kan, ya?), tapi ia terpanggil pada laga melawan Islandia beberapa hari berselang.
Dalam data yang kami himpun, dalam 16 kali tampil, hanya tiga kali Bayu Pradana tidak bermain sebagai starter. Belum lagi 10 kali di antaranya ia bermain penuh selama 90 menit. Di Piala AFF 2016, hanya sekali ia masuk sebagai pemain pengganti (enam kali lainnya bermain penuh). Pada laga melawan Fiji dan Puerto Riko pun, ketika Milla menarik keluar enam hingga tujuh pemain, Bayu adalah salah satu pemain yang tetap bermain hingga pertandingan berakhir.
Jadi, apa sih bagusnya Bayu Pradana? Sebelum menuding kalau kapten Mitra Kukar tersebut sebagai pemain titipan, berikut kami coba analisis alasan kenapa Bayu selalu menghiasi skuat timnas Indonesia dalam dua tahun terakhir.
***
Nama Bayu Pradana baru muncul ke permukaan bersamaan dengan mulai naiknya pamor Mitra Kukar. Mitra Kukar sendiri, meski sudah mentas di divisi teratas Liga Indonesia sejak musim 2010/2011, tidak terlalu diperhitungkan sebagai kesebelasan besar sebelum akhirnya mereka mendatangkan pemain-pemain asing berkualitas.
Sebelum itu, Bayu Pradana bermain di Persis Solo, Persipasi Bekasi (sebelum merger dengan Pelita Bandung Raya), Persepar Palangkaraya, dan Persiba Balikpapan. Di Persiba ia termasuk salah satu pemain skuat ISL 2015. Ia dimainkan satu kali sebelum liga berhenti karena PSSI dibekukan FIFA.
Bayu berposisi sebagai gelandang tengah. Lebih spesifik; gelandang bertahan. Karena posisinya inilah, mungkin, tidak banyak melihat kehebatan pemain alumnus Diklat Salatiga ini. Apalagi Bayu bukanlah pemain yang handal dalam menjegal lawan seperti Syamsul Chaeruddin atau Hariono.
Kehebatan Bayu memang bukan menekel atau merebut bola dari kaki lawan. Hanya saja, ia punya kemampuan untuk menghentikan serangan lawan dengan meminimalisasi benturan dengan lawan. Ia pandai membaca arah serangan lawan (kemudian mengintersepnya), men-delay serangan lawan (memberi waktu rekannya untuk kembali ke pertahanan), dan menginisiasi serangan awal timnya.
Kelebihan-kelebihan Bayu Pradana memang tak terdeteksi secara kasat mata atau secara statistik, tak seperti penyerang dengan golnya atau gelandang dengan asisnya. Gerakannya yang bisa membuat lawan batal melancarkan serangan balik misalnya, dengan memberikan pressing awal, memang tak bisa diukur dengan angka statistik. Melihat gaya bermain dan perannya, Bayu lebih cocok disebut penghambat serangan lawan ketimbang pemutus serangan lawan.
Indikator keberhasilan skema pertahanan memang tidak hanya sekadar tidak kebobolan. Ketika lawan melakukan operan pasif (operan yang tidak mengarah ke gawang lawan, contohnya mengembalikan bola ke area pertahanan sendiri) pun menjadi salah satu ukuran keberhasilan skema bertahan. Bayu Pradana punya tugas utama untuk melakukan itu. Sementara tidak ada variabel yang tepat untuk menghitung atau pun mengukur gerakan tanpa bola tersebut secara statistik.
Saat ini, tugas seorang gelandang bertahan tak selesai hanya ketika ia berhasil merebut bola. Karenanya peran yang diemban Bayu tak mudah dimainkan. Karena sebagai gelandang yang tugas utamanya membantu pertahanan, akan sangat riskan melakukan pelanggaran.
Di sepakbola modern, saat ini gelandang bertahan tidak lagi hanya sekadar menekel, menerjang, melanggar, atau merebut bola. Sekarang gelandang juga harus bisa menciptakan situasi saat diserang bisa dengan cepat diubah menjadi situasi menyerang, atau yang lebih dikenal dengan transisi dari bertahan ke menyerang.
https://twitter.com/ardynshufi/status/962279325583122432
Bersambung ke halaman selanjutnya
Halaman kedua
Bayu Pradana menjadi salah satu pemain Indonesia, seorang gelandang bertahan, yang handal dalam mengubah dari tertekan menjadi menekan, diserang jadi menyerang, tidak diuntungkan menjadi diuntungkan, dalam waktu singkat. Terlebih lagi sebagai gelandang bertahan ia tak banyak merugikan tim lewat pelanggaran-pelanggarannya.
Sebagai contoh, ketika ia berhasil meloloskan Mitra Kukar dari babak grup Piala Presiden sebagai juara grup, dari tiga laga ia hanya melakukan enam pelanggaran. Padahal ia bermain penuh pada laga melawan Barito Putera dan Kalteng Putra, bermain hingga menit ke-75 pada laga melawan Martapura.
Pada laga melawan Barito (Mitra Kukar menang 1-0), Bayu berhasil mencatatkan 17 intersepsi dalam satu pertandingan. Douglas Packer dan Matias Cordoba tak banyak menguasai bola berkat kemampuan Bayu membaca serangan lawan. Sementara itu melawan Martapura, ia berhasil mencatatkan 42 operan berhasil dari 50 kali percobaan. Satu umpannya bahkan menjadi sumber terciptanya gol Mitra Kukar.
https://twitter.com/ardynshufi/status/962853691672834048
Indonesia butuh pemain gelandang yang bisa melepaskan umpan jauh akurat karena kelebihan para pemain Indonesia itu sendiri. Para pemain terbaik Indonesia dalam 20 tahun terakhir bisa dibilang mayoritas berposisi di winger, dimulai dari era Boaz Solossa, Andik Vermansah, hingga kini Febri Hariyadi. Para pemain ini akan sangat menyengat ketika bisa memaksimalkan kemampuan dribel atau berlarinya (sprint). Di situlah para pemain dengan umpan panjang akurat, seperti Firman Utina misalnya, sangat dibutuhkan timnas.
Saat ini, khususnya di Indonesia, tak banyak gelandang bertahan yang bisa melakukannya. Apalagi setelah era Ponaryo Astaman berakhir, generasi penerusnya justru tertinggal jauh (dari segi pengalaman) karena baru ada dalam diri pemain U23 seperti M. Hargianto, Evan Dimas, atau Paulo Sitanggang.
Setelah era Ponaryo, gelandang-gelandang seperti itu diharapkan muncul dalam diri I Gede Sukadana, M. Taufiq, Ahmad Bustomi, atau Eka Ramdani. Tapi nama-nama tersebut tak mencapai potensi maksimalnya, entah tak ada pelatih yang mampu memolesnya atau memang sang pemain yang kemampuannya mentok (terkena cedera misalnya).
Maka dari itu, menjadi tak heran ketika Bayu Pradana-lah yang terus-terusan terpilih dipanggil timnas. Pemain seusianya yang setipe dengannya saat ini adalah Hendro Siswanto, Asep Berlian, Rasyid Bakrie, Rizky Pellu, Dedi Kusnandar, dan Imanuel Wanggai.
Dari nama-nama tersebut, Bayu yang saat ini berusia 26 tahun bisa dibilang memiliki penampilan yang paling konsisten. Sebenarnya ada satu nama lain yang seharusnya bisa menyaingi Bayu, yakni Egi Melgiansyah, namun namanya tenggelam karena ia mengalami cedera parah beberapa tahun silam.
Jangan lupakan pula Milla yang berasal dari Spanyol. Pola 4-2-3-1 atau 4-3-3 modern yang kini populer di Indonesia, awalnya populer di Spanyol (berkat Juanma Lillo). Pada formasi dasar ini memang diperlukan gelandang bertahan yang selain jago bertahan juga handal dalam melakukan transisi bertahan ke menyerang. Di timnas Spanyol, peran ini diemban Sergio Busquets. Karenanya sama seperti Busquets, Bayu sebenarnya `hebat tapi tak terlihat hebat` karena perannya.
Luis Milla tentu tahu betul cara memaksimalkan skema 4-2-3-1 terlebih dengan para pemain sayap Indonesia yang sangat bertalenta. Namun, tidak banyak pemain bertahan yang bisa memanjakan para pemain tersebut dalam situasi serangan balik. Di matanya, termasuk pandangan Riedl juga mungkin, saat ini, pemain-pemain yang mampu melakukannya tinggal Bayu, Fadil Sausu, Dedi Kusnandar, Evan Dimas, dan Hargianto. Jadi jangan heran jika nama-nama tersebut yang terus menghiasi skuat timnas Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.
***
Saat ini Mitra Kukar dilatih oleh pelatih asal Spanyol, Rafael Berges. Mitra Kukar berhasil lolos ke babak perempat final Piala Presiden 2018 sebagai juara grup dengan tanpa kebobolan, sebelum akhirnya dikalahkan Persija Jakarta di fase gugur.
Berges, sama seperti Milla, mengandalkan Bayu sebagai double pivot dalam formasi dasar 4-2-3-1 atau single pivot pada pola 4-3-3. Mitra Kukar berpotensi menjadi kesebelasan kejutan pada Liga 1 2018 nanti. Setelah gagal nyetel dengan Mohamed Sissoko, ia kini akan berduet dengan mantan gelandang Liverpool lainnya, Danny Guthrie.
Jika tidak cedera (ia absen sejak pertandingan kedua Piala Presiden karena cedera), Guthrie dan Bayu akan menjadi duet lini tengah yang sulit ditembus lawan sekaligus mengancam lewat umpan-umpan panjangnya pada Hendra Bayauw, Rifan Nahumarury, hingga Septian David Maulana untuk kemudian diteruskan pada Fernando Ortega melalui umpan silang.
foto: pssi.org