Font size:
“Saya sama sekali tidak terkejut,” kata Peter Swan mengenai isu pengaturan skor yang belakangan diketahui banyak terjadi di seluruh penjuru Eropa. “Apa yang dikatakan oleh orang-orang benar adanya. Uang adalah sumber dari semua keburukan,” lanjut pria berusia 78 tahun tersebut.
Swan adalah satu dari tiga nama yang dijatuhi larangan bertanding seumur hidup karena terlibat dalam pengaturan skor. Di pertandingan yang melibatkan Ipswich Town dan Sheffield Wednesday pada bulan Desember 1962, Swan dan dua rekan satu timnya dinyatakan bersalah karena secara sengaja mengatur hasil akhir pertandingan. Dua pemain lainnya adalah David Layne dan Tony Kay. Swan, Layne, dan Kay tahu bahwa jika mereka bertaruh akan kemenangan Ipswich, mereka akan mendapatkan keuntungan besar. Dan begitulah. Swan, Layne, dan Kay yang bermain untuk Wednesday “membantu” Ipswich meraih kemenangan meyakinkan dua gol tanpa balas. Hukuman Swan dicabut pada tahun 1972. Swan, yang mengaku menyesali keterlibatannya dalam pengaturan skor, kembali bermain untuk Wednesday. Pria yang lahir di Yorkshire tersebut kemudian hijrah ke Matlock Town untuk menjadi seorang player-manager. Bersama tim Non-Liga tersebut, Swan berhasil meraih gelar juara FA Trophy. Swan kemudian mendirikan dan mengelola sebuah pub untuk mengisi masa-masa pensiunnya. Beberapa orang yang terlibat dalam kejahatan yang sama tidak seberuntung Swan (yang kembali diterima dengan baik dan dimaafkan oleh semua pihak yang ia sakiti). Maaf-memaafkan dan penerimaan kembali memang bukan sesuatu yang bisa dipaksakan dan diatur seperti hasil pertandingan. Biarlah masyarakat yang menentukan sikap terhadap para pelaku kejahatan itu. Yang pasti, menurut Swan, tidak perlu kita merasa terkejut mendapati sepakbola telah begitu rusak. Pria yang pernah bermain untuk tim nasional Inggris dalam 19 pertandingan tersebut masih menghabiskan banyak waktunya untuk menyaksikan pertandingan sepakbola. Dari mata seseorang yang pernah nyaris kehilangan semua yang ia miliki karena terbukti mengatur hasil akhir pertandingan, dapat dilihat bahwa hingga saat ini praktek hitam tersebut masih berlangsung. Lebih parah dari dahulu dan tidak akan pernah berhenti, malah. "Sekarang ini banyak tercipta gol-gol mudah. Para pemain tidak terlihat benar-benar berusaha untuk membuang bola," ujar Swan. "Dan para penyerang gagal mencetak gol dari peluang-peluang emas, bukan?” Setiap kali Swan melihat seorang penyerang yang gagal memanfaatkan sebuah peluang emas, ia berpikir, “bahkan sebagai seorang pemain belakang saya bisa mengubah peluang seperti itu menjadi gol.” Kasus pengaturan skor yang dilakukan oleh Swan dan rekan-rekannya hanyalah satu dari sekian banyak kasus serupa. Di Korea Selatan, 41 orang pemain profesional yang berlaga di K-League dijatuhi hukuman bermain sepakbola seumur hidup. Dan kejahatan ini tidak hanya dilakuan oleh pemain. Robert Hoyzer, seorang wasit, terbukti menjadi aktor sentral dalam kasus pengaturan skor paling buruk yang pernah terjadi di Jerman. Halaman Berikutnya: El Salvador, Negara Para Pelaku Pengaturan Skor El Salvador, Negara Para Pelaku Pengaturan Skor Seorang anak bernama Armando José Collado Lanuza dilahirkan ke dunia pada 17 November 1985. Seperti bocah lelaki kebanyakan, Collado lantas memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pemain sepakbola profesional. Delapan belas tahun setelah terlahir ke dunia, ia berhasil menggapai impian tersebut. Parmalat FC menjadi klub profesional pertamanya. Tempat ia menjalani debut sebagai pemain profesional. Pada tahun 2008, ia naik kelas. Collado dipanggil oleh tim nasional Nikaragua dan menjalani debutnya pada bulan Februari, di pertandingan kualifikasi Piala Dunia. Kegemilangan karir Collado tidak berlangsung lama. Bukan karena ia pensiun. Bukan karena ia menderita cedera parah yang memaksanya mundur dari dunia sepakbola di usia yang masih terbilang muda. Keterlibatan Collado dalam pengaturan skor membuat FIFA tak lagi memberinya izin untuk bermain sepakbola. Itulah alasannya. Usianya baru 25 tahun saat FENIFUT (PSSI-nya Nikaragua) menjatuhkan larangan bermain kepada Collado, pemain belakang tim nasional mereka sendiri. Collado, kata FENIFUT, telah melakukan sebuah tindakan yang bertentangan dengan olahraga dan kehormatan negara. Collado disebut-sebut menerima suap dan mengatur hasil pertandingan dalam sebuah pertandingan persahabatan pada 4 September 2010. Dalam pertandingan yang melibatkan tim nasional Nikaragua dan tim nasional Guatemala tersebut, Collado ambil bagian besar dalam kemenangan telak lima gol tanpa balas yang berhasil diraih oleh Guatemala. Dijatuhi larangan bermain di Nikaragua adalah sebuah hukuman berat untuk Collado. Pasalnya, di sanalah ia meraih semua kesuksesan sebagai seorang pemain sepakbola. Namun ternyata hukuman yang dijatuhkan oleh FENINUT bukanlah yang paling berat. FIFAikut menjatuhkan hukuman kepada Collado. Pada 16 Oktober 2012, badan tertinggi persepakbolaan dunia tersebut memutuskan bahwa tak ada tempat untuk Collado di belahan dunia manapun. Collado resmi tak boleh lagi berkarir sebagai pemain sepakbola profesional. Walaupun apa yang dilakukan oleh Collado adalah sebuah skandal yang mencoreng muka sepakbola Nikaragua, hal tersebut boleh dibilang tidak begitu mengejutkan. Bukan tak mungkin Collado mau melakukan tindakan tak terpuji tersebut karena di negara asalnya, begitu mudah untuk meminta seorang pemain untuk mengatur hasil pertandingan. Sebagai catatan, Collado lahir di El Salvador. El Salvador memang telah rusak. Jangankan merugikan negara angkat demi keuntungan pribadi seperti Collado. Para pemain El Salvador yang bermain untuk tim nasional El Salvador saja dapat dengan mudah disuap untuk membuat tim nasional mereka sendiri menanggung malu. Federasi sepakbola El Salvador melakukan pemeriksaan terhadap 22 pemain tim nasional yang ambil bagian dalam dua pertandingan yang dicurigai. Dua pertandingan yang dimaksud adalah kekalahan 5-0 di pertandingan melawan Meksiko pada tahun 2011 dan kekalahan 4-2 di pertandingan melawan Paraguay pada tahun 2013. Dari 22 nama yang diperiksa, hanya satu pemain yang dinyatakan bersih. Empat belas dari 21 nama yang dinyatakan bersalah dijatuhi hukuman larangan bermain sepakbola seumur hidup. Roberto Rojas dan Silet yang Membuat Chile Dihukum FIFA Argentina berhak lolos otomatis ke Piala Dunia 1990 karena mereka menyandang status juara bertahan; juara Piala Dunia 1986. Kondisi tersebut membuat sembilan tim lain dari zona CONMEBOL harus berjuang mati-matian agar dapat ambil bagian di Italia 1990. Hanya dua tim yang lolos otomatis ke putaran final. Satu lainnya masih harus melakoni pertandingan play-off. Brasil, Chile, dan Venezuela tergabung dalam satu grup yang sama di Grup 3. Hanya ada satu tim yang berhak lolos dari grup ini, dan tim tersebut jelas bukan Venezuela (empat kali bertanding, Venezuela selalu kalah; mereka kebobolan sebanyak 18 kali dan hanya berhasil mencetak satu gol). Hanya ada dua pilihan. Jika bukan Brasil, maka Chile yang akan lolos. Pilihan yang sulit untuk para penikmat netral karena kedua tim sama-sama tampil bagus. Baik Brasil maupun Chile sama-sama telah meraih dua kemenangan (dari pertandingan kandang dan tandang melawan Venezuela) dan satu hasil imbang (saat berhadapan dengan satu sama lain) sebelum keduanya kembali harus saling mengalahkan di pertandingan terakhir Grup 3. Pertandingan penentuan tersebut berlokasi di Maracanã. Chile hanya memiliki satu pilihan untuk lolos ke Piala Dunia 1990: mereka harus menang. Walaupun poin yang diraih oleh kedua tim sama banyak, Brasil tidak perlu menang untuk berada di atas Chile. Keunggulan selisih gol membuat hasil imbang saja cukup untuk membawa Brasil lolos ke putaran final Italia 1990, mempertahankan prestasi mereka sebagai satu-satunya tim yang tidak pernah absen dari Piala Dunia. Lewat Careca di menit ke-49, Brasil memimpin. Chile terancam gagal lolos ke Piala Dunia 1990. Mencetak dua gol dari kondisi tertinggal, bagaimanapun, bukan perkara mudah. Apalagi jika lawannya adalah Brasil. Saat waktu normal masih tersisa 20 menit, penjaga gawang Chile, Roberto Antonio Rojas Saavedra terlihat jatuh kesakitan. Sebuah kembang api yang masih menyala tergeletak tidak jauh darinya. Kembang api tersebut dilempar dari tribun penonton oleh seorang pendukung Brasil bernama Rosenery Mello do Nascimento. Ternyata Rojas tak hanya tergeletak kesakitan. Ia berlumuran darah. Ada luka sobek di kepalanya. Para pemain Chile menolak untuk melanjutkan pertandingan karena mereka merasa bahwa kondisi yang ada tidak menjamin keselamatan mereka. Brasil terancam dihukum oleh FIFA; rekor sempurna mereka terancam ternoda. Pada akhirnya Brasil tetap berlaga di Piala Dunia 1990. Chile, sementara itu, gagal lolos karena tidak berhasil memuncaki klasemen Grup 3. Tak hanya itu, Chile juga dijatuhi larangan ikut serta di Piala Dunia 1994. Dan Rojas tak boleh lagi bermain sepakbola seumur hidup. Rekaman video menunjukkan bahwa luka sobek di kepala Rojas tidak disebabkan oleh lemparan kembang api. Ia melukai dirinya sendiri dengan sebuah silet yang ia sembunyikan di balik sarung tangannya. Tindakan tersebut ia lakukan untuk memfitnah Brasil. Jika Brasil dinyatakan bersalah oleh FIFA, maka hak berlaga di Piala Dunia akan jatuh ke tangan Chile.