Elegi Para Pesepakbola yang Mati Terbunuh

Elegi Para Pesepakbola yang Mati Terbunuh
Font size:

Kabar duka datang dari Afrika Selatan. Kapten tim nasional mereka, Senzo Meyiwa, tewas ditembak. Kejadian tragis itu terjadi di rumah kekasih Meyiwa yang terletak di Vosloorus, dekat Johannesburg, pada hari Minggu (26/10) pukul 8 malam waktu setempat.

Kepolisian setempat menyatakan bahwa Meyiwa adalah korban dari perampokan bersenjata. Dua orang masuk ke dalam rumah sementara satu lainnya berjaga di luar. Ketiganya melarikan diri setelah penembakan. Kepolisian menjanjikan imbalan sebesar 150 ribu rand (14 ribu dolar) untuk siapapun yang mampu memberikan informasi untuk mempermudah penangkapan pelaku pembunuhan Meyiwa. Walau sudah memberikan keterangan mengenai penyebab kematian Meyiwa, pihak kepolisian �menyebutkan bahwa mereka masih melakukan pemeriksaan untuk mencari tahu ada atau tidaknya motif lain di balik penembakan Meyiwa. Menurut juru bicara kepolisian, ada tujuh orang di dalam rumah saat penembakan terjadi. Kepolisian juga menyebutkan bahwa sebelum Meyiwa �ditembak, ada pertengkaran yang mendahuluinya. Kasus penembakan yang terjadi kepada Meyiwa bukanlah kasus penembakan pertama yang menimpa seorang pemain sepakbola. Berkali-kali sudah pemain sepakbola (baik yang profesional maupun amatir) ditemukan tewas tertembak setelah terlibat pertengkaran. Kasus serupa pernah juga terjadi di Venezuela pada 25 Mei lalu. Jhonny Perozo berstatus bebas transfer setelah kontraknya bersama Zulia tidak diperpanjang ketika ia ditemukan tewas di depan sebuah bar yang terletak di sebuah sports center yang berlokasi di kota Langunillas. Bersama dengan satu orang temannya, Alberto Tey, pemain berusia 29 tahun tersebut ditembak oleh seorang pria yang bertengkar dengan keduanya. Keterangan tersebut didapatkan dari seorang jaksa setempat. Penembakan berencana, bagaimanapun, lebih sering terjadi. Motif penembakan bisa jadi ada hubungannya dengan apa yang dilakukan oleh sang pemain di lapangan, bisa pula tidak. Pemain sepakbola, bagaimanapun, adalah bagian dari masyarakat yang tidak semua interaksi sosialnya terjadi di atas lapangan saja. Terlepas dari ada atau tidaknya masalah antara para pemain yang tewas ditembak dengan para pelaku penembakan, kematian seorang pemain sepakbola selalu saja meninggalkan duka mendalam. Pasalnya yang merasa kehilangan bukan hanya keluarga dan orang-orang terdekat saja, namun juga pihak klub. Apalagi jika pemain yang tewas adalah pemain andalan. Halaman Berikutnya: Korban-korban Penembakan yang Terencana Korban-Korban Penembakan Terencana Klub sepakbola asal Jamaika, Copperwood FC, menjalani kehidupan yang lebih sulit pasca kejadian tragis yang menimpa salah satu pemain andalan mereka pada 13 April 2010. Byron Clarke, penyerang subur milik tim yang berlaga di St James Division One tersebut, tewas ditembak oleh dua orang tak dikenal di depan rumahnya sendiri. Saat mendapati telepon genggamnya berdering, Clarke pergi ke luar rumah untuk menerima telepon. Ia kemudian berbincang-bincang dengan lawan bicaranya di seberang telepon sembari duduk di atas batu besar yang terdapat di halaman depan rumahnya. Saat itulah penembakan terjadi. Dua orang pria bersenjata api menembaki tubuh Clarke berkali-kali. Sang pemain tewas di tempat. Saat dimintai keterangan oleh pihak kepolisian, keluarga Clarke mengaku tidak tahu alasan apa yang membuat pelaku penembakan tega membunuh Clarke. Sama seperti Clarke, Ahmed Shallal yang bermain untuk Ath-Thawra, tidak berada jauh dari rumahnya di kota Kirkuk saat ia tewas ditembak setahun sebelumnya. "Seorang pemain liga top Irak tewas ditembak oleh pelaku tidak dikenal pada hari Selasa (10/2) ketika ia sedang menunggu taksi yang akan mengantarnya ke klub," tulis pemberitaan di Hindustani Times. "Ia sedang menunggu taksi di dekat rumahnya. Dan seorang sosok tidak dikenal, yang ditemani oleh satu atau dua orang lainnya dalam satu mobil yang sama, menembakinya," kata juru bicara kepolisian setempat mengenai penembakan yang menimpa Shallal. Said Nuri Mohammed, direktur Ath-Thawra, mengaku kehilangan begitu ia mendapati kabar bahwa salah seorang pemain andalannya telah pergi untuk selamanya. "Kami tidak tahu mengapa ia dibunuh. Entah itu sebuah aksi terorisme atau alasan lain. Yang pasti, kami kehilangan seorang pemain andalan," ujarnya. Kota Kirkuk memang mencekam. Sepekan sebelum Shallal tewas ditembak, seorang polisi tewas akibat sebuah bom. Empat polisi lain terluka dalam insiden yang sama. Dan ternyata tempat yang tenang tidak menjamin keamanan untuk siapapun. Walaupun Nottingham begitu sepi dan tidak sedang dilanda teror seperti Kirkuk, pembunuhan bisa saja terjadi. Mark Shaw, seorang pemain sepakbola amatir berusia 24 tahun, ditemukan tewas di halaman belakang rumahnya lepas tengah malam pada 20 Agustus 2010. Shaw yang berdomisili di area Heatherington Gardens, Top Valley, Nottingham, tewas karena sebuah luka tembak tunggal. Polisi menyatakan bahwa Shaw adalah korban dari sebuah pembunuhan berencana. Detektif yang melakukan pemeriksaan memperkuat pernyataan tersebut. Keterangan yang didapatkan dari detektif yang melakukan pemeriksaan menyebutkan bahwa pelaku pembunuhan Shaw melancarkan aksinya dengan gaya eksekusi. "Putra saya berusia 23 tahun dan bersekolah di tempat yang sama dengannya. Ia adalah salah satu pemain sepak bola andalan dan saya tidak percaya bahwa ia terlibat dalam masalah apapun," kata salah seorang tetangga Shaw. Shaw dikenal sebagai sosok yang ramah dan lembut. Terlepas dari apa yang diyakini oleh para tetangga mengenai Shaw, pihak kepolisian menyebutkan bahwa kejadian tragis yang menimpa Shaw mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa Shaw berasal dari daerah Bestwood. Area tersebut adalah wilayah kekuasaan Colin Gunn, pimpinan geng setempat yang pernah ditahan karena terbukti membunuh sepasang remaja pada tahun 2006. Halaman Berikutnya: Gol-gol yang Berakhir dengan Pembunuhan Gol-Gol Kematian Tahun 1990an menjadi masa-masa keemasan untuk tim nasional Kolombia. Pada gelaran Piala Dunia 1990 di Italia, langkah mereka baru terhenti di perdelapan final ketika dikalahkan oleh Kamerun lewat masa perpanjangan waktu. Kolombia kembali empat tahun kemudian dengan sangat meyakinkan. Tim asuhan Francisco Maturana lolos ke Piala Dunia Amerika Serikat dengan sangat meyakinkan. Ditempatkan di Grup 1 pada putaran kualifikasi zona CONMEBOL, Kolombia tak sekalipun menderita kekalahan. Padahal pesaing-pesaing Kolombia saat itu adalah Argentina, Paraguay, dan Peru. Bahkan Argentina, juara Piala Dunia 1986 dan runner-up Piala Dunia 1990, mereka kalahkan dengan skor meyakinkan lima gol tanpa balas. Performa gemilang di babak kualifikasi tersebut menjadikan Kolombia salah satu unggulan di putaran final Piala Dunia. Berada di Grup A dengan Amerika Serikat, Swiss, dan Rumania, Kolombia diprediksi mampu lolos sebagai juara frup oleh banyak orang. Namun ternyata Los Cafeteros tampil mengecewakan. Kolombia pulang cepat dengan status juru kunci. Mereka menelan dua kekalahan di dua pertandingan pertama mereka. Kepastian pulang cepat mereka dapatkan setelah menderita kekalahan di pertandingan kedua, melawan tim nasional Amerika Serikat. Kemenangan Amerika Serikat kala itu sedikit banyak "terbantu" oleh gol bunuh diri Andr�s Escobar. Pertandingan terakhir melawan Swiss berhasil diakhiri oleh Kolombia dengan kemenangan, namun hal tersebut tak berarti bagi Kolombia maupun Swiss. Kolombia sudah pasti tersingkir dan Swiss sudah pasti lolos ke fase gugur. Penampilan mengecewakan yang ditunjukkan oleh Kolombia di Piala Dunia 1994 membuat banyak orang merasa kesal. Terutama orang-orang yang menjagokan Kolombia di rumah-rumah judi. Ancaman mati mengiringi kepulangan Kolombia dari Amerika Serikat. Kondisi tersebut membuat para pemain mendapatkan pengamanan khusus. Para pemain Kolombia juga disarankan untuk tidak keluar rumah kecuali jika keadaan sangat mendesak. Amarah masyarakat belum mereda dan hal tersebut dapat menjadi sesuatu yang berbahaya untuk para pemain. Namun Escobar tetap meninggalkan rumahnya untuk bertemu dengan temannya pada suatu malam di hari pertama bulan Juli tahun 1994. Setelah Escobar berpisah dengan temannya, Escobar dihampiri oleh dua orang pria bersenjata di luar sebuah restoran yang terletak di Medellin. "Terima kasih untuk gol bunuh dirinya," kata salah seorang penembak Escobar sebelum mereka melancarkan aksi. Escobar ditembak sebanyak 12 kali, dan setiap melepaska tembakan para pelaku berteriak "gol!" Gol yang dicetak oleh Heidar Kazem berbeda dengan Escobar, namun nasib Kazem sama tragisnya. Kazem, pemain berkebangsaan Irak yang bermain untuk sebuah klub bernama Sinjar, tidak mencetak gol ke gawang yang salah. Ia menyarangkan bola ke gawang Buhayra, membantu Sinjar meraih angka. Bagaimanapun, salah atau benar itu urusan sudut pandang. Menurut beberapa pihak, apa yang dilakukan oleh Kazem adalah sebuah kesalahan. Salah seorang pendukung Buharya merasa tidak senang melihat gawang tim kesayangannya kebobolan. Ia kemudian menarik keluar pistol yang dibawanya, mengarahkannya kepada Kazem, dan melepaskan tembakan saat Kazem sedang merayakan gol yang baru saja ia ciptakan. Peluru bersarang di kepala Kazem. Sang pemain langsung dilarikan ke rumah sakit. Sebelum Kazem nyawa Kazem berhasil diselamatkan, ia berpulang.
Van Dijk dan Evan Dimas Masuk Skuat AFF 2014
Artikel sebelumnya Van Dijk dan Evan Dimas Masuk Skuat AFF 2014
“Flare”, Polandia, dan Kejahatan Internasional
Artikel selanjutnya “Flare”, Polandia, dan Kejahatan Internasional
Artikel Terkait