Font size:
Para penonton yang memenuhi Stadion Old Trafford berdiri sembari bertepuk tangan dan tersenyum. Mereka menyaksikan pemandangan langka saat David Beckham ditarik keluar. Soalnya ia diganti pemain yang sama-sama bernomor punggung "7"; bukan Geroge Best, atau Eric Cantona. Bukan pula Angel Di Maria ataupun Antonio Valencia. Beckham diganti oleh sang putra, Brooklyn.
Momen tersebut terjadi dalam sebuah pertandingan amal (Charity Match) yang digelar pada November 2015 silam. Tentu kita melihat keanehan karena meski bertajuk pertandingan amal, tapi tiket sudah habis terjual beberapa hari sebelum pertandingan. Pendapatan dari pertandingan itu sendiri akan disalurkan oleh UNICEF untuk melindungi anak-anak dari bahaya di seluruh dunia. Memang, selain Beckham, turut hadir sejumlah bintang sepakbola seperti alumnus Class of '92, alumnus Carrington macam Edwin van Der Sar, Park Ji-Sung, dan Ole Gunnar Solksjaer, hingga para pemain top macam Zinedine Zidane dan Ronaldinho. Ini pula yang bisa jadi menjadi magnet bagi penggemar sepakbola untuk meluangkan waktu dan uangnya buat hadir di Old Trafford. Namun, apabila kita melihat lebih jauh, apa yang terjadi pada hari itu nyatanya bukan sekadar pertandingan 90 menit di lapangan; Itu adalah sebuah dukungan untuk kemanusiaan. Hal serupa juga terjadi di Indonesia saat sejumlah pesepakbola turut aktif dalam sebuah pertandingan amal. Konteksnya memang tidak terlalu luas seperti yang dilakukan Beckham dan rekan-rekannya. Namun apa yang dilakukan Tony Sucipto dan kolega tetaplah hal mulia. Mereka membantu rekannya yang sesama pesepakbola. Laga amal tersebut ditujukan untuk memberi motivasi bagi para pesepakbola yang cedera seperti Alfin Tuasalamony, Abdul Rahman Lestaluhu, M. Nasuha, dan Ruben Sanadi. Selain bantuan materi, dukungan secara psikologis pun menjadi satu hal yang dianggap penting bagi peningkatan moral para pesepakbola yang cedera. "Sayangnya, masyarakat kita melihat olahraga itu terlalu dangkal," kata tokoh olahraga nasional, Ary Sudarsono kepada Pandit Football, "Masih ada yang menganggap sepakbola itu cuma adu fisik di atas lapangan." Cedera merupakan risiko yang didapat saat menjadi atlet. Namun, cedera saat menjadi atlet masih tidak sebanding dengan mereka yang telah berlatih sekian tahun, tetapi tak pernah merasakan sebagai seorang atlet profesional. "Mereka ini yang paling merana; yang waktunya habis untuk latihan tapi tak menjadi apa-apa. Indonesia ini paling banyak. Terus yang memikirkan mereka ini siapa? Orang tuanya sudah tidak bisa marah, karena biasanya prinsip orang tua 'daripada gila yang lain mending mereka gila olahraga'. Tapi akibatnya si anak di masa tuanya tidak bisa apa-apa karena ia cuma bisa olahraga. Mereka ini mau dibawa ke mana?" tutur Ary. Pria yang pernah menjadi produser dan presenter sebuah televisi swasta ini pun menekankan bahwa kehadiran wasit pun kerap terpinggirkan. Padahal, wasit memegang peranan kunci dalam sebuah pertandingan olahraga. Menurutnya, hampir tidak ada apresiasi untuk wasit. Malah banyak dari mereka yang menjalani masa tuanya dengan "tidak baik". Dari pengalaman serta analisisnya terhadap kondisi keolahragaan di luar negeri, Ary menilai masyarakat di luar negeri membuat sebuah alternatif dalam bentuk pertandingan amal atau pertandingan solidaritas. "Itu sebetulnya sebuah himbauan kepada masyarakat non-government--masyarakat yang tidak terlibat di pemerintahan, tapi yang cinta olahraga, untuk melihat olahraga (dalam spektrum) yang lebih luas, lebih dalam," kata Ary. Keterlibatan masyarakat dan atlet menjadi poin penting dalam sebuah pertandingan amal atau pertandingan solidaritas yang ideal. Semuanya saling memberikan manfaat untuk satu sama lain. Orang tua bisa melibatkan anaknya untuk menghargai atlet; seseorang menyumbang dalam pertandingan amal karena saudaranya yang menjadi atlet. "Ini dimulai dari Amerika Serikat. Amerika itu negara entertainment. Mereka mengangkat apapun bisa menjadi besar. Pertandingan amal di Amerika itu mirip seperti pesta. Orang tua membawa anak-anaknya datang untuk belajar sejarah olahraga," ucap peraih penghargaan Panasonic Award di kategori Pria Presenter Olahraga Terfavorit ini. Ary menjelaskan kalau di Amerika, hampir semua negara bagian punya kepanitiaan untuk pertandingan amal. Setahun sekali mereka bergabung dan membuat acara besar bernama "The All-Star Games" yang berlangsung selama tiga hari yang lebih mirip seperti festival. "Hari pertama dan kedua itu jumpa penggemar dengan mantan atlet, sama legenda. Mereka lagi sakit pakai tongkat, diminta tanda tangan. Jadi si atlet ini lebih termotivasi buat lebih hidup lagi. Ini sangat keren dan menyentuh, serta edukatif. Atlet yang sedang cedera juga bicara sama anak-anak, 'sekolah yang betul ya, jadi anak yang baik ya'. Orang tuanya memang mencari event untuk memediasi apa yang diinginkan orang tua pada anaknya. Saya mau di Indonesia seperti itu," ucap Ary. Kita tentu pernah mendengar ada atlet yang sebatang kara di masa tuanya. Ia tak mendapatkan penghasilan lain karena memang hanya bisa olahraga. Sementara itu, ia tak lagi bisa bersaing karena fisik yang sudah kalah dengan mereka yang masih muda. Seringkali kita kesal dengan pemangku kebijakan yang menelantarkan atlet begitu saja. Padahal tidak sedikit dari mereka yang pernah mengharumkan nama bangsa di tingkat internasional. Namun, kesal saja tidak cukup. Perlu tindakan nyata yang bukan sekadar ocehan di social media. "Olahraga ini dahsyat. Sepakbola itu racun. Sepakbola Indonesia tidak pernah juara. Tapi sepakbola di Indonesia daya sakral yang luar biasa. Nah, suporter punya peran besar untuk menghimpun dana masyarakat," ucap Ary. Ary pun mencontohkan bagaimana peran suporter bisbol di Amerika Serikat. Mereka menggalang dana untuk kegiatan amal, "Ini soal kepedulian. Pemerintah Amerika juga tidak mampu (menjamin semua atlet)."