Sebuah Kisah dari Benteng: Tentang Agustusan dan Azan Magrib Itu

Sebuah Kisah dari Benteng: Tentang Agustusan dan Azan Magrib Itu
Font size:

Sepakbola tradisional masihlah ada. Setidaknya itulah yang saya tangkap ketika saya menyaksikan sepakbola Agustusan di wilayah Benteng, Sukabumi. Bahkan, peluit akhir yang mereka gunakan pun masih berupa azan magrib yang berkumandang dari mesjid.

Sore itu, di sebuah daerah di pinggiran Sukabumi bernama Benteng, saya sedang menghabiskan sore bersama teman-teman saya yang notabene merupakan warga setempat. Sambil bercengkrama di depan halaman rumah salah satu teman saya, kami menyeruput segelas kopi (yang diminum bersama) dan juga menghisap beberapa batang rokok, kami bercerita sedikit soal sepakbola, termasuk soal klub-klub besar Eropa.

Salah satu teman saya yang pendukung Manchester City berkoar bahwa musim ini City akan menjadi juara setelah manajer The Citizens, Pep Guardiola melakukan pembelian yang bisa dibilang cukup mewah. Sedangkan teman saya yang lain, yang merupakan pendukung Manchester United, percaya bahwa musim 2017/2018 adalah musimnya United untuk berjaya. Adanya sosok Romelu Lukaku dan Nemanja Matic membuat ia percaya The Red Devils akan lebih baik daripada musim lalu.

Perdebatan pun terjadi di antara mereka. Saya yang memerhatikan teman-teman berdebat pun tidak dapat berbicara banyak. Menurut hemat saya, biarkan saja mereka saling memperkuat pandangan mereka masing-masing soal klub yang mereka cintai. Saya tidak mau banyak ikut campur soal itu.

Tak berapa lama, perdebatan mereka pun sedikit terganggu dengan kedatangan ketua Karang Taruna setempat (saya tahu ini dari salah seorang teman saya yang menjelaskan). Pemuda tersebut memberi tahu sekaligus menanyakan kesiapan teman-teman saya untuk mengikuti sepakbola Agustusan yang akan diadakan pada sore tersebut. Ia menyebut bahwa pemain dari RT tempat teman saya tinggal ini masih kurang pemain.

"Gimana, jadi main gak? Ini pemain masih kurang empat soalnya," ujar ketua Karang Taruna tersebut.

Sejenak, teman-teman saya pun langsung berpikir. Perdebatan yang tadinya berlangsung di antara mereka pun mendadak terhenti. Tanpa pikir panjang, teman saya yang juga merupakan pemilik rumah langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Ia pun berganti stelan memakai celana pendek dan jersey salah satu klub sepakbola. "Hayu, urang ges siap! (Ayo, aku sudah siap!)," ujar teman saya tersebut.

Tak berapa lama, kami pun melangkahkan kaki menuju ke sebuah lapangan, tak jauh dari kediaman rumah teman saya di daerah Benteng tersebut.

***

Sore itu matahari tidak terlalu terik. Ia sudah bergerak menuju peraduannya ke arah Barat, bersembunyi di balik awan-awan putih yang tergumpal perlahan. Cuaca yang benar-benar enak untuk berlarian di atas lapangan sembari menendang bola, mengesampingkan penat kerja untuk sementara.

Saya dan teman-teman saya pun sudah berada di lapangan di wilayah Benteng saat itu. Di suasana sore yang nyaman dan enak itu, beberapa warga lain pun sudah berkumpul di sekitaran lapangan. Mereka sudah siap untuk menyaksikan pertandingan bola yang akan dilaksanakan di lapangan Benteng (lapangan bekas petak sawah yang sudah dipanen) sore itu. Para pedagang jajanan pun sudah bersiap di pinggir lapangan, menyajikan kudapan yang bisa dibeli masyarakat dan dinikmati sembari menonton pertandingan.

Saya pun menjadi bagian dari keramaian tersebut. Merasakan hal seperti ini, yang sudah saya jarang temukan di kota Bandung tempat kelahiran saya, adalah sebuah berkah tersendiri. Kota besar sudah jarang lagi menyaksikan atmosfer sepakbola seperti ini. Terakhir kalau saya ingat, saya merasakan atmosfer yang sama di Bandung ketika saya masih berusia 10 tahun ke bawah, saat lapangan masih menjadi sesuatu yang melimpah.

Anak kecil sedang bermain sepakbola Agustusan. Foto: Sandy Firdaus

Di bawah suasana semarak tersebut, saya pun segera mengeluarkan kamera yang sengaja saya bawa. Dalam hati saya berujar, saya benar-benar ingin merekam momen ini. Saya ingin segala kebahagiaan dan atmosfer yang saya saksikan di Benteng ini tetap terjaga dalam balutan foto-foto. Cukup jarang saya menyaksikan momen sepakbola yang bahagia seperti ini, terkecuali mungkin bagi orang-orang yang tinggal di desa yang beruntung masih bisa merasakan kebahagiaan sepakbola Agustusan.

Ada anak-anak yang berbahagia menendang bola. Ada ibu-ibu yang menyaksikan pertandingan sembari bergosip membicarakan harga barang-barang kebutuhan yang semakin naik tak terkira. Di salah satu ujung lapangan, bapak-bapak sibuk memasang sound system, menunjang keramaian acara sore itu. Di satu tempat, para pemuda yang merupakan Karang Taruna setempat sibuk berbicara di depan microphone, bersiap untuk memandu pertandingan. Benar-benar tampak seperti suasana Agustusan.

Suasana warga di pinggir lapangan. Foto: Sandy Firdaus

Namun, ada satu hal menarik yang saya temukan lagi di dalam sepakbola Agustusan versi Benteng, Sukabumi ini. Hal ini saya rasakan ketika langsung ikut bermain di dalamnya.

bersambung ke halaman selanjutnya

***

Hari semakin beranjak sore. Namun, semakin waktu mendekati petang, justru malah makin banyak warga yang datang ke lapangan. Bersamaan dengan mulai berdatangannya penonton ke lapangan, lomba sepakbola yang tadinya diramaikan oleh anak-anak, mulai berganti diramaikan oleh orang dewasa. Hebatnya, saya pun dimasukkan oleh teman saya ke dalam tim.

"Geus maneh maen we. Te nanaon da. Kurang euy pamaenna (Udah kamu main aja. Gapapa kok. Lagian pemainnya kurang)," ujar teman saya. Saya tak bisa menolak, tidak bisa juga mengiyakan. Namun, pada akhirnya saya tetap ikut bagian di dalamnya.

Berkaki telanjang, dan mengenakan pakaian seadanya, saya pun ikut menjadi bagian dari tim tarkam sore itu. Bisa disebut saya pemain gacong, karena saya bukan berasal dari desa, RT, ataupun RW setempat. Malah, beberapa penonton ada yang bilang saya mirip Carlos Puyol, alias marquee player. Saya tidak terlalu memerhatikan hal tersebut. Yang saya tahu saat itu hanya bermain bola dan berbahagia bersama pemuda lain yang juga bermain bersama saya.

Ada yang berambut kribo di dalam lapangan. Itulah saya!

Waktu memang kerap berlalu begitu cepat ketika kita melakukan sesuatu yang kita sukai. Itulah juga yang saya rasakan ketika menjadi bagian sesaat dari tim tarkam dalam pertandingan di Benteng tersebut. Tak terasa waktu pun beranjak mendekati waktu magrib. Menurut sebuah aturan tak tertulis, waktu magrib adalah waktunya menyudahi pertandingan. Tak lama setelah itu, azan magrib pun berkumandang. Waktu bermain bola telah usai.

Semua pun mulai kembali ke peraduannya masing-masing. Keringat membasahi tubuh pemuda-pemuda yang tadi bermain bersama saya. Ada sebuah senyum tersungging di wajah saya, menandakan sebuah kepuasan tersendiri yang mungkin belum lagi saya rasakan sejak sekian lama. Sebuah atmosfer sepakbola tradisional yang apa adanya, tanpa ada embel-embel tertentu. Sepakbola yang, hanya bisa dihentikan oleh waktu magrib semata.

Rasa-rasanya, seperti kembali ke masa kecil yang indah itu. .

***

Salah seorang pemain yang main bersama saya, Demet, mengungkapkan bahwa ajang ini kerap diadakan setiap tahun. Partisipasinya pun tidak hanya dari warga Benteng saja. Warga luar Benteng kerap ikut meramaikan acara yang dibuat menyambut HUT Kemerdekaan Indonesia ini.

"Acara ini ada setiap tahun, partisipasi tidak hanya dari warga Benteng tapi juga dari warga-warga luar Benteng. Mereka semua merayakan hari kemerdekaan bersama-sama," ujarnya.

Menurutnya, banyak jenis lomba sepakbola yang dimainkan di sini yang juga mendapatkan dukungan dari aparat pemerintahan setempat. Ada sepakbola ibu-ibu, anak-anak, bahkan orang dewasa yang berpakaian layaknya ibu-ibu. Dari sekian banyak jenis lomba sepakbola, ia menyebut bahwa sepakbola orang dewasa lah yang punya perhatian khusus di hatinya. Ada semacam laga klasik yang terjalin dalam ajang sepakbola dewasa.

"Saya ingat dulu pernah berantem, yaitu pas RT 1 sama RT 2 ketemu. Udah kaya clasico. RT 1 itu golongan rakyat menengah ke bawah, sedangkan RT 2 itu golongan orang kaya. Ini kadang jadi pemicu keributan juga di lapangan," ungkapnya.

Terlepas dari segala yang Demet ucapkan, saya benar-benar bersyukur menghabiskan sore itu di Benteng, ikut dalam tim tarkam meski hanya dalam satu pertandingan saja. Di situ, saya menyadari bahwa kemuliaan sepakbola tradisional masihlah ada dan hidup. Sepakbola yang diadakan untuk merayakan kemerdekaan Indonesia, sekaligus hanya bisa dihentikan oleh azan magrib.

Terima kasih atas sore yang indah, Benteng. Kelak, jika saya kembali ke sini lain waktu, kemuliaan sepakbola tradisional ini masih bisa saya rasakan di dalamnya.

 

Carlos Bacca Kembali ke La Liga untuk Berseragam Villarreal CF
Artikel sebelumnya Carlos Bacca Kembali ke La Liga untuk Berseragam Villarreal CF
Pressing Ketat Real Madrid Hancurkan Harapan Juara Barcelona
Artikel selanjutnya Pressing Ketat Real Madrid Hancurkan Harapan Juara Barcelona
Artikel Terkait