Naby Keita, Dari Jalanan Guinea ke Anfield

Naby Keita, Dari Jalanan Guinea ke Anfield
Font size:

Naby Keita menunjukkan penampilan memukau bersama RB Leipzig pada musim 2016/2017. Pemain asal Guinea itu berhasil membawa Leipzig menjadi runner-up Bundesliga musim lalu. Keberhasilan yang membuat banyak pihak terkejut, karena Leipzig merupakan tim debutan di level utama kompetisi sepakbola Jerman, dan Keita menjadi salah satu sosok kunci dari keberhasilan tersebut.

Musim lalu, Keita hampir tidak pernah absen dalam daftar susunan pemain Leipzig. Total 32 penampilan di semua ajang dilakoni, dengan torehan delapan gol dan delapan asis. Kemampuan Keita terbilang lengkap sebagai seorang gelandang.

Keita merupakan gelandang dengan determinasi tinggi. Ia mampu melakukan transisi yang cepat baik dari bertahan ke menyerang atau sebaliknya. Pemain berusia 22 tahun itu mumpuni dalam membaca permainan, ia mampu menjadi palang pintu pertama bagi pertahanan timnya, karena Keita kerap kali memutuskan serangan lawan dengan intersep dan tekel.

Keita juga bisa berperan dengan baik sebagai pengatur irama permainan dan pengatur serangan di lini tengah. Kemampuannya semakin apik karena ditunjang dengan kecepatan dan kemampuan dribelnya. Musim lalu, dari data statistik yang dihimpun WhoScored, Keita menempati posisi lima pemain dengan rating dribel tertinggi. 

Sepanjang musim lalu Keita mencatatkan total 130 dribel dengan keberhasilan mencapai 83 kali. Bila di rata-ratakan, sukses dribel Keita mencapai 2,7 per pertandingan. Angka tersebut hanya kalah dari Ousmane Dembele yang memiliki catatan 3,2 dribel per laga. Torehan Keita mengungguli Arjen Robben, Douglas Costa, Thiago Alcantara hingga Emil Forsberg. 

Segala kemampuan yang dimiliki Keita membuat banyak klub tertarik untuk meminangnya, ia menjadi salah satu properti panas di jendela transfer musim panas lalu. Namun Liverpool akhirnya berhasil memenangkan tanda tangan pemain asal Guinea itu, walau dengan susah payah. Meski begitu Liverpool tak bisa langsung menikmati jasa Keita, mereka harus menunggu hingga musim 2017/2018 berakhir, karena pembelian Keita berstatus pembelian masa depan.

Mengawali Karier Sebagai Pesepakbola Jalanan

Liverpool telah menjadikan Keita sebagai pemain termahal Afrika sepanjang sejarah, karena mereka berani mengaktifkan klausul perpindahannya sebesar 48 juta paun. Tentu saja, dengan uang sebesar itu Liverpool menganggapnya merupakan pemain potensial bagi mereka. Sementara bagi Keita, bergabung bersama Liverpool adalah mimpi yang menjadi kenyataan.

Keita berkisah bahwa saat remaja dirinya pernah membentuk sebuah kesebelasan bersama 11 hingga 12 temannya. Saat itu, semua bersepakat mengenakan jersey Liverpool sebagai kaos tim mereka. Kala itu ia mungkin tidak berpikir jauh kalau di masa depan ia akan benar-mengenakan jersey Liverpool dan bermain di arena impiannya, Anfield dengan sokongan dukungan dari puluhan ribu Kopites yang dengan lantang menyanyikan anthem You’ll Never Walk Alone.

"Semua teman saya adalah pendukung Liverpool, dan saya juga sangat menyukai klub ini, jadi kami memutuskannya. Saya tidak memikirkannya atau saya benar-benar bisa membayangkan bahwa saya akan tumbuh dengan  mengenakan kemeja Liverpool sejati dan mewakili Liverpool yang sebenarnya,” ungkap Keita seperti dilansir dari Goal International.

Apa yang diraih Keita saat ini tentulah sebuah kebanggaan bagi dirinya dan keluarga besarnya. Selain itu, ini juga bisa dibilang sebagai ganjaran dari ketekunan dan kerja kerasnya selama ini. Keita bukanlah pesepakbola yang lahir dari keluarga kaya, ia bukan pemain yang bisa mengenal permainan 11 lawan 11 itu di sebuah akademi sepakbola, karena kondisi ekonomi keluarganya yang kurang mendukung.

Namun Keita kecil tidak putus asa. Bersama anak-anak lainnya di Koleya, sebuah wilayah di Conakry, Ibu Kota Guinea, Keita bersemangat berlarian menggiring dan mengejar bola di jalanan. Ia tahu bermain di jalanan tidak akan semulus kala bermain di lapangan. Banyak gangguan, seperti lalu-lalang kendaraan yang setiap saat harus menghentikan permainan.  

Namun Keita tidak memiliki pilihan lain. Karena minimnya fasilitas lapangan sepakbola di sana, maka setiap ada ruang terbuka yang bisa digunakan untuk bermain, maka ia dan rekan-rekannya akan menggunakan tempat tersebut sebagai lapangan sepakbola.

"Kami akan bermain di mana saja, di setiap ruang terbuka; seringnya di jalanan. Dan kami harus menghindari mobil! Saya sering bertabrakan, tapi saya terus melanjutkan permainan karena saya tidak pernah ingin kehilangan penguasaan bola,” terangnya.

“Tidak ada yang bisa memisahkan saya dari bola dan saya belajar banyak dari pengalaman saya di jalan. Kami bermain dengan apapun yang kami bisa dan saya tidak memiliki apa-apa di kaki saya, atau kadang-kadang, bermain dengan sepatu yang sudah tua dan rusak," sambungnya.

Segala kesulitan yang dihadapi Keita kecil saat bermain sepakbola di jalanan ternyata sangat berguna ketika dirinya beranjak dewasa. Sebab dengan menghindari lalu-lalang mobil, dan bermain sepakbola di arena yang jauh dari kata nyaman itu telah membentuk dirinya menjadi pesepakbola tangguh dengan agresivitas dan determinasi tinggi.

"Saya tidak punya sepatu dan kaus sepakbola saat kecil. Tapi semua itu membantu saya menjadi lebih siap untuk apa pun, sekarang sebagai seorang profesional dan saya juga tidak takut pada apapun di lapangan. Saya harus berjuang untuk segalanya: kesempatan untuk bermain, untuk bola, untuk mendapatkan rasa hormat dan karena itulah mobil bahkan tidak bisa menghentikan saya. Di situlah agresi dalam permainan saya, yang sangat penting bagi posisi saya.”

Pil Pahit yang Harus Ditelan Saat di Perantauan

Bakat olah bola Keita sebenarnya sudah terlihat sejak ia masih balita. Pada usia dua tahun, Ibunya sering memarahinya karena hampir semua benda yang mendekat ke kakinya pasti akan ia tendang. Beranjak dewasa, Keita semakin memiliki hasrat untuk menjadi pesepakbola profesional yang bermain di level kompetisi yang tinggi di Eropa.

Bersambung ke halaman berikutnya: Penolakan dari banyak klub karena minimnya pengetahuan taktis Keita. 

Namun keinginannya tersebut sempat terganjal karena kedua orang tuanya lebih mendukung agar dirinya fokus pada pendidikan. Walau begitu, Keita tetap teguh pada pendiriannya untuk menjadi pesepakbola. Ia berpikir bahwa sepakbola adalah salah satu jalan kesuksesan yang bisa ia ambil untuk membahagiakan keluarganya. Pada usia 16 tahun, Keita pun nekat berkelana ke Prancis.

“Saya telah menonton banyak pertandingan Ligue 1, Liga Champions dan Liga Inggris di TV dan saya tahu saya ingin bermain di level itu. Tidak mungkin saya mencapai tujuan itu bila hanya diam di rumah, jadi jelas bahwa saya harus menguji diri dengan pergi ke Eropa. Saya bertekad untuk menjadi pesepakbola, bukan hanya karena saya menyukai permainan ini, tapi saya bisa memberikan sesuatu untuk keluarga saya."

Setibanya di Prancis ia mengikuti beberapa seleksi, salah satunya bersama Le Mans. Perjalanannya tidak semulus yang dibayangkan, banyak kesulitan yang harus dihadapi karena ia harus bersaing dengan pemain-pemain yang tumbuh dan mengenal sepakbola dari akademi, tidak seperti dirinya yang didik oleh sepakbola jalanan. Keita menemui banyak kendala, terlebih dalam penafsiran sepakbola yang rumit.

Saat menjalani seleksi di beberapa kesebelasan, Keita bercerita bahwa dirinya kesulitan untuk memahami apa yang dibicarakan oleh pelatih. Ketika pelatih memberikan instruksi kepadanya, maka ia seperti tengah mengerjakan soal matematika yang rumit. Selain itu, Keita juga mengakui bahwa dirinya tidak mengenal dan memahami taktik sepakbola. Itulah yang membuatnya sering ditolak masuk klub.

Tapi Keita tidak menyerah. Pada usia 18 tahun, Le Mans tertarik untuk mendidiknya. Namun pada saat itu Le Mans tengah mengalami kesulitan finansial, yang membuat mereka akhirnya batal merekrut Keita. Namun salah sau karyawan klub yang mengetahui bakat Keita pun menghubungi direktur olahraga FC Istres saat itu, Frederic Arpinon. Setelah melihat langsung performanya di lapangan, FC Istres tertarik untuk menggunakan jasa Keita, dengan memberikannya kontrak selama tiga musim pada November 2013.

Hanya butuh satu musim bagi Keita untuk menunjukkan pesonanya bersama Istres, sejak saat itu banyak pemandu bakat yang terus memerhatikan perkembangan permainannya. Dari sekian banyaknya pemandu bakat, sosok Gerard Houllier adalah salah satunya. Mantan manajer Liverpool itu memegang jabatan sebagai Kepala Sepakbola RB Salzburg, setelah terpukau dengan permainan Keita Houllier tak membuang waktunya dengan memberi tahu Ralf Rangnick, Direktur Olahraga Salzburg, soal bakat Keita.

Houllier dan Rangnick pun menyaksikan pertandingan persahabatan internasional antara Guinea melawan Mali pada 25 Mei 2016 di Prancis. Keita bermain dalam pertandingan tersebut, setelah laga berakhir Rangnick tertarik pada bakat Keita dan langsung memberinya kontrak lima tahun. Di klub berjuluk Die Roten Bullen itu, ia bertemu dengan Sadio Mane yang seiring berjalan kariernya, menjadi sosok yang sangat penting.

Musim pertama Keita di Salzburg tak seindah khayalannya, sebagai anak baru ia harus rela lebih banyak menghabiskan waktu di bangku cadangan. Hal tersebut membuatnya frustrasi, Mane yang melihat kondisi itu selalu menenangkannya dan terus memberikan motivasi agar Keita bisa bangkit. Hingga akhirnya kesempatan itu datang, dan Keita menunjukkan kapasitasnya sebagai gelandang jempolan di kompetisi Austria.

"Dia (Mane) membantu saya dengan segala hal - bahasa, pertemanan, memahami klub dan kota. Dan, tentu saja, dia benar. Begitu saya dimasukkan ke dalam tim, saya menunjukkan kualitas saya dan semuanya berjalan lebih mulus. Sadio penting bagiku, sampai saat ini! Bagiku, dia adalah kakakku. Dia sangat suka belajar hal baru, memperbaiki dan mendorong dirinya sendiri dan kita sama dengan cara ini. Dia adalah contoh bagus untukku,” tutur Keita.

Dua musim berkarier bersama Salzburg, musim 2016/2017 Keita pindah ke Jerman untuk memperkuat RB Leipzig. Seperti sudah disebutkan di atas, kembali Keita mampu menunjukkan kapasitasnya hingga membuat Liverpool kepincut pada bakatnya. Ibarat sebuah takdir, Mane dan Keita pun akhirnya akan dipertemukan kembali dalam balutan seragam merah khas Liverpool pada musim depan.

"Dia bertanya kepada saya tentang Liverpool dan saya mengatakan kepadanya bahwa ini adalah klub yang menakjubkan dengan pemain berbakat, manajer hebat dan banyak ambisi. Kota dan orang-orangnya sangat bagus dan dia akan betah di sini,” terang Mane.

Sumber: Goal International

Hope Solo Tuduh Sepp Blatter Lakukan Pelecehan Seksual
Artikel sebelumnya Hope Solo Tuduh Sepp Blatter Lakukan Pelecehan Seksual
Liga 2 Menanti Perseru Serui
Artikel selanjutnya Liga 2 Menanti Perseru Serui
Artikel Terkait