Array
(
[article_data] => Array
(
[artikel_id] => 214323
[slug] => https://panditfootball.com/cerita/214323/PFB/210416/sancho-dan-foden-bukti-kemegahan-akademi-manchester-city
[judul] => Sancho dan Foden, Bukti Kemegahan Akademi Manchester City
[isi] =>
Akademi Manchester City sejak dulu sanggup meluluskan pemain-pemain top. Hanya saja, sangat jarang ada pemain tamatan City Football Academy yang bisa menjadi andalan klub. Jangankan menjadi ikon The Citizens, para lulusan akademi cenderung tak mendapat menit bermain secara reguler, kalah dari para bintang yang didatangkan saat jendela transfer.
Lulusan akademi City tak mendapatkan tempat, terlebih setelah Sheikh Mansour datang pada 2008 yang lalu. Pada musim perdana biliuner Uni Emirat Arab tersebut, sejumlah pemain homegrown masih menjadi tulang punggung tim. Stephen Ireland, Micah Richards, Shaun Wright-Phillips hingga Nedum Onouha rutin dimainkan oleh Mark Hughes. Pemain muda seperti Daniel Sturridge dan Ched Evans pun sering diberi kesempatan.
Lulusan akademi semakin tersingkir ketika rezim Mansour merekrut Roberto Mancini dan mulai serius mengejar trofi Premier League. Ketika The Citizens meraih gelar liga perdana di era Premier League, eks City Football Academy yang bermain secara reguler hanyalah Micah Richards. Bek Inggris tersebut memainkan 28 pertandingan EPL saat City merengkuh gelar pada 2011/12.
Semusim kemudian, Richards hanya bermain tujuh kali di liga. Pada 2014, ia dipinjamkan ke Fiorentina sebelum menghabiskan kontraknya dan pindah ke Aston Villa.
Hingga 2019/20, Richards menjadi lulusan akademi terakhir yang bermain reguler untuk Man City. Selama periode ini, Mancini, Manuel Pellegrini, dan Pep Guardiola sempat menjajal sejumlah pemain. Di antaranya Karim Rekik, Dedryck Boyata, Kelechi Iheanacho, dan Angelino. Namun tak ada yang benar-benar menembus tim utama.
City Football Academy baru mulai menampakkan tajinya ketika Phil Foden muncul ke permukaan. Foden, umum dianggap sebagai pemain terbaik akademi City dan rutin dimainkan Guardiola dua musim belakangan. Gelandang kelahiran Stockport itu memang jarang menjadi starter, tetapi ia telah bermain dalam 38 pertandingan pada 2019/20 dan 41 pertandingan musim ini.
Kegemilangan Foden beriringan dengan bersinarnya sejumlah lulusan akademi City yang telah pindah ke klub lain. Jadon Sancho menjelma salah satu pemain terbaik Borussia Dortmund sejak 2018/19. Angelino pun kian berkembang di RB Leipzig.
Selain tiga nama tersebut, pemain lain seperti Kasper Schmeichel, Loris Karius, Denis Suarez, Kieran Trippier, dan Kelechi Iheanacho gagal mendapat kesempatan dan pilih hengkang. Brahim Diaz, salah satu pemain menjanjikan di generasi Foden, juga hengkang ke Real Madrid dan kini dipinjam AC Milan.
Setidaknya, ada bukti nyata mengenai kualitas pengembangan pemain muda Manchester City, kendati itu tak selalu menguntungkan klub secara langsung. Di Etihad, terlalu banyak pemain muda yang jengah menanti kesempatan bermain dan memilih mengadu nasib ke klub lain.
Kasus Sancho barangkali menjadi semacam berkah terselubung bagi Man City. Mengingat kemampuan yang ditunjukkannya sekarang, biaya delapan juta paun yang dikeluarkan Dortmund terasa murah. Tetapi, moncernya sang pemain pada 2018 adalah kabar baik bagi masa depan City Football Academy.
Mengingat investasi besar-besaran ke sistem pengembangan pemain muda Man City, ketiadaan lulusan akademi di tim inti peraih gelar juara tentu kurang menyenangkan.
Sheikh Mansour telah menggelontorkan dana berjumlah sangat besar untuk mengembangkan akademi. Pada Desember 2014, konstruksi Etihad Campus yang memuat akademi, fasilitas latihan, dan saran penunjang lain diresmikan. Fasilitas ini disebut mampu menampung 400 pemain muda dalam satu waktu. Tim utama City dan tim perempuan juga berlatih di kompleks tersebut. Sebelumnya, Mansour telah berinvestasi untuk mengembangkan kompleks Platt Lane, tempat tim muda berlatih.
Selain itu, perekrutan pemain muda City juga lebih aktif. City Football Academy merekrut pemain-pemain berbakat dari akademi lain, baik di Inggris maupun luar negeri. Sancho misalnya, didatangkan dari akademi Watford. Sedangkan Eric Garcia diboyong dari La Masia.
Rezim Sheikh Mansour sejak awal serius berinvestasi di pengembangan pemain muda. Namun pertanyaannya, mengapa sangat sedikit lulusan City Football Academy yang menjadi pemain reguler di tim inti.
Kendati memiliki sistem perekrutan yang ekspansif dan ditunjang fasilitas mumpuni, tak ada pemain akademi yang mampu meyakinkan Mancini, Pellegrini, hingga Guardiola.
Guardiola sendiri menegaskan bahwa keengganannya memainkan lulusan akademi karena alasan kompetitif. Kesuksesannya meraih dua titel Premier League (sebentar lagi tiga) ditopang oleh produk jadi yang didatangkan dengan dana besar.
“Ketika mereka (pemain akademi) bertalenta, mereka akan bermain. Tetapi pada waktu bersamaan, kami harus bersaing setiap hari melawan yang terbaik di Inggris dan Eropa. Untuk itu kami perlu pemain seperti David Silva, Kevin De Bruyne, Sergio Aguero, dan Fernandinho. Tetapi jika basis tim adalah pemain muda, tidak mungkin [untuk bersaing]," kata Pep kepada The Guardian, Oktober 2019 silam.
Phil Foden agaknya akan menjadi satu-satunya pemain dari generasinya yang bisa menembus tim utama. Kendati cemerlang sejak remaja, Foden, seorang suporter Man City sejak bocah, rela bersabar menunggu kesempatan.
Guardiola adalah pengagum Foden sejak lama. Ia pernah melatih pemain muda sekelas Lionel Messi. Namun, pelatih berusia 50 tahun ini menegaskan bahwa Foden adalah “pemain paling bertalenta” yang pernah dilihatnya.
“Dia [Foden] punya segalanya untuk menjadi salah satu pemain terbaik. Saya telah mengatakannya dalam banyak kesempatan saat konferensi pers, tetapi mungkin belum mengatakannya di depan sang pemain: Phil adalah pemain yang paling, paling, paling bertalenta yang pernah saya lihat sepanjang karier saya sebagai manajer,” kata Pep pada 2019 lalu.
Foden semakin sering bermain dan berperan penting di partai krusial. Di perempat final Liga Champions, ia mencetak dua gol ke gawang Dortmund. Gol pertama memastikan kemenangan kandang The Citizens. Sedangkan gol kedua, sebuah tembakan mengejutkan ke tiang dekat yang berawal dari skema korner pendek, mengakhiri perlawanan die Borussen di Signal Iduna Park.
Pertandingan itu adalah kesempatan reuni Foden dan Sancho setelah hampir empat tahun berpisah. Namun sayangnya, Sancho melewatkan dua leg tersebut akibat cedera.
Keduanya tak diragukan lagi adalah lulusan terbaik City Football Academy pada abad 21. Dua pemain itu mendongkrak reputasi akademi yang, sejak rezim Sheikh Mansour, koneksinya seakan terputus dengan tim utama.
Tim muda Man City sendiri menorehkan prestasi membanggakan beberapa tahun belakangan. Musim lalu, The Citizens menjuarai U-18 Professional Development League, U-18 Premier League Cup, serta FA Youth Cup.
Sejumlah pemain berbakat ambil bagian dalam kesuksesan tim muda itu. Taylor Harwood-Bellis, Cole Palmer, Jayden Braaf, James McAtee, dan Liam Delap adalah lima di antaranya.
Apakah para pemain itu akan mengikuti jejak Foden? Atau, seperti Sancho dan Diaz, minimnya kesempatan bermain akan membuat mereka hengkang? Cara Pep mengembangkan pemain muda menuntut kesabaran ekstra. Di Manchester City, sejauh ini, tak banyak yang bisa memenuhinya.
Itulah mengapa kehadiran Foden istimewa bagi City Football Academy. Phil Foden, selain memiliki bakat luar biasa, juga sabar menanti demi klub yang dicintainya. Dalam diri Foden, City menemukan apa yang mereka cari selama ini: seorang bakal legenda yang berasal dari akademi sendiri.
Sumber foto: Premier League News Now
[gambar] => https://panditfootball.com/images/large/EPL%202020-21/sanchoden.jpg
[tanggal] => 16 Apr 2021
[counter] => 12.622
[penulis] => Ikhsan Abdul Hakim
[penulis_foto] => https://panditfootball.com/images/large/2022/Agustus%202022/Logo-transparent.png
[penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/Ikhsan
[penulis_desc] =>
[penulis_initial] =>
[kategori_id] => 392
[kategori_name] => Cerita
[kategori_slug] => cerita
[kategori_url] => https://panditfootball.com/kategori/cerita
[user_url] =>
[user_fburl] =>
[user_twitterurl] =>
[user_googleurl] =>
[user_instagramurl] =>
)
[tags] => Array
(
[0] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 20
[tag_name] => EPL
[tag_slug] => epl
[status_tag] => 0
[hitung] => 1279
)
[1] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 58
[tag_name] => Inggris
[tag_slug] => inggris
[status_tag] =>
[hitung] => 425
)
[2] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 62
[tag_name] => Manchester City
[tag_slug] => manchester-city
[status_tag] =>
[hitung] => 313
)
[3] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 382
[tag_name] => borussia dortmund
[tag_slug] => borussia-dortmund
[status_tag] =>
[hitung] => 158
)
[4] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 424
[tag_name] => Pep Guardiola
[tag_slug] => pep-guardiola
[status_tag] =>
[hitung] => 72
)
[5] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 9846
[tag_name] => Brahim Diaz
[tag_slug] => brahim-diaz
[status_tag] => 1
[hitung] =>
)
[6] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 10158
[tag_name] => Jadon Sancho
[tag_slug] => jadon-sancho
[status_tag] => 1
[hitung] =>
)
[7] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 11810
[tag_name] => Phil Foden
[tag_slug] => phil-foden
[status_tag] => 1
[hitung] =>
)
[8] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 13268
[tag_name] => Angelino
[tag_slug] => angelino
[status_tag] => 1
[hitung] =>
)
[9] => stdClass Object
(
[artikel_id] => 214323
[tag_id] => 13431
[tag_name] => Eric Garcia
[tag_slug] => eric-garcia
[status_tag] => 1
[hitung] =>
)
)
[related_post] => Array
(
[0] => Array
(
[artikel_id] => 4236
[slug] => https://panditfootball.com/cerita/4236/PFB/140411/bocah-kolombia-ini-menangis-terharu-saat-bertemu-falcao
[judul] => Bocah Kolombia Ini Menangis Terharu Saat Bertemu Falcao
[isi] => Falcao memang masih diragukan untuk tampil di Piala Dunia nanti, terkait cedera ligamen yang dideritanya. Striker tim nasional Kolombia tersebut cedera saat membela Monaco di Liga Prancis.
Meski masih menjalani terapi agar mempercepat penyembuhan lututnya di kota Madrid, Falcao masih menyempatkan diri bertemu penggermarnya.
Bocah asal Bogota Kolombia yang akhirnya berhasil bertemu dengannya memang bukan sembarangan, melainkan penggemar berat yang memiliki lebih dari 130 foto dan kliping koran terpajang di dinding kamarnya.
Berkat bantuan Revel Foundation, bocah 13 tahun bernama Michael Steven akhirnya meledak tangisnya saat bertemu langsung dengan sang idola. Kerasnya tangis seru sempat membuat heran anak - anak lain yang memang juga berkesempatan bertemu dengan El Tigre.
Pada akhir pertemuan tersebut Steven juga sempat memegang lutut Falcao sambil mendoakan agar dirinya dapat sembuh dengan cepat. Steven berharap agar di Piala Dunia nanti negaranya Kolombia dapat diperkuat mantan striker Atletico Madrid tersebut.
Falcao memang belum dapat dipastikan pulih total saat Piala Dunia nanti. Namun dokter yang menanganinya, Jose Carlos Noronha optimis kesembuhan Falcao dapat terjadi lebih cepat.
Get well soon El Tigre!
[video id="SHYpZoNLV9o" site="youtube"][/video]
(amp)
[gambar] => http://www.panditfootball.com/wp-content/uploads/2014/04/falcao.jpg
[tanggal] => 11 Apr 2014
[counter] => 2.619
[penulis] => PanditFootball
[penulis_foto] => https://panditfootball.com/assets/images/logo/Logo-transparent.png
[penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/PanditFootball
[penulis_desc] => Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis sepakbola, baik Indonesia maupun dunia. Analisis yang dilakukan meliputi analisis pertandingan, taktik dan strategi, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya. Keragaman latar belakang dan disiplin ilmu para analis memungkinkan PFI untuk juga mengamati aspek kultur, sosial, ekonomi dan politik dari sepakbola. Akun twitter: @panditfootball contact: redaksi@panditfootball.com
[penulis_initial] => PND
[kategori_id] => 392
[kategori_name] => Cerita
[kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/cerita
)
[1] => Array
(
[artikel_id] => 1930
[slug] => https://panditfootball.com/cerita/1930/PFB/140201/kisah-bir-dan-sepakbola-ala-papua
[judul] => Kisah Bir dan Sepakbola ala Papua
[isi] =>
Oleh: Paul Cumming
"Pak Paul! Pak Paul!" Terdengar teriakan keras dari lantai atas sebuah hotel di Bekasi. Mulanya saya masih mengabaikan teriakan itu. Tapi intonasi teriakan itu membuat saya sedikit panik. Lalu terdengar lagi teriakan yang lebih jelas: "Pak Paul! Adolof, Pak Paul!"
"Hah Adolof?" Saya baru sadar. Di depan seluruh pemain Perseman Manokwari yang sedang bersiap-siap berangkat ke stadion, ternyata ada satu pemain yang belum muncul. Pemain itu adalah Adolof Kabo. Saya refleks memijit-mijit kening sembari bergumam: "Aduh Adolof!"
Adolof Kabo adalah pemain kunci Perseman Manokwari saat saya melatih di sana pada 1984-1986. Sebagai seorang striker, dia penyerang yang gol-golnya amat dibutuhkan. Tapi Kabo bukan sekadar goal-getter, dia juga nyawa tim. Dengan skill individunya, yang kadang kala membuatnya terlihat egois, Kabo sering meneror pertahanan lawan seorang diri. Bersama partnernya di lini depan, Elly Rumaropen, dan pemain tengah Yonas Sawor, Kabo bisa sangat percaya diri mengobrak-abrik pertahanan lawan. Nama-nama inilah yang berhasil membawa Perseman sampai ke grand-final Divisi Utama Perserikatan 1986 menghadapi Persib Bandung.
Maka ketika saya sadar Adolof tak terlihat bersama rekan-rekannya, ditambah teriakan panik dari lantai atas, saya merasa gelisah bukan main. Padahal sebentar lagi kami harus berangat ke stadion Bekasi untuk berjuang mati-matian melawan Perseden Denpasar. Pertandingan itu amat menentukan bagi kami untuk lolos ke Empat Besar Divisi Satu 1984 yang akan digelar Bandung.
"Aduh, Adolof ini kemana, yah?"
"Mungkin dia masih di warung?" salah seorang pembantu umum (kitman) mencoba menenangkan saya. Setelah ditunggu beberapa menit, Adolf tak kunjung datang. Imbasnya saya pun berkeringat dingin.
"Cari dia! Cepat! Cepat! Cepat! Tidak ada waktu lagi!," teriakan saya menyentak seluruh ruangan. Dua orang pembantu umum yang terlihat kebingungan langsung berlari keluar mencari Adolof ke warung-warung terdekat.
Beberapa menit kemudian mereka berhasil menemukan Adolof. Degup jantung saya pun sedikit mereda. Syukurlah! Tapi kegugupan saya belum hilang karena Adolof tiba dengan dipapah dua pembantu umum. Adolof berjalan sempoyongan. "Duh ternyata dia mabuk!" keluh saya dalam hati.
Lantas tiba-tiba dia langsung memeluk saya. "Saya minta maaf Paul, saya baru habis sepuluh botol besar," ucap Adolof sambil meringis dengan air mata berlinang. Tampaknya dia merasa sangat bersalah.
"Adolof masih bisa main?" saya tanya dia baik-baik.
"Bisa, Paul. Walaupun saya mabuk saya janji cetak gol dan kita akan menang dan saya janji saya tidak akan minum lagi sampai kita juara di Bandung!"
"Okay Adolof. Saya percaya sama Adolof. Sekarang cepat pakai kostum karena kami menunggu Adolof untuk ikut doa sebelum ke lapangan,"
Sampai ke stadion Adolof masih loyo, langkahnya masih gontai. Dia masih belum memisahkan dunia nyata dengan alam bawah sadarnya. Waktu pemanasan dia malah sempat dua kali jatuh terpeleset membuat orang terheran-heran melihatnya. Saya sedikit ragu kepada dia, tapi saya percaya janji Adolof pada saya. Karena itulah saya pasang dia sebagai starter. Intinya dia harus berjuang dari awal.
Degup jantung saya mengencang sepanjang pertandingan, terutama saat melihat Adolof Kabo di lapangan. Duh! Masalahnya selama pertandingan dia berlari agak miring dan oleng sempoyongan. Tanpa di-tekel atau di-body charge lawan pun Adolof beberapa kali jatuh karena keseimbangannya yang setengah sadar.
Tetapi siapa sangka tiba-tiba dia mencetak gol yang sangat spektakuler lewat shooting jarak jauh dari jarak 30 meter. Kami pun menang 1-0 hingga bisa lolos ke 4 Besar di Bandung. Kejadian ini tak pernah saya lupakan, karena baru pertama kalinya saya lihat orang setengah sadar bisa cetak gol.
Cerita kemudian berlanjut di Bandung. Sampai ke Bandung saya sangat kecewa karena oleh panitia kami dan tiga tim lainnya ditempatkan dalam satu barak militer yang sama. Saya langsung melarang pemain turun dari bus. PS Bengkulu juga menolak tinggal di komplek militer itu dan memilih sebuah hotel yg sangat mewah.
Panitia marah-marah kepada saya, tetapi saya jelaskan kalau tim saya dari PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan darat) saya pasti setuju di situ, tapi kami tim bola sipil bukan militer. Mendengar alasan itu mereka panggil saya "Cowboy Cumming" .
Saya tak peduli omelan itu karena sesuai dengan prinsip saya kalau sebuah tim mau berhasil harus dalam keadaan gembira. Tinggal di barak militer, kami tentu tak akan gembira. Beruntung akhirnya kami dapat tempat di Balai Latihan Departemen Tenaga Kerja, di mana situasi sangat kondusif apalagi masyarakat disitu sangat-sangat ramah.
Bagi saya, bermain bola dengan kegembiraan, dengan hati yang senang, adalah kunci untuk memunculkan permainan maksimal anak-anak Perseman. Sepakbola adalah kebahagiaan, kesenangan, dan suka cita. Jika bermain dengan tertekan, sukar akan mendapatkan hasil yang diinginkan.
Ternyata kegembiraan suasana selama di situ membuat hasil yang positif dan Perseman keluar sebagai juara. Asal tahu saja, sebelum babak empat besar, semua pemain termasuk Adolof berjanji untuk tidak minum alkohol sampai kami menerima trofi juara Divisi Satu. Saya sudah bilang sama mereka, "Kalau kalian janji tidak minum sampai kita juara, malam setelah juara kalian bebas dan boleh minum sepuas-puasnya."
Dan ternyata janji itu mereka penuhi. Maka sesudah mengalakan PS Bengkulu 3-1 di final. Mereka langsung menagih janji itu. Saya menepati janji saya untuk membiarkan mereka larut dalam pesta pora.
Lanjut ke halaman berikutnya
Lanjutan dari halaman sebelumnya
Besoknya pagi-pagi saya sudah gelisah di hotel. Beberapa jam sebelum ke stasiun untuk pulang, para pemain masih banyak yang hilang entah ke mana. Untungnya beberapa mahasiswa asal Papua membantu kami mencari pemain di tempat-tempat hiburan. Beruntung sebelum kereta berangkat ke Jakarta semua pemain sudah ada di atas kereta walaupun sebagian dari mereka masih kurang sadar!
Melihat mereka saya tak pernah marah, saya tahu bahwa bir dan sepakbola di Papua memang sulit dipisahkan. Saran saya kepada pelatih yang hendak melatih klub-klub Papua harus mengerti masalah itu. Jika mau berhasil turuti saran saya itu. Soalnya amat jarang pemain Papua yang tidak suka minum, karena itu sudah bagian dari tradisi di sana.
Saya masih ingat ketika Adolof dikirim ke Brasil oleh PSSI. Sesudah agak lama di Brasil dia kembali ke Manokwari. Setelah sampai di Manokwari dia langsung mendatangi saya yang waktu itu sedang memimpin latihan Perseman di lapangan Borassi.
Ketika saya sedang asyik-asyik di tepi lapangan tiba-tiba saja Adolof berlari dan memeluk saya. Langsung saya tanya dia tentang pengalaman dia selama di Brasil. Maksud saya bertanya soal ilmu sepakbola yang dia dapat disana. Tapi jawabannya ternyata berbeda. Adolof malah menjawab dengan senyum khasnya "Aduh Paul! Bir di Brasil tidak enak!"
"Aduh Adolof!"
Ada juga cerita lucu lainnya. Saat itu Perseman sedang berlaga di Divisi Utama Perserikatan tahun 1985.
Waktu itu tiba-tiba saja Solichin GP (Ketua umum Persib Bandung) membuat acara makan bersama antara pemain Persib dan Perseman Manokwari di restoran Lembur Kuring Senayan. Saya pikir acara itu adalah acara permintaan maaf Solihin kepada saya, mengingat sebelumnya dia pernah meminta PSSI untuk mendeportasi saya hanya gara-gara Jonas Sawor mendorong Adjat Sudrajat ketika Persib jumpa Perseman di putaran 12 besar
Dalam acara makan-makan tersebut, pihak Persib amat sangat ramah. Entah itu taktik atau apa, yang jelas para pemain Perseman diberikan masing-masing 5 botol bir besar. Para pemain Persib tak lama-lama di sana mereka pulang duluan. Tapi Pemain Perseman tetap di tempat karena botol-botol yang ada belum habis.
"Alamak!" mereka lupa bahwa para pemain Persib cepat-cepat pulang karena keesokan harinya akan melawan Persija Jakarta. Dan yang lebih parahnya lagi, sebelum Persib bertanding di Stadion Senayan malam hari, sorenya Perseman harus melawan PSP Padang.
Kalau tidak salah, gara-gara pesta itu, banyak pemain yang mabuk berat dan begadang sampai pagi. Ada berapa pemain inti tidak bisa turun, termasuk Adolof karena cedera. Mau tak mau saya menurunkan pemain pas-pasan, apalagi banyak di antara mereka masih di bawah pengaruh alkohol. Beruntung Sem Aupe mampu menggantikan posisi Adolof sebagai striker dengan baik.
Pertandingan berjalan lancar dengan semangat tinggi. Hanya waktu istirahat di ruang ganti saya tidak memberikan intruksi kepada mereka. Sebagian pemain memilih tidur dan harus dibangunkan lagi untuk babak kedua. Meski terlelap sebentar, Perseman di luar dugaan menang 2-1.
---------------------------------------------------
Catatan editor:
Dalam naskah buku yang akan terbit [Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan] yang disusun oleh Aqwam Fiazmi Hanifan, ada kisah tambahan yang menarik mengenai Perseman dan bir yang tak sempat dikisahkan Paul di tulisannya ini. Wawancara Aqwam dengan Achwani, Sekretaris Umum Persib di saat Persib bertemu Perseman di Grand Final Divisi Utama 1986, menjelaskan bagaimana Persib dengan cerdik menggunakan kebiasaan minum pemain Perseman ini.
Menurut Achwani, salah seorang pengurus diberi tugas untuk memancing para pemain Perseman keluar dari kamar hotel untuk ditraktir minum sepuasnya di salah satu bar. "Saya diberi tugas untuk kasih mereka berkrat-krat bir supaya mereka mabuk berat dan tak tidur, ternyata benar saja, ternyata di malam itu misi saya sukses, mereka mabuk dan sama sekali tak istirahat, padahal besoknya mau bertanding lawan Persib," ucap Achwani.
Hal ini diakui oleh Paul Cumming. Ia mengakui kelemahannya anak asuhnya selalu dimanfaatkan oleh lawan, hampir semua lawan Perseman, bukan hanya Persib.
Dalam laporan Pikiran Rakyat edisi 19 Januari 1985, Adolf Kabo mengakui bahwa minum-minum adalah tradisi yang biasa mereka lakukan bersama rekan-rekannya. Saat itu Perseman baru saja bertanding melawan PSMS dengan skor akhir 1-1. Saat berbicara pada wartawan ketika itu, Adolf sempat memperlihatkan tumpukan kaleng bir. [@zenrs]
Penulis adalah mantan pelatih sepakbola di berbagai klub Indonesia. Kini bergabung dengan Pandit Football Indonesia sebagai penulis tamu. Akun twitter @papuansoccer
image by:
travelpapua.blogspot.com
perseman-manokwari.jimdo.com
[gambar] => https://panditfootball.com/images/attach/perseman-1986-adolf-kabo-cs.jpg
[tanggal] => 01 Feb 2014
[counter] => 115.704
[penulis] => PanditFootball
[penulis_foto] => https://panditfootball.com/assets/images/logo/Logo-transparent.png
[penulis_slug] => https://panditfootball.com/profil/PanditFootball
[penulis_desc] => Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis sepakbola, baik Indonesia maupun dunia. Analisis yang dilakukan meliputi analisis pertandingan, taktik dan strategi, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya. Keragaman latar belakang dan disiplin ilmu para analis memungkinkan PFI untuk juga mengamati aspek kultur, sosial, ekonomi dan politik dari sepakbola. Akun twitter: @panditfootball contact: redaksi@panditfootball.com
[penulis_initial] => PND
[kategori_id] => 392
[kategori_name] => Cerita
[kategori_slug] => https://panditfootball.com/kategori/cerita
)
)
[prev_post] => Array
(
[artikel_id] => 214322
[slug] => https://panditfootball.com/article/show/cerita/214322/PFB/210416/cinta-dan-benci-untuk-paulo-fonseca
[judul] => Cinta dan Benci untuk Paulo Fonseca
[isi] =>
Sejak menangani AS Roma pada awal 2019/20, isu pemecatan tak jarang menerpa Paulo Fonseca. Pelatih asal Portugal itu ditarget untuk lolos ke Liga Champions, tetapi gagal mencapainya pada musim debut. Pada musim keduanya, Giallorossi juga sepertinya sulit menembus kompetisi elite tersebut. Hingga giornata 30, Roma masih berkutat di peringkat tujuh, terpaut tujuh poin dari Atalanta di posisi keempat.
Apabila Roma gagal mencapai Liga Champions, Fonseca kemungkinan besar akan didepak. Ia direkrut oleh pemilik lama AS Roma, James Pallotta. Jika gagal memenuhi target, Dan Friedkin dilaporkan tak ragu memecat Fonseca dan mencari pelatih kepala baru pilihan mereka sendiri.
Di Serie A, peluang Roma menembus UCL sangat kecil. Namun, Fonseca justru berpeluang membawa Giallorosi via jalur lain yang lebih mulia. Saat ini, Jordan Veretout dan kawan-kawan menembus perempat final Europa League dan unggul agregat atas Ajax Amsterdam.
Roma menunjukkan penampilan berkelas saat mengatasi Ajax di leg pertama lalu. Bertanding di Amsterdam, skema reaktif yang diterapkan Fonseca berujung kemenangan 1-2. Gianluca Mancini dan kawan-kawan sanggup menahan tekanan Ajax dan efisien memanfaatkan peluang.
Kemenangan itu adalah angin segar bagi Fonseca usai diterpa isu pemecatan pada Maret lalu. Roma tampil mengecewakan di liga domestik dan gagal meraih kemenangan dalam tiga pertandingan beruntun. Mereka dibungkam Parma dan Napoli, masing-masing dengan skor 0-2. Roma lantas hanya mampu bermain 2-2 lawan Sassuolo, kecolongan gol Giacomo Raspadori jelang laga berakhir.
Tiga hasil negatif itu membawa masalah inkonsistensi Roma ke permukaan. Dua musim terakhir, rival Lazio ini cenderung tampil inkonsisten yang membuat mereka gagal finis di empat besar.
Fonseca menegaskan bahwa permainan timnya berkembang. Tetapi, inkonsistensi Roma tampak nyata dan ia belum berhasil mengatasinya.
Musim ini, Roma sering memainkan sepakbola menyerang dan tampak trengginas dengan umpan-umpan langsung (direct). Di “hari baik”, Roma mampu menyajikan permainan atraktif dan meraih hasil-hasil meyakinkan. Ambil contoh ketika mereka membungkam Benevento dan Bologna di paruh pertama musim. Henrikh Mkhitaryan dan kolega mampu mencetak lima gol dalam dua laga tersebut.
Akan tetapi, Roma tak efektif ketika menerapkan pendekatan yang sama melawan klub besar Italia. Pada awal musim, anak asuh Fonseca tampil berani saat bermain imbang lawan Juventus dan AC Milan. Memasuki paruh kedua, Roma kalah dari dua tim itu meski menghasilkan peluang lebih banyak.
Ketika Fonseca memilih pendekatan yang lebih reaktif, hasilnya pun tak maksimal bagi Roma. Musim ini, mereka dihajar Napoli dan Atalanta saat tampil reaktif. Skuad asuhan Gian Piero Gasperini menghajar Roma dengan skor 1-4. Sedangkan Napoli mengalahkan mereka dengan skor 4-0 dan 0-2.
Pada 2020/21, Fonseca belum berhasil mengalahkan satu pun tim enam besar. Rekor mereka lawan klub enam besar adalah enam kali kalah dan tiga imbang. Di sisa musim, mereka masih akan menghadapi tiga klub penghuni enam besar, yaitu Inter Milan, Atalanta, dan Lazio.
Hasil negatif lawan pesaing di papan atas adalah penyebab utama terjerembabnya AS Roma di Serie A. Enam dari delapan kekalahan mereka di liga domestik diderita dari klub enam besar. Giallorossi kehilangan poin di pertandingan krusial, membuat mereka ada di posisi buruk untuk mencapai zona Liga Champions.
Pindah ke Italia adalah tantangan terbesar dalam karier Fonseca. Ia datang ke Roma sebagai pelatih muda menjanjikan. Namun, hampir dua musim berjalan, eks juru taktik FC Porto itu belum bisa memaksimalkan skuadnya untuk menghadapi sepakbola Italia.
Di Italia, ia tak bisa rutin memainkan sepakbola menyerang berbasis penguasaan bola yang diterapkannya di Shakhtar Donetsk. Pelatih berusia 48 tahun ini amat sukses ketika berkiprah di Ukraina, selalu meraih double winners selama tiga musim di sana.
Namun, tim-tim Italia memberinya tantangan tersendiri yang jauh lebih sulit. Klub Italia memiliki organisasi yang lebih baik saat bertahan, lebih cakap menghadapi permainan berorientasi penguasaan bola.
“Ketika pertama kali saya datang di sini, saya terobsesi dengan sepakbola berbasis penguasaan bola. Tetapi sekarang, setidaknya bagi kami, permainan transisi jauh lebih penting,” kata Fonseca kepada DAZN Italia.
Saat menangani Roma, Fonseca cenderung lebih langsung (direct) dalam menyerang. Ia rutin menurunkan skema 3-4-2-1 sejak akhir musim lalu. Eks pelatih Pacos de Ferreira tersebut lebih menekankan pemanfaatan lebar lapangan dan switch play untuk membuka ruang menyerang.
Pendekatan yang diusung Fonseca, dalam beberapa kesempatan, membawa Roma tampil apik dan menghibur. Namun, di permainan yang segalanya ditentukan lewat hasil dan jumlah poin, inkonsistensi jadi masalah akut yang membuat posisi sang pelatih rawan.
Europa League, Akankah Jadi Penebusan Fonseca?
Bisakah Roma menjuarai Europa League? Klub terbesar Kota Abadi ini gagal meraih trofi mayor sejak 2008, kala mereka merengkuh titel Coppa Italia. Mereka tak pernah menjuarai kejuaraaan kontinental sejak 1961. Fonseca berpeluang mencapai sesuatu yang bahkan tidak mampu dilakukan Luciano Spalletti dan Eusebio Di Fransesco.
Di Europa League, Roma berhasil mengatasi lawan berat untuk mencapai perempat final. Il Lupi lolos ke fase gugur sebagai juara grup, mengungguli Young Boys, CFR Cluj, dan CSKA Sofia. Bryan Cristante dan kawan-kawan kemudian mengeliminasi Braga di babak 32 Besar.
Memasuki 16 Besar, Roma bertanding menghadapi mantan klub Fonseca, Shakhtar Donetsk. Roma berhasil lolos dengan agregat meyakinkan 5-1.
Kiprah Roma di Europa League menarik disimak. Tak seperti di Serie A, pendekatan reaktif Giallorossi justru efektif di sini. Mereka mengeliminasi Shakhtar dengan penguasaan bola tak sampai 40% di masing-masing leg. Serangan direct a la Fonseca menunjukkan tajinya, berhasil menghasilkan peluang dengan total nilai xG 4,0 sepanjang dua leg, berbanding kualitas peluang Shakhtar yang hanya bernilai 1,9 xG.
Ketika menghadapi Ajax, Roma kembali tampil efektif. Anak asuh Erik ten Hag mengurung tim tamu di Amsterdam. Tuan rumah membuat 15 tembakan (sembilan tepat sasaran) dan mendapat satu penalti. Namun, Roma bermain disiplin dan menang 1-2.
Hasil itu membuat Roma memiliki peluang besar lolos ke semifinal. Jelang leg kedua di kandang sendiri, mereka unggul agregat dan agresivitas gol tandang.
“Tim ini tahu betapa pentingnya pertandingan ini [lawan Ajax], betapa pentingnya periode ini. Dan kami juga telah mempersiapkan pertandingan ini secara taktis sebagaimana yang kami lakukan selama ini,” kata Fonseca sebelum leg kedua lawan Ajax.
Pada musim yang dijangkiti inkonsistensi, trofi Europa League akan menjadi pernyataan tegas bagi kemampuan Fonseca. Sepanjang kariernya, ia telah menunjukkan kapabilitas membawa timnya melampaui ekspektasi. Ia membawa Pinhalnovense, klub kecil Portugal, ke perempat final Taca de Portugal. Ia juga berhasil mengantar Pacos de Ferreira finis di peringkat tiga Liga NOS dan lolos ke kualifikasi Liga Champions, pertama kalinya sepanjang sejarah klub.
Sejauh ini, kiprah Fonseca di Serie A tidak sesuai ekspektasi. Menjuarai Europa League adalah bentuk penebusan sang pelatih atas musim yang mengecewakan. Mampukah Fonseca? Jika berhasil, tak ada alasan bagi Dan Friedkin untuk memecatnya. Sang pelatih pun punya kesempatan untuk membawa Roma naik ke level selanjutnya, yaitu menjadi kontestan rutin Liga Champions.
Akhir pekan ini Liga Primer Inggris akan kembali bergulir menggelar pertandingan gameweek 32. Seperti biasa kami akan merekomendasikan para pemain unggulan yang punya potensi mendulang poin di GW32. Sebelum dimulai, kami ingatkan batas tenggat waktu pemilihan pemain untuk GW32 ini akan ditutup pada, Sabtu, 17 April 2021 pukul 00.30 WIB.
Di posisi kiper, Hugo Lloris (Tottenham Hotspur, £5.6) kami pilih sebagai kiper unggulan. Lloris dan Spurs akan memainkan dua pertandingan dalam satu gameweek (vs Everton, vs Southampton). Lloris punya potensi catatkan nirbobol di dua laga tersebut, Everton gagal mencetak dua gol di empat laga terakhir, sedangkan Southampton gagal mencetak gol di tiga laga tandang dari lima laga tandang terakhir mereka.
Cesar Azpilicueta (Chelsea, £5.9) menjadi bek unggulan pertama yang kami rekomendasikan di GW32 ini. Azpili selalu menjadi pilihan utama Thomas Tuchel di lini belakang Chelsea. Dalam empat gameweek terakhir, Chelsea berhasil catatkan dua kali nirbobol. Bermain di Stamford Bridge, Azpili dan Chelsea tentu punya potensi kembali catatkan nirbobol saat berhadapan dengan Brighton yang hanya catatkan 18 tembakan tepat sasaran dalam empat gameweek terakhir.
Diistirahatkan saat Man United bermain di Europa League tengah pekan lalu membuat Luke Shaw (Man United, £5.3) akan cukup fit bermain di GW32 ini. Selain punya potensi catatkan nirbobol saat menghadapi Burnley yang hanya melepaskan 14 tembakan tepat sasaran dalam empat gameweek terakhir, Shaw juga punya potensi bisa kembali memberikan asis di GW32 ini. Dalam empat gameweek terakhir, Shaw tercatat melepaskan 19 umpan silang (terbanyak keempat di antara bek) dan catatkan 5 chances created.
Dan nama bek terakhir yang kami rekomendasikan adalah Romain Saiss (Wolverhampton, £4.9). Saiss dan Wolves hanya akan berhadapan dengan Sheffield United yang dalam empat gameweek terakhir hanya mencetak satu gol (tersedikit) dan melepaskan tiga tembakan tepat sasaran. Selain itu, di musim lalu, Saiss punya catatan bagus ketika menghadapi Sheffield, di mana ia berhasil mencetak satu gol.
***
Salam panah hijau dan semoga mendapatkan poin di atas rata-rata.
Harga pemain, angka kepemilikan, dan status pemain akurat per 16 April 2021.
Akademi Manchester City sejak dulu sanggup meluluskan pemain-pemain top. Hanya saja, sangat jarang ada pemain tamatan City Football Academy yang bisa menjadi andalan klub. Jangankan menjadi ikon The Citizens, para lulusan akademi cenderung tak mendapat menit bermain secara reguler, kalah dari para bintang yang didatangkan saat jendela transfer.
Lulusan akademi City tak mendapatkan tempat, terlebih setelah Sheikh Mansour datang pada 2008 yang lalu. Pada musim perdana biliuner Uni Emirat Arab tersebut, sejumlah pemain homegrown masih menjadi tulang punggung tim. Stephen Ireland, Micah Richards, Shaun Wright-Phillips hingga Nedum Onouha rutin dimainkan oleh Mark Hughes. Pemain muda seperti Daniel Sturridge dan Ched Evans pun sering diberi kesempatan.
Lulusan akademi semakin tersingkir ketika rezim Mansour merekrut Roberto Mancini dan mulai serius mengejar trofi Premier League. Ketika The Citizens meraih gelar liga perdana di era Premier League, eks City Football Academy yang bermain secara reguler hanyalah Micah Richards. Bek Inggris tersebut memainkan 28 pertandingan EPL saat City merengkuh gelar pada 2011/12.
Semusim kemudian, Richards hanya bermain tujuh kali di liga. Pada 2014, ia dipinjamkan ke Fiorentina sebelum menghabiskan kontraknya dan pindah ke Aston Villa.
Hingga 2019/20, Richards menjadi lulusan akademi terakhir yang bermain reguler untuk Man City. Selama periode ini, Mancini, Manuel Pellegrini, dan Pep Guardiola sempat menjajal sejumlah pemain. Di antaranya Karim Rekik, Dedryck Boyata, Kelechi Iheanacho, dan Angelino. Namun tak ada yang benar-benar menembus tim utama.
City Football Academy baru mulai menampakkan tajinya ketika Phil Foden muncul ke permukaan. Foden, umum dianggap sebagai pemain terbaik akademi City dan rutin dimainkan Guardiola dua musim belakangan. Gelandang kelahiran Stockport itu memang jarang menjadi starter, tetapi ia telah bermain dalam 38 pertandingan pada 2019/20 dan 41 pertandingan musim ini.
Kegemilangan Foden beriringan dengan bersinarnya sejumlah lulusan akademi City yang telah pindah ke klub lain. Jadon Sancho menjelma salah satu pemain terbaik Borussia Dortmund sejak 2018/19. Angelino pun kian berkembang di RB Leipzig.
Selain tiga nama tersebut, pemain lain seperti Kasper Schmeichel, Loris Karius, Denis Suarez, Kieran Trippier, dan Kelechi Iheanacho gagal mendapat kesempatan dan pilih hengkang. Brahim Diaz, salah satu pemain menjanjikan di generasi Foden, juga hengkang ke Real Madrid dan kini dipinjam AC Milan.
Setidaknya, ada bukti nyata mengenai kualitas pengembangan pemain muda Manchester City, kendati itu tak selalu menguntungkan klub secara langsung. Di Etihad, terlalu banyak pemain muda yang jengah menanti kesempatan bermain dan memilih mengadu nasib ke klub lain.
Kasus Sancho barangkali menjadi semacam berkah terselubung bagi Man City. Mengingat kemampuan yang ditunjukkannya sekarang, biaya delapan juta paun yang dikeluarkan Dortmund terasa murah. Tetapi, moncernya sang pemain pada 2018 adalah kabar baik bagi masa depan City Football Academy.
Mengingat investasi besar-besaran ke sistem pengembangan pemain muda Man City, ketiadaan lulusan akademi di tim inti peraih gelar juara tentu kurang menyenangkan.
Sheikh Mansour telah menggelontorkan dana berjumlah sangat besar untuk mengembangkan akademi. Pada Desember 2014, konstruksi Etihad Campus yang memuat akademi, fasilitas latihan, dan saran penunjang lain diresmikan. Fasilitas ini disebut mampu menampung 400 pemain muda dalam satu waktu. Tim utama City dan tim perempuan juga berlatih di kompleks tersebut. Sebelumnya, Mansour telah berinvestasi untuk mengembangkan kompleks Platt Lane, tempat tim muda berlatih.
Selain itu, perekrutan pemain muda City juga lebih aktif. City Football Academy merekrut pemain-pemain berbakat dari akademi lain, baik di Inggris maupun luar negeri. Sancho misalnya, didatangkan dari akademi Watford. Sedangkan Eric Garcia diboyong dari La Masia.
Rezim Sheikh Mansour sejak awal serius berinvestasi di pengembangan pemain muda. Namun pertanyaannya, mengapa sangat sedikit lulusan City Football Academy yang menjadi pemain reguler di tim inti.
Kendati memiliki sistem perekrutan yang ekspansif dan ditunjang fasilitas mumpuni, tak ada pemain akademi yang mampu meyakinkan Mancini, Pellegrini, hingga Guardiola.
Guardiola sendiri menegaskan bahwa keengganannya memainkan lulusan akademi karena alasan kompetitif. Kesuksesannya meraih dua titel Premier League (sebentar lagi tiga) ditopang oleh produk jadi yang didatangkan dengan dana besar.
“Ketika mereka (pemain akademi) bertalenta, mereka akan bermain. Tetapi pada waktu bersamaan, kami harus bersaing setiap hari melawan yang terbaik di Inggris dan Eropa. Untuk itu kami perlu pemain seperti David Silva, Kevin De Bruyne, Sergio Aguero, dan Fernandinho. Tetapi jika basis tim adalah pemain muda, tidak mungkin [untuk bersaing]," kata Pep kepada The Guardian, Oktober 2019 silam.
Phil Foden agaknya akan menjadi satu-satunya pemain dari generasinya yang bisa menembus tim utama. Kendati cemerlang sejak remaja, Foden, seorang suporter Man City sejak bocah, rela bersabar menunggu kesempatan.
Guardiola adalah pengagum Foden sejak lama. Ia pernah melatih pemain muda sekelas Lionel Messi. Namun, pelatih berusia 50 tahun ini menegaskan bahwa Foden adalah “pemain paling bertalenta” yang pernah dilihatnya.
“Dia [Foden] punya segalanya untuk menjadi salah satu pemain terbaik. Saya telah mengatakannya dalam banyak kesempatan saat konferensi pers, tetapi mungkin belum mengatakannya di depan sang pemain: Phil adalah pemain yang paling, paling, paling bertalenta yang pernah saya lihat sepanjang karier saya sebagai manajer,” kata Pep pada 2019 lalu.
Foden semakin sering bermain dan berperan penting di partai krusial. Di perempat final Liga Champions, ia mencetak dua gol ke gawang Dortmund. Gol pertama memastikan kemenangan kandang The Citizens. Sedangkan gol kedua, sebuah tembakan mengejutkan ke tiang dekat yang berawal dari skema korner pendek, mengakhiri perlawanan die Borussen di Signal Iduna Park.
Pertandingan itu adalah kesempatan reuni Foden dan Sancho setelah hampir empat tahun berpisah. Namun sayangnya, Sancho melewatkan dua leg tersebut akibat cedera.
Keduanya tak diragukan lagi adalah lulusan terbaik City Football Academy pada abad 21. Dua pemain itu mendongkrak reputasi akademi yang, sejak rezim Sheikh Mansour, koneksinya seakan terputus dengan tim utama.
Tim muda Man City sendiri menorehkan prestasi membanggakan beberapa tahun belakangan. Musim lalu, The Citizens menjuarai U-18 Professional Development League, U-18 Premier League Cup, serta FA Youth Cup.
Sejumlah pemain berbakat ambil bagian dalam kesuksesan tim muda itu. Taylor Harwood-Bellis, Cole Palmer, Jayden Braaf, James McAtee, dan Liam Delap adalah lima di antaranya.
Apakah para pemain itu akan mengikuti jejak Foden? Atau, seperti Sancho dan Diaz, minimnya kesempatan bermain akan membuat mereka hengkang? Cara Pep mengembangkan pemain muda menuntut kesabaran ekstra. Di Manchester City, sejauh ini, tak banyak yang bisa memenuhinya.
Itulah mengapa kehadiran Foden istimewa bagi City Football Academy. Phil Foden, selain memiliki bakat luar biasa, juga sabar menanti demi klub yang dicintainya. Dalam diri Foden, City menemukan apa yang mereka cari selama ini: seorang bakal legenda yang berasal dari akademi sendiri.