Ia mengabaikan apa yang akhirnya terjadi dan memilih menggoreskan kalimat di buku catatannya, ia menuliskan sebaris kalimat yang nadanya terdengar seperti ucapan Haruki Murakami: "Mengapa saat melihat laut kalian ingat gajah dan saat melihat gajah kalian malah ingin berenang di laut?"
Kemudian dipanggilnya Marouane Fellaini. Fellaini harus dimasukkan mengganti Januzaj, pikirnya. Kepada Fellaini ia perlihatkan apa yang harus dilakukan di atas lapangan dengan cara menggerakkan beberapa pion di papan chalkboard yang diambilnya dengan tergesa dari Giggs. Fellaini mengangguk-anggukan kepala seakan memberi isyarat bahwa ia paham yang dimaksud van Gaal. Saat Fellaini sedang membungkuk membenahi kaos kaki, van Gaal menepuk pundaknya sembari berkata: "Fate is written in the hair." Fellaini tertawa. Tentu saja ia tak paham maksud kalimat itu. Ia hanya tahu bahwa nasib manusia dituliskan Tuhan saat Ia melompat dari singgasana-Nya di langit ketujuh -- ini menjelaskan dengan baik bahwa nasib Fellaini memang digariskan untuk melompat dan melompat lagi. Melompat dengan lebih tinggi, lebih tinggi dan lebih tinggi. Van Gaal menyukai kalimat itu. Kalimat itu sebenarnya milik Federico Fellini, sutradara dan maestro sinema dari Italia yang masyhur karena cerita-cerita yang menggabungkan ingatan, kenangan, dan mimpi-mimpi. Bahwa Fellini itu pengucapannya dekat dengan Fellaini, itu hanyalah kebetulan. Lagipula kalimat itu hanyalah plesetan, sebab aslinya berbunyi "fate is written in the face". Kalimat itu sering ia ucapkan kepada pemain lain dengan berbagai variasi. Kepada Valencia ia pernah berkata: "Fate is written in the right foot". Kepada Di Maria, dalam sebuah sesi latihan, ia mengubahnya menjadi "fate is written in the heart" sembari memperlihatkan gesture hati dengan kedua tangannya, sebagaimana sering dilakukan di Maria saat merayakan gol. Hingga menit 85, skor masih 1-0 untuk West Ham. Dan De Gea baru saja menendang bola sejauh 65 meter. Lagi-lagi bola panjang. Ryan Giggs berkata kepada van Gaal. "Umpan panjang ke 75, nih, bos!" Van Gaal menoleh dengan mimik muka kesal. Ryan Giggs pura-pura tak melihat. Ia lalu sedikit menggeser posisi duduknya beberapa kali, seperti menggesek-gesekkan pantatnya. Pantatnya seperti berkedut-kedut.[3] Bola panjang dari de Gea melayang ke arah Fellini, eh Fellaini, dan dengan sangat baik Fellaini mendapatkan bola itu dengan melompat sangat santai, sementara Cheikho Kouyate melompat dengan susah payah sembari menutup matanya untuk menghindari rambut dari kepala Fellaini menusuk bola matanya. Fellaini menahan bola dengan dadanya, dengan sikap yang sangat rileks, seakan waktu berhenti dan alam raya tunduk dalam takzim. Tapi demikianlah memang adanya. Para pemain West Ham terpaku di posisinya. Kouyate tertahan di punggung Fellaini yang berdiri dengan bola di kaki kanannya selayaknya pusat dunia. Di salah satu rumah yang kumuh di Buenos Aires, Ricardo Bochini, sang legenda La Pausa yang kepadanya bahkan Maradona rela untuk menjura, menyaksikan momen itu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya dan bergumam: WARBYASAK!Halaman selanjutnya: Fellaini sebagai fantastista akhirnya menjadi penyelamat. Apa penjelasan van Gaal tentang Fellaini sebagai fantastista?Ini merupkan halaman 2 esai "Potret van Gaal sebagai Dosen Filsafat Olahraga" Waktu terus berlalu. Wasit Mark Clettenburg melihat jam di tangan kirinya. Melihat tingkah wasit itu, Ryan Giggs teringat suatu masa yang belum terlalu lama berlalu, tapi nasib buruk yang dialami United membuat masa itu terasa sudah demikian jauh di belakang lipatan arsip-arsip sejarah. Giggs teringat bos-nya yang lama, yang di detik-detik genting seperti ini pasti sudah berdiri di pinggir lapangan, dengan mulut yang begitu cepat menggilas permen karet, juga gerak legendaris ketika si bos mengangkat tangan kirinya, melihat jam, sembari sedikit menarik lengan jas kirinya.
Tak ada van Gaal's time. Masa sudah berganti, demikian juga nasib dan garis tangan. Giggs ingat pekan-pekan awal kedatangan van Gaal. Bosnya yang baru itu sejak awal sudah mengatakan tak akan ada adegan dirinya berdiri di tepi lapangan sembari melihat jam tangan. "Apa itu waktu?" kata van Gaal, "selain deret hitung yang tak berguna jika tak ada ruang yang bisa dimanfaatkan. Waktu dalam olahraga hanya berarti ketika...."
Giggs tak ingat lagi apa yang dikatakan van Gaal saat itu, sebab rentetan kalimat itu tak sanggup ia dengarkan, itulah sebabnya ia menutup telinganya diam-diam. Menjelang memasuki menit ke-90, van Gaal justru memperlihatkan pembawaan yang semakin tenang. Detik-detik menjelang waktu normal berakhir dihabiskan van Gaal dengan mengamati chalkboard-chalkboard yang terhampar di buku catatannya. Berbagai tanda anak panah bersilangan memperlihatkan dari mana dan ke mana umpan-umpan pemain United diarahkan. Ia terlihat mengernyitkan dahinya saat menyadari sedikit sekali anak-anak panah di chalkboard itu memasuki kotak penalti lawan. Nyaris bersih. Anak-anak panah itu bersilangan menuju pinggir lapangan, saling beririsan, bertumbukan, dan bertindihan. Puluhan, tapi sepertinya ratusan, anak panah bersilangan seperti ilalang-ilalang yang sering terlihat dalam lukisan-lukisan teratai karya Claude Monet. Nyaris tak ada anak panah yang sampai ke kotak penalti, gumamanya dalam hati. Ia segera meraih pena dan tepat saat laga memasuki menit ke 90 ia telah selesai menulis frase: "Paradoks Zeno."[4] Ia tak peduli dengan kegelisahan yang dialami oleh Giggs, keluarga Glazer dan/atau 3 ribuan pendukung United yang pergi merayakan away day. Ia kembali menyilangkan kaki kanannya ke atas paha kaki kirinya dan kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Saat itulah Luke Shaw menerima umpan pendek dari Valencia yang sedang naik hingga ke pertahanan West Ham. Shaw membawa bola sebentar mencari posisi yang enak. Di titik yang pas, ia melayangkan bola ke dalam kotak penalti dengan umpan lambung yang mengarah ke... siapa lagi kalau bukan Fellaini. Sam Allardyce tahu sesuatu akan terjadi. Ia bangkit dari duduknya sembari berharap Alex Song bisa mengerahkan semua tenaga yang ia punya untuk melompat setinggi-tingginya, setidaknya untuk kali ini saja, agar bola bisa dijauhkan dari kepala Fellaini. Dan Alex Song melakukannya tepat di depan Fellaini. Tapi takdir Fellaini ternyata tak melulu tentang melompat. Alih-alih melompat untuk menyambut umpan Shaw, ia malah hanya memepetkan tubuhnya pada Song, dengan kaki yang tetap menancap di rumput stadion Upton Park. Alex Song melompat setinggi-tingginya. Dapat! Bola berhasil dihalau. Tapi bola mengarah kepada Daley Blind. Lalu, tanpa menunggu bola mendarat lebih dulu, Blind menyambutnya dengan ayunan kaki kiri. Bom! Bola memantul di tanah dan melayang untuk kemudian menggetarkan jala gawang yang dikawal Adrian. 1-1 di menit 91.West Ham 1-1 Manchester Utd # Super Blind oleh brilche
Semua pemain United bersorak. Rooney mengepalkan tangan kanan sembari melompat ("Tahu apa kau soal melompat," kata Fellaini dua jam kemudian saat melihat rekaman gol di kamarnya yang sesak dengan pengering rambut). Daley Blind berlari ke pojok lapangan. Giggs melompat dari duduknya. Van Gaal sendiri hanya sebentar mengepalkan tangan, lalu kembali meraih pena. Dengan senyum tipis dan kepala yang agak dimiringkan, van Gaal menggoreskan sebuah kata: "Fantastista!" "Kau tahu, Ryan," kata van Gaal kepada Giggs beberapa detik kemudian, "Seorang fantastista bukan hanya diukur dari kemampuannya mengolah bola dan berimajinasi dengan bola di kakinya. Seorang fantastista harus bisa mengubah permainan bahkan dengan tanpa menyentuh bola sekali pun, seperti Fellaini tadi. Itulah fantastista, Ryan!" Giggs mengangguk-angukkan kepalanya. Sementara di seberang selat, di sebuah kota di Amerika Serikat, Brian Philips menatap televisi yang sedang menampilkan wajah van Gaal yang sedang menulis sesuatu ketika para pemainnya sedang berjingkrakan merayakan gol Blind. Brian lantas berdiri dari sofanya, berjalan menuju kulkas, mengambil sekaleng bir dingin, membuka tutupnya dengan santai. Ada busa bir yang jatuh ke tangannya. Ia tersenyum saat melihat busa bir itu, bukan karena busa bir itu sendiri, tapi karena ia baru saja menemukan sebuah kalimat yang akan ia pakai untuk menutup esainya tentang van Gaal: "Seseorang yang sudah tahu segala sesuatu akan memiringkan sedikit kepalanya dan kemudian tertawa kecil kepada langit." ========================== Catatan kaki: [1] Van Gaal menuliskan kalimat "stupid free kick" dalam buku catatannya saat berlangsung laga antara United melawan Stoke City pada 1 Januari 2015. Skor akhir 1-1. [2] Sangat sering van Gaal berbicara tentang filosofi bermain yang diinginkannya. Salah satu yang sering ia ucapkan adalah kalimat ini: "I train the players in their brains, not their legs." [3] Saat ditahan imbang Cambridge United di Piala FA, van Gaal mengaku pantatnya berkedut-kedut, untuk menjelaskan ia tak bisa duduk dengan tenang. "I have twitched my ass on the bench," katanya saat itu. [4] Zeno adalah seorang filsuf Yunani yang salah satu teorinya yang terkenal adalah tentang "ilusi" gerak. Ia kerap mencontohkan anak panah yang bergerak sebagai hanyalah ilusi. Sebuah benda yang bergerak, kata Zeno, tidak pernah mencapai tujuan. Pertama-tama benda harus menempuh segmen setengah perjalanan. Lalu sesudah itu dia masih harus melewati banyak segmen: seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertigapuluhdua . . . Sedemikian hingga jumlah perjalanannya menjadi tak-hingga.