Memahami "Indonesian Way" Lewat Permainan Skuat Asuhan Luis Milla

Memahami "Indonesian Way" Lewat Permainan Skuat Asuhan Luis Milla
Font size:

Sepakbola Indonesia kembali gagal berprestasi pada 2017 ini. Setelah gagal lolos kualifikasi Piala Asia U-23, Indonesia dipastikan gagal mempersembahkan emas di ajang SEA Games 2017. Kepastian itu didapat karena pada laga semi-final yang berlangsung Sabtu (26/8) kemarin, Indonesia takluk dari Malaysia dengan skor tipis 1-0.

Kegagalan di ajang SEA Games 2017 menjadi pukulan telak bagi federasi sepakbola Indonesia (PSSI). Hal ini dikarenakan PSSI mencanangkan emas pada ajang multi cabang di Asia Tenggara tersebut. Apalagi aturan-aturan khusus dibuat pada kompetisi teratas liga Indonesia, Liga 1, untuk mencapai target tersebut. Tapi ternyata itu belum cukup.

Walau begitu, kegagalan di SEA Games 2017 tersebut tak membuat PSSI melengserkan Luis Milla sebagai pelatih timnas. Hanya saja evaluasi tetap dilakukan usai SEA Games 2017 ini berakhir. "Tetap [jadi pelatih timnas]. Tapi nanti kami lakukan evaluasi dari hasil yang didapatkan timnas," kata Wakil Ketua Umum PSSI, Joko Driyono.

Mempertahankan Milla tampaknya memang menjadi suatu keharusan bagi sepakbola Indonesia. Meski belum berprestasi, Milla sebenarnya bisa membuat sepakbola Indonesia lebih baik. Sejauh ini dari segi permainan pun Indonesia lebih baik. Tapi lebih dari itu, filosofi skema permainan Milla sangat sesuai dengan "Indonesian Way", yaitu cara bermain yang diharapkan PSSI bisa menjadi ciri khas Indonesia dalam meraih kesuksesan.

***

Saat PSSI menunjuk Milla, PSSI memiliki tujuan lain selain prestasi. Pertimbangan yang paling utama PSSI dalam mencari pelatih saat itu adalah pelatih tersebut tidak semata-mata hanya dari rekam jejaknya saja, tapi juga harus bisa memberikan permainan yang maksimal bagi kualitas pemain Indonesia yang ada saat ini. Sementara itu menurut PSSI, kualitas pemain Indonesia saat ini paling cocok dengan gaya sepakbola Spanyol.

"Kalau teman-teman perhatikan, [kandidat pelatih timnas] pertama lokal atau asing, mengerucut ke asing. Asing itu Eropa atau Amerika Latin, mengerucut ke Eropa. Eropa itu Belanda, Jerman, Eropa Timur atau Spanyol. Dikaitkan dengan tipikal permainan, akhirnya disahkan Spanyol," kata Joko Driyono pada Januari lalu.

Dengan rencana PSSI menjadikan Spanyol sebagai kiblat sepakbola Indonesia, PSSI pun menyeleksi dua pelatih yang punya pengetahuan lebih tentang sepakbola Spanyol. Dua nama terdepan yang muncul adalah Luis Milla dan Luis Fernandez. Keduanya sama-sama punya rekam jejak yang mentereng.

Pilihan PSSI akhirnya jatuh pada Milla. Dibandingkan dengan Fernandez, Milla memang "lebih Spanyol". Fernandez meski ia lahir di Spanyol, tapi ia lebih kental dengan sepakbola Prancis. Bahkan kariernya sebagai pemain ia habiskan di Prancis, sehingga ia kemudian dinaturalisasi timnas Prancis. Berbeda dengan Milla yang sepanjang kariernya sebagai pemain hanya malang-melintang di Spanyol, sampai ia melatih di timnas Spanyol U-19 hingga U-23.

Milla bersama trofi Piala Eropa U21

Saat Milla terpilih, maka muncul harapan besar bahwa Indonesia nantinya bisa bermain dengan ciri khas sepakbola Spanyol. Tak sedikit juga yang mulai membayangkan Indonesia bisa bermain dengan tiki-taka atau permainan umpan-umpan pendek indah yang dipopulerkan oleh Barcelona.

Ini juga yang lekat dalam mindset masyarakat Indonesia saat menyaksikan timnas Indonesia yang berlaga di SEA Games 2017, khususnya saat menghadapi Malaysia. Apalagi ketika Ezra Walian ditarik keluar digantikan Osvaldo Haay, di mana saat itu Yabes Roni yang seorang pemain sayap ditempatkan sebagai penyerang tengah. Tak sedikit yang berpendapat bahwa Indonesia mulai meniru cara bermain sepakbola Spanyol, khususnya saat Yabes Roni dijadikan "false nine". 

Namun hal tersebut sebenarnya kurang tepat. Pertama, Yabes Roni saat itu tidak difungsikan sebagai false nine. Perlu diketahui, false nine adalah peran, bukan posisi. False nine bukan berarti pemain yang bukan penyerang tapi ditempatkan sebagai penyerang tengah. False nine, secara sederhana, merujuk pada cara bermain seorang penyerang yang bermain layaknya seorang gelandang serang sehingga ia tidak bermain di area yang biasanya diisi oleh penyerang no. 9. Sementara itu, Yabes tetap bermain di area pemain no.9, tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ezra sebelumnya.

Kedua, yang banyak dilupakan (atau tidak diketahui?) oleh masyarakat Indonesia, meski berasal dari Spanyol, Luis Milla sebenarnya tidak sedang menerapkan permainan a la sepakbola Spanyol atau yang diharapkan banyak orang memainkan umpan-umpan pendek khas Barcelona pada para pemain kita. Sebaliknya, Milla selama ini tengah menerapkan "Indonesian Way". Milla berusaha menampilkan seperti apa seharusnya "Indonesian Way", yang diharapkan PSSI bisa menjadi jati diri permainan sepakbola Indonesia.

Milla sejak awal sadar betul bahwa kualitas para pemain Indonesia saat ini tidak bisa bermain dengan umpan-umpan pendek untuk membongkar pertahanan lawan seperti yang dilakukan Vietnam beberapa waktu lalu. Karena ketika permainan seperti itu menuntut permainan kolektif, pemain Indonesia, menurut Milla, sangat individual.

"Pemain Indonesia memiliki teknik individu yang hebat, tetapi mereka tidak bisa mengaplikasikan tekniknya ke dalam permainan tim," kata Luis Milla mengenai pemain Indonesia.

Lalu seperti apa sebenarnya "Indonesian Way" yang hendak diperkenalkan oleh PSSI dan disempurnakan oleh Milla? 

Bersambung ke halaman berikutnya

Halaman kedua

"Indonesian Way" menyerang secara proaktif dengan penguasaan bola, konstruktif dari lini ke lini dan berorientasi progresif ke depan untuk mencetak gol. Proaktif di sini berarti ingin selalu menguasai bola (possession-based). Sementara itu konstruktif artinya membangun serangan secara sistematis dari lini ke lini, misalnya tidak langsung mengirimkan bola dari kiper ke penyerang, melainkan harus melalui bek, ke gelandang, baru ke penyerang. Sedangkan progresif mengutamakan pada operan-operan ke depan agar penguasaan bola yang dimiliki berorientasi pada mencetak gol, bukan hanya memainkan bola di belakang.

Maka yang kita lihat pada Evan Dimas dkk. adalah Indonesia seringkali unggul penguasaan bola. Ketika menyerang, Satria Tama atau Kartika Ajie tidak langsung memberikan umpan jauh ke tengah, tapi memberikan umpan pendek ke pemain belakang. Dari belakang, serangan dibangun perlahan untuk mencapai pemain gelandang. Umpan-umpan jauh yang sering dilepaskan Evan Dimas adalah bentuk dari orientasi progresif, yaitu secepat mungkin mengirimkan bola ke depan, tidak hanya fokus pada penguasaan bola.

Sementara itu, saat bertahan pun ada tiga hal yang perlu dipahami, yakni proaktif, situational pressing, dan zonal markingProaktif dalam bertahan berkaitan dengan proaktif saat menyerang, yaitu berusaha merebut bola secepat mungkin (possession-based). Mengenai situational pressing, artinya ketika sedang tidak menguasai bola para pemain harus cerdas menentukan garis pertahanan untuk menekan pemain lawan yang sedang menguasai bola sesuai situasi. Sedangkan zonal marking menekankan pada setiap pemain untuk tidak terpaku pada penjagaan satu lawan satu, melainkan fokus pada lawan yang berada di area terdekat.

Berdasarkan hal di atas, tak heran Indonesia bertahan dengan pressing yang terbilang agresif. Ketika tak menguasai bola, para pemain Indonesia proaktif untuk berusaha dengan cepat merebut bola kembali. Selain itu pressing Indonesia pun bisa dilakukan di lini pertahanan lawan, di tengah ataupun di lini pertahanan sendiri karena mengacu pada situational pressing.

Tapi yang paling penting dari "Indonesian Way" adalah transisi negatif dan transisi positif-nya. Saat transisi negatif (dari menyerang ke bertahan), prioritas pertama saat kehilangan bola adalah langsung memberikan pressing agresif pada pemain lawan yang berhasil merebut bola pemain Indonesia. Sementara saat transisi positif (dari bertahan ke menyerang), serangan balik cepat adalah prioritas utama.

Dengan prioritas transisi di atas-lah "Indonesian Way" bisa berjalan dengan baik. Itu juga yang kita lihat saat Indonesia saat ini bermain begitu militan dengan pressing-pressing agresif yang dilancarkan saat tak menguasai bola. Sementara saat berhasil merebut bola, para pemain Indonesia tidak berlama-lama dengan bola, tapi langsung melancarkan serangan balik cepat, sebagaimana gol yang dicetak Muhammad Hargianto di laga melawan Filipina.

https://twitter.com/ardynshufi/status/898178554663387139/video/1

Definisi sederhana "Indonesian Way" ini rasanya cukup menjelaskan kenapa Indonesia tidak begitu mengandalkan umpan-umpan pendek untuk mengirim bola ke lini pertahanan lawan seperti yang dibayangkan banyak orang tentang sepakbola Spanyol atau Barcelona secara khususnya. Hal ini tak lepas dari kemampuan dasar pemain Indonesia yang punya keunggulan dari segi kecepatan di kedua sayap dan punya individu-individu mumpuni dalam situasi satu lawan satu. Oleh karenanya Evan Dimas ditempatkan lebih ke dalam untuk bisa mengirimkan umpan-umpan panjang ke area flank.

***

Dipertahankannya Milla bisa membuat "Indonesian Way" yang diusung PSSI semakin sempurna dengan pemain-pemain yang ia panggil. Karena itu pula Milla ditugasi melatih timnas Indonesia dengan kebijakan mayoritas pemain yang dipanggil memiliki usia di bawah 23 tahun, selain melatih timnas U23 juga. Bersama para pemain muda yang dipanggil, Milla diharapkan bisa memoles para pemain muda Indonesia saat ini agar semakin matang menerapkan "Indonesian Way" dalam beberapa tahun mendatang. 

Di samping beberapa kebijakan PSSI yang menuai kontroversi, "Indonesian Way" dan penunjukan Luis Milla memang menjadi harapan membaiknya sepakbola Indonesia, setidaknya dari segi permainan. Apalagi PSSI juga sudah membentuk kurikulum baru tentang "Indonesian Way" ini untuk disebar pada pelatih-pelatih usia dini dan grassroots.

Pemahaman "Indonesian Way" ini saya dapatkan pada kursus kepelatihan lisensi D PSSI beberapa waktu lalu. Bahkan dalam materinya, PSSI menekankan pola dasar 4-3-3 sebagai formasi belajar untuk usia dini sejak 10 tahun. Sebelumnya, jika melihat kurikulum yang dibuat PSSI sebelumnya (yang melibatkan Timo Scheunemann), selain 4-3-3, anak usia dini juga diperkenalkan dengan sistem 4-4-2. 

PSSI berharap "Indonesian Way" perlahan-lahan diperkenalkan ke setiap Sekolah Sepak Bola (SSB) atau akademi lewat kurikulum baru ini. Jika "Indonesian Way" ini bisa dipahami dengan baik oleh anak-anak usia dini, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menciptakan Evan Dimas-Evan Dimas baru sesuai dengan kebutuhan sepakbola modern yang semakin menuntut agresivitas dan transisi yang cepat. 

Kepincangan Lini Belakang Real Madrid yang Dimanfaatkan Valencia
Artikel sebelumnya Kepincangan Lini Belakang Real Madrid yang Dimanfaatkan Valencia
Musim yang Berat Bagi Arsenal Bila Tak Segera Berubah
Artikel selanjutnya Musim yang Berat Bagi Arsenal Bila Tak Segera Berubah
Artikel Terkait