Font size:
Oleh: Aldhi Febrianto*
Tidak ada penggemar sepakbola yang tidak mengetahui Diego Armando Maradona. Meski belum pernah menyaksikan langsung permainannya, kita pasti sudah sering mendengar kehebatannya. Pria gempal asal Argentina tersebut dianggap sebagai salah satu legenda terbesar di sepakbola. Pengaruh Maradona bagi sepakbola—bahkan rakyat—Argentina masih amat terasa hingga saat ini. Terlepas dari perilaku negatifnya di luar lapangan, tapi Maradona selalu menjadi simbol akan keberhasilan, keagungan dan kehebatan. Kebesaran nama Maradona, membuat semua penyerang bertubuh mungil dan memiliki potensi tinggi selalu dicap sebagai The New Maradona; Maradona Baru. Tidak sedikit pemain yang “gagal” setelah mendapat julukan ini. Sejumlah pemain tampak layu sebelum berkembang. Sebut saja Javier Saviola, Andres D’Alessandro, dan Pablo Aimar yang tidak pernah benar-benar menjadi that one, baik dalam segi kualitas maupun prestasi pribadi. Nama lain seperti Hernan Crespo dan Juan Roman Riquelme merupakan pemain kelas dunia, tetapi bukan yang terbaik. Pencarian akan Maradona baru terus berjalan karena pemain-pemain tersebut gagal memenuhi ekspektasi. Pada awal 2000-an, muncul lagi satu sosok Maradona baru. Sosok itu bernama Carlos Tevez. Penyerang gempal ini mulai mencuat saat membela Boca Juniors, kesebelasan yang juga mencuatkan nama Maradona dulu. Nama Tevez makin melambung saat bermain di Piala Interkontinental pada 2003. Kala itu, Boca berhasil menjadi juara dengan mengalahkan wakil Eropa, AC Milan. Carlitos, panggilan Tevez, pun mantap sebagai seorang Maradona Baru. Tevez tidak sendirian. Masih pada pertengahan 2000-an, Maradona baru kembali muncul. Anak itu bernama Lionel Messi. Ia menjalani debut bersama Barcelona pada musim 2004/2005. Messi dengan segera memikat banyak orang dan julukan “New Maradona” tidak sungkan untuk hinggap padanya. Satu dekade berlalu. Kini keduanya bertemu dalam partai final tertinggi dalam kompetisi Eropa: Final Liga Champions. *** Mendengar nama Messi, hal-hal pertama yang akan terbesit dalam pikiran anda adalah gol-gol spektakuler, dribble-dribble spektakuler membelah pertahanan lawan, tendangan-tendangan mematikan, dan hal-hal fantastis lainnya. Sudah banyak orang menganggap La Pulga, julukan Messi, sebagai The Greatest Ever. Semua gelar yang ada di level klub sudah diraih oleh Messi. Messi hanya berjarak satu Piala Dunia untuk menyamai Maradona. Bahkan, musim ini Leo berpeluang meraih treble winners kedua dalam karirnya. Barcelona sudah mengamankan gelar La Liga dan sudah menjuarai Copa Del Rey. Kemenangan dalam final Liga Champions pada Sabtu (6/6) malam, akan menggenapi treble winners milik Messi. Bagaimana dengan Carlos Tevez? Prestasi Tevez memang tidak secemerlang Messi. Karir sepakbola Tevez bukan karir yang “adem ayem”. Petualangan Tevez bisa dibilang nyeleneh, penuh lika-liku dan drama. Like a roller coaster ride. Lika-liku Karir Tevez Setelah muncul bersama Boca Juniors, tidak sedikit kesebelasan top Eropa yang menginginkan jasa Tevez. Wajar, karena pada saat itu El Apache, julukan Tevez, dianggap sebagai the next big thing, The New Maradona. Tetapi, apa yang menjadi pilihan Tevez membuat banyak dahi orang mengerenyit. Bukan Barcelona, bukan klub La Liga, bukan pula kesebelasan-kesebelasan di Eropa, Tevez malah lebih memilih untuk hijrah ke Brazil, negeri musuh bebuyutan Argentina. Tevez memilih Corinthians sebagai pelabuhan selanjutnya. Sempat menuai reaksi keras dari suporter yang tidak suka dengan kehadiran bintang Argentina dalam klub mereka, Tevez akhirnya dapat membuktikan diri sebagai pemain jempolan di Corinthians. El Apache mencetak 25 gol dari 38 pertandingan bersama Corinthians. Namun perselisihan dengan pelatih dan insiden dengan rekan setim membuat perjalanan Tevez di Timao berakhir buruk. Melihat karirnya sudah tidak bisa berkembang di negeri samba, Tevez, dengan bantuan campur tangan agen kontroversial Kia Joorabchian, akhirnya hijrah ke Eropa. Awal musim 2006/2007 Carlitos mendarat di Inggris, negeri dengan salah satu kompetisi terbaik di dunia. Namun bukan tim besar seperti Manchester United, Liverpool, atau Chelsea yang menjadi tujuan Tevez, melainkan West Ham United. Ya, Tevez tampaknya belum puas dengan kontroversi dalam karirnya. Bersama dengan Javier Mascherano, Tevez membuka lembar baru dalam karirnya bersama dengan The Hammers.Terdapat sejumlah alasan mengapa Tevez pindah ke The Hammers salah satunya karena faktor kepemilikan pemain oleh pihak ketiga. Berikut pilihan redaksi terkait isu tersebut. Belajar Kepemilikan Pemain oleh Pihak Ketiga dari Kasus Rojo dan Tevez Kepemilikan Pemain oleh Pihak Ketiga Tak Membuat Klub Kaya Raya Kepemilikan Pemain oleh Pihak Ketiga Memang Bikin RuwetKarir Tevez di London pun tak dilalui dengan mulus. Ia tampak kesulitan beradaptasi dengan iklim sepakbola Inggris. West Ham pun mengalami musim yang kurang mulus, mereka mesti berjuang menghadapi juarang degradasi pada musim tersebut. Di situlah Tevez memerlihatkan magisnya. Tujuh golnya membantu West Ham lolos dari jerat degradasi, termasuk gol kemenangan di Old Trafford, kandang Manchester United. Nyatanya, gol tersebut hanyalah awal dari gol-gol Tevez lainnya di stadion legendaris itu, karena musim berikutnya “The Red Devils”, julukan Manchester United, memutuskan untuk meminang Apache dari West Ham.


Penulis aktif di media sosial dengan akun twitter @aldhi_febriantoSumber gambar: egyptindependent.com