Font size:
Karya: Teguh Rama
Tepat hari ini, 21 tahun lalu, Lucas Radebe resmi bergabung dengan Leeds United. Menurut Anda sifat apa yang lekat dengan sosok seorang kepala suku? Jika Anda menjawab dengan kata-kata ini: pemimpin, tangguh, loyal, dan menjadi teladan bagi semua rakyatnya, maka kurang lebih seperti itulah Lucas Radebe. Radebe adalah salah satu ikon dan role-model Afrika Selatan dengan segala kontribusi dan pencapaiannya di dalam maupun di luar lapangan. Dan jika membicarakan ini, seketika itu pula terlintas kata-kata berikut didalam kepala saya: Apartheid, Afrika Selatan, dan Soweto. Tiga kata kunci itu langsung membuat saya teringat kepada lagu yang pernah saya bawakan ketika acara pensi di SMA dulu yang berjudul “Gimme Hope Jo’anna”, sebuah lagu yang saya kenal dibawakan oleh Not Available, band punk rock dari Jerman. Aslinya lagu ini diciptakan musisi Inggris kelahiran Guyana, Eddy Grant, yang menceritakan politik Apartheid, yaitu politik diskriminasi yang didasarkan perbedaan warna kulit. Lagu tersebut saat itu dilarang beredar dan diputar di seluruh Afrika Selatan saat apartheid masih berlangsung. Jo’anna di dalam lagu tersebut kabarnya merujuk kepada Johannesburg, kota kedigdayaan kaum kulit putih di negara paling selatan benua Afrika saat itu. Johannesburg dikenal sebagai kota tambang emas terbesar. Pemerintah Afrika Selatan saat itu menyisihkan orang kulit hitam yang mayoritas bekerja sebagai buruh tambang dari Johannesburg ke sebuah daerah bernama Soweto. I hear she makes all the golden money To buy new weapons, any shape of guns While every mother in black Soweto fears The killing of another son.. Potongan bait ketiga dari lagu Gimme Hope Jo’anna seperti jelas menggambarkan situasi Soweto, daerah Radebe berasal, pada waktu itu. Sebuah daerah urban yang berbatasan langsung dengan Johannesburg (sekarang Soweto bagian dari Johannesburg) ini didominasi penduduk berkulit hitam, dan terkenal resisten di masa politik diskriminasi Apartheid oleh otoritas kala itu. Kekerasan bersenjata yang kerap terjadi membuat setiap orangtua berpikir untuk menghindarkan anaknya dari situasi buruk tersebut. Mereka sepakat mengarahkan anak-anaknya, termasuk Radebe, kepada sepakbola daripada harus terbunuh akibat konflik bersenjata. Dalam buku biografinya yang berjudul “Lucas: From Street of Soweto to Soccer Superstar” dan ditulis oleh Richard Coomber, dikisahkan bahwa Radebe memulai karir sepakbolanya dengan sulit. Radebe kecil hanya bermain sepakbola dari jalanan ke jalanan lainnya. Ketika di Soweto, Radebe bahkan pernah bermain dengan menggunakan gumpalan-gumpalan kaus kaki yang disusun menjadi bola sepak. Tak hanya itu, pada suatu ketika, Radebe yang masih muda pernah terkena tembak peluru di sekitar rumahnya ketika pulang berbelanja bersama ibu dan adik-adiknya. Namun polisi tidak mau menolongnya, karena politik Apartheid yang masih ada saat itu membuat mereka enggan menolong warga kulit hitam di Soweto. Pun dengan polisi berkulit hitam yang disebut Radebe sebagai ‘pengkhianat’. Petualangan Radebe dimulai Bakat sepakbola Radebe kemudian tercium oleh salah satu legenda sepakbola Afrika Selatan, Patrick Ntsolengoe. Patrick pun berjasa membuatnya bergabung dengan klub tersukses di Afrika Selatan, Kaizer Chief. Awal karier Radebe di Eropa tak semulus yang dibayangkan. Radebe kesulitan beradaptasi dengan tempat tinggal barunya, di Leeds. Cuaca yang dingin serta makanan yang kurang cocok dengan lidahnya membuat ia rajin pulang ke Johannesburg pada tahun-tahun awal kepindahannya ke Eropa. Selain itu, Radebe pun sempat bersitegang dengan gaffer Leeds saat itu, Howard Wilkinson yang membuat dirinya lebih banyak dicadangkan. Peruntungan Radebe berubah saat Wilkinson digantikan George Graham. Graham yang melihat potensi besar dari Radebe mempercayainya menjadi pemain inti. Uniknya, pada awal kariernya sebagai pesepakbola, Radebe memulai sebagi seorang penjaga gawang. Tapi kemudian ia pindah menjadi seorang gelandang tengah sebelum akhirnya menempati posisi bek tengah. Berbeda cerita dengan debutnya bersama Leeds United. Manajer Howard Wilkinson saat itu memainkannya sebagai sayap kanan. Pun begitu dengan aksinya sebagai kiper yang tidak bisa dianggap remeh (Anda bisa membuktikannya sendiri dengan menonton laga Leeds versus Man Utd tahun 1996). Di dalam ruang ganti pemain, tidak ada sosok yang melampaui respek yang diberikan kepada Radebe yang dijuluki The Chief. Julukan yang diberikan oleh pendukung Leeds dari tempat dirinya bermain sebelum Leeds, Kaizer Chiefs, namun pada akhirnya tersemat karena ia memiliki aura kepemimpinan yang luar biasa didalam maupun diluar lapangan. Kehebatan dan kelincahannya di lapangan seketika melambungkan namanya sebagai bek tangguh kelas dunia. Sosoknya pun tak tergantikan sebagai kapten Leeds United sejak 1998 hingga ia memutuskan gantung sepatu pada tahun 2005. Di bawah kepemimpinannya, Leeds finis di urutan ketiga klasemen Premier League pada musim 1999-2000, dan musim berikutnya membawa Leeds hingga ke semi-final Liga Champions, serta meraih gelar FIFA Fair Play Award di musim berikutnya. Mantan bosnya di Leeds, Howard Wilkinson, mengakui kehebatan dan kepemimpinan Radebe di lapangan. Ia mengakui bahwa keinginannya untuk bermain dengan gaya direct dirasa tidak cocok untuk Radebe. Rhoo – julukan lainnya- meski tidak sepaham dengan Wilkinson, namun tetap memuji mantan bosnya tersebut karena ia anggap perekrutan dirinya sebagai perjudian besar. Perjudian besar? Kebesaran pengaruh Radebe di Leeds United sebenarnya ironi dengan awal kedatangannya di Leeds. Radebe datang ke Leeds sebagai pemain paketan. Radebe menjadi bagian dari pembelian Philemon Masinga agar Phil merasa senang. Ia dihargai sebesar 250 ribu Poundsterling saja dari Kaizer Chief saat itu. [caption id="attachment_184996" align="alignnone" width="467"]
Penulis adalah peserta Pandit Camp dengan akun Twitter @Teguhrama