Ada satu hal yang tidak pernah benar-benar hilang dari PSIS Semarang dalam satu dekade terakhir. Bukan gelar juara, bukan stabilitas, bukan pula visi jangka panjang. Ia adalah drama, bak opera sabun yang kadang begitu absurd sampai-sampai para suporter lebih fasih membahas urusan saham, notaris, dan politik lokal, dibanding performa para pemain bersama tim di lapangan.
Klub sebesar PSIS seolah tidak pernah diberi ruang bernapas untuk menjadi sekadar klub sepak bola. Selalu ada sesuatu yang membuat mereka kembali ke panggung drama. Entah konflik suporter dengan manajemen, perebutan saham, sampai urusan politik yang dibawa ke ranah sepak bola. Puncak drama musim ini yang membuat atmosfer sepak bola di Semarang tiba-tiba bangkit setelah dua tahun mati suri datang dari satu nama: David Glenn.
Semua bermula dari kabar bahwa 75% saham PSIS siap dibeli oleh pengusaha tambang, bos Malut United, yang selama ini dipandang sebagai sosok pas untuk membangun tim sepak bola itu. Suporter, yang sudah muak dengan stagnasi klub dan konflik berkepanjangan antara Yoyok Sukawi dan Junianto, otomatis menangkap sebagai sebuah angin segar.
David Glenn, lewat tangan kanannya Asghar Saleh, datang ke Semarang bukan hanya bernegosiasi dengan manajemen tapi benar-benar menyentuh akar emosional klub: suporter. Asghar kulonuwon kepada Panser Biru dan Snex seperti orang yang paham betul budaya Jawa. Ia tidak datang sebagai pebisnis yang sok kuasa, melainkan sebagai tamu, dan itu fundamental. Itulah yang membuat suporter luluh.
Nama Hengky Oba bahkan sudah beredar akan menjadi manajer baru. Beberapa agenda internal klub mulai dipersiapkan untuk transisi kepemilikan. Bahkan biaya operasional tim yang seharusnya menjadi tanggung jawab manajemen lama mulai diurus oleh David Glenn, dan itu bukan kabar angin.
Uang 780 juta rupiah sudah keluar dari kantong pribadi David Glenn, mulai biaya away ke Lamongan dan Kudus, gaji pemain, sampai operasional lainnya. Jumlah itu bukan angka kecil untuk tahap pembelian tim yang belum masuk ke tahap “belum tanda tangan di notaris”. Meski uang itu sudah dikembalikan oleh manajemen PSIS, dicicil dalam waktu sehari dan sudah lunas, tapi inilah yang paling menarik:
Atmosfer Semarang yang dua tahun belakangan seperti kota yang kehilangan gairah sepak bola tiba-tiba hidup. Kalah dari Kendal Tornado FC pun dirayakan. Bayangkan: kalah derbi, tapi suporter konvoi kota seperti baru menang di laga final.
Saat tandang ke Kudus, lebih dari 3.000 suporter hadir. PSIS memang harus menerima kekalahan 0-3, tapi mereka datang membawa harapan bahwa klub ini sedang menuju babak baru. Suporter adalah makhluk yang absurd sekaligus indah mereka tidak butuh kemenangan untuk bahagia. Mereka butuh harapan, dan David Glenn memberikan itu.
Ketika Harapan Itu Dipatahkan Secara Sepihak
Setelah proses negosiasi melalui Asghar yang berlangsung selama dua minggu di Semarang bertemu Yoyok Sukawi, suporter, bahkan sempat membangun rencana jangka pendek dan menengah, tiba-tiba hening. Komunikasi terputus, hilang. Seakan ada tombol “mute” yang ditekan dari satu sisi.
Lalu, muncul press release dari Joni Kurnianto, menjadi juru bicara pemilik saham sekaligus kakak ipar Yoyok Sukawi, yang menyatakan transaksi batal karena “tidak menemukan titik temu”. Sederhana, ringan, dan sangat menimbulkan tanda tanya.
Bagaimana mungkin pembeli yang sudah mengeluarkan ratusan juta rupiah, sudah mengonsep perombakan tim, sudah menjalin komunikasi sosial, tiba-tiba berhenti “karena tidak menemui titik temu”, tanpa penjelasan konkret? Bagi suporter, ini bukan sekadar pembatalan transaksi bisnis. Ini penghancuran harapan. Sejak itu, suporter mulai menghubungkan banyak titik yang sebelumnya berserakan.
Bukan rahasia bahwa hubungan suporter dan Yoyok Sukawi sudah memburuk sejak Pilwakot Semarang. Ketika Yoyok maju dan kalah, sedangkan sebagian suporter menolak memberikan dukungan politik. Bahkan ketua Panser Biru waktu itu sampai terseret laporan polisi karena tuduhan pencemaran nama baik. Sejak itu, hubungan suporter dan manajemen membeku. PSIS seperti rumah tangga yang sudah tidak tidur sekamar tapi masih tinggal seatap demi anak-anak.
Suporter memboikot awal musim 2024/2025 bukan karena tidak cinta klub, tapi karena bosan menjadi figuran dalam drama internal. Bahkan Junianto, yang pernah ingin menyulap PSIS layaknya Bali United dan Persib Bandung dengan membangun training center, kantor, bus, bahkan merencanakan membangun stadion baru, justru terkena “hak veto”. Ia akhirnya memilih membangun klub baru: Kendal Tornado FC. Fasilitas yang seharusnya menjadi aset PSIS lantas mengalir ke klub baru itu.
Ketika drama bersusun seperti ini, pembatalan tiba-tiba terhadap David Glenn terasa tidak wajar. Di mata suporter, ini bukan “tidak ada titik temu”. Ini seperti ada tawaran lebih tinggi, seperti yang dikatakan Ketua Panser Biru, Wareng, dalam wawancara dengan Beritajateng.tv.
Jika itu benar, maka persoalannya bukan bisnis. Ini persoalan etika. Ketika Anda sudah sepakat secara moral, tinggal tanda tangan, lalu tiba-tiba memilih pihak lain. Di sepak bola profesional, ini bisa disebut “mencari musuh”.
Masuknya Datu Nova Fatmawati
Di tengah kekacauan mental suporter, tiba-tiba muncul nama Datu Nova Fatmawati, istri pengusaha asal Lamongan Persela dan Belikopi, Fariz Julinar Maurisal, yang ternyata asli Semarang. Dengan cepat, ia bertemu keluarga Sukawi, lalu bertemu Panser Biru. Bahkan, ia berani menunjukan peralihan 74,25% saham kepada suporter sebagai bukti bahwa keluarga Sukawi sudah lepas dari PSIS.
Tetapi, apakah suporter mengibarkan bendera sambutan seperti saat mereka menyambut David Glenn? Tidak. Bagaimana mereka bisa percaya setelah di-prank oleh manajemen sendiri?
Kecurigaan itu wajar. David Glenn sudah membuktikan keseriusan dengan uang, tenaga, dan pendekatan sosial, malah dibatalkan. Bagaimana mereka bisa percaya pada orang yang baru muncul setelah drama? Apalagi, pola “masuk diam-diam lalu diumumkan secara mendadak” ini mirip dengan skenario yang pernah terjadi sebelumnya.
Namun di sisi lain, Datu Nova Fatmawati terlihat mengerti situasinya. Mengajak suaminya datang langsung ke pertemuan suporter di Hotel Tentrem Semarang pada Senin 17 November 2025 pukul 10 malam, setelah melakukan pertemuan dengan keluarga Sukawi.
Ada sesuatu yang membuat nama David Glenn semakin kuat di hati supporter PSIS Semarang, bahkan setelah batal membeli saham. Asghar Saleh orang kepercayaannya David Glenn masih menyempatkan diri menemui suporter untuk meminta maaf karena gagal menyelamatkan PSIS.
Bayangkan, mereka yang dirugikan justru yang meminta maaf. Tdak perlu. Mereka bukan pemilik klub. Mereka tidak berutang kepada siapa pun di Semarang. Tapi mereka tetap datang. “Jika PSIS dijual dan meski bermain di Liga 4, David Glenn tetap siap membeli,” kata Asghar.
Ucapan itu meninggalkan kesan mendalam. Ucapan yang sama, kata suporter, pernah juga keluar dari mulut Junianto, yang sama-sama ingin membeli mayoritas saham PSIS, tapi dua-duanya ditolak. Dari sini, sebagian suporter mulai menyimpulkan problem sebenarnya bukan tentang siapa investornya, tapi siapa pemegang pintu masuk klub, dan itu selalu kembali pada satu keluarga.
Apa yang Kini Ditunggu Suporter?
Masuknya Datu Nova Fatmawati memang menimbulkan keraguan. Tapi suporter bukan tidak memberi kesempatan. Mereka hanya menunggu bukti konkret. Ada tiga hal yang kini jadi ukuran:
Pertama, seberapa besar komitmen Datu Nova memperbaiki tim musim ini? PSIS ada di dasar klasemen Grup Timur Pegadaian Championship. David Glenn kabarnya sudah menyiapkan 20 miliar rupiah untuk belanja pemain dan pelatih. Apakah Datu Nova punya rencana serupa?
Jika investor baru ingin langsung menghapus keraguan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah rekrutmen besar-besaran dan mengangkat pelatih yang tepat, bukan sekadar "yang penting asal pelatih".
Kedua, bagaimana kolaborasi dengan pemegang 15% saham, Junianto? Suporter tahu Junianto adalah sosok yang mencintai PSIS, dan keputusannya membangun Kendal Tornado FC bukan karena ia ingin meninggalkan klub tetapi karena ia dipaksa oleh situasi internal. Jika Datu Nova ingin membangun stabilitas, ia harus merangkul Junianto, bukan mengulang siklus veto yang dulu membuat konflik pengelolaan tim menjadi membara.
Ketiga, apakah politik benar-benar dijauhkan dari PSIS? Yoyok Sukawi dan keluarganya kini resmi tak memiliki saham (menurut bukti yang ditunjukkan ke Panser Biru). Jika benar, ini harus menjadi titik balik. Pasalnya, suporter sudah terlalu lama merasa klub ini dijadikan alat politik. Dengan memiliki basis suporter besar, PSIS merupakan sebuah komoditas yang seksi bagi politisi,
Datu Nova sampai saat ini tidak memiliki latar belakang politik atau masuk ke salah satu partai politik, tapi bukan tidak mungkin ke depanya bisa terjadi. Suporter harus bisa menempatkan diri mengingat terpuruknya PSIS saat ini suka tidak suka ada hubunganya dengan politik. Tanpa rekonsiliasi antara manajemen dan suporter, PSIS akan tetap menjadi kapal besar yang terus bocor meski diisi pemain bintang.
PSIS dan Siklus Drama yang Harus Diakhiri
PSIS bukan klub kecil. Basis suporternya besar, warisannya panjang, potensi kotanya sangat besar. Tapi, klub ini hidup dalam siklus yang melelahkan: drama manajemen, harapan baru, hingga kekecewaan kembali lagi.
Musim ini, drama David Glenn adalah puncaknya harapan dinaikkan setinggi langit, lalu dijatuhkan sedalam jurang. Suporter marah bukan karena uang 780 juta atau batalnya transaksi. Mereka marah karena harapan yang sudah mereka peluk erat tiba-tiba direbut secara sepihak.
Kini, dengan hadirnya nama baru seperti Datu Nova Fatmawati, perjalanan PSIS memasuki babak baru. Pertanyaannya hanya satu: Apakah ini awal dari era baru atau hanya babak lain dari drama panjang yang membuat suporter semakin apatis?
Suporter tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin klub ini lepas dari lingkaran lama: konflik keluarga, veto saham, dan politisasi klub. Mereka ingin PSIS kembali menjadi PSIS bukan alat, bukan komoditas, bukan panggung drama.
Bagi suporter PSIS, satu hal paling penting tetap sama: Asal Yoyok Sukawi dan keluarganya benar-benar out, mereka siap mendukung PSIS, bahkan di Liga 4 sekalipun. Kini semua mata tertuju pada satu nama, Datu Nova Fatmawati.
Bisakah ia meyakinkan publik bahwa ia datang bukan untuk melanjutkan siklus lama tetapi untuk memutusnya? Hanya waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal pasti suporter PSIS sudah terlalu lelah untuk kecewa lagi.
Penulis: Andre Rizal Hanafi
