Menunggu David O`Leary Kembali dari Tidur Panjang

Backpass

by Dex Glenniza 62933

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Menunggu David O`Leary Kembali dari Tidur Panjang

Bagi para pemain gim Football Manager atau Championship Manager edisi lawas, terutama edisi tahun 2000 sampai 2002, setiap Sir Alex Ferguson pensiun dari Manchester United, simulasi yang umumnya terjadi akan memunculkan nama David O’Leary sebagai penggantinya. Ya, David O’Leary, bukan David Moyes.

Masalahnya, penonton sepakbola generasi sekarang belum tentu mengenal siapa itu David O’Leary.

“Hilang ke mana saja kamu?”, tanya David Beckham kepada David O’Leary pada suatu malam di pertandingan Liga Champions UEFA antara tuan rumah Arsenal melawan Paris Saint-Germain. Kedua David yang berulang tahun di hari yang sama tersebut, 2 Mei, bertemu di director’s box Stadion Emirates dan saling bertukar cerita.

Kejadian tersebut baru terjadi pada akhir tahun lalu, Desember 2016. Pertanyaan yang sama akan diucapkan oleh para penonton sepakbola generasi awal 2000-an. Sementara para penonton sepakbola generasi sekarang akan bertanya lebih kepada, “Siapa itu David O’Leary?”.

Untuk seorang (mantan) manajer legendaris yang baru berusia 58 tahun, O’Leary memang seperti hilang entah ke mana. Kita mengenal O’Leary dari petualangan ajaibnya di semi-final Piala UEFA 1999/2000 dan semi-final Liga Champions 2000/2001 bersama dengan Leeds United.

Padahal ia masih tinggal di Yorkshire (Leeds) bersama dengan istrinya, Joy, yang berusia 35 tahun. Tampangnya juga tidak banyak berubah.

“Apakah aku ingin kembali [menjadi manajer sepakbola] jika sesuatu yang dirasa baik datang? Ya, tentu saja,” kata O’Leary seperti yang dikutip dari The Telegraph. “Aku tidak pernah berhenti jatuh cinta dengan sepakbola. Aku bangga dengan apa yang sudah aku lakukan sebelumnya.”

“Kami memiliki saat yang fantastis di Leeds, bermain di beberapa stadion terbesar di Eropa, dan aku tahu aku juga melakukan pekerjaan yang baik di Aston Villa. Situasinya sangat berbeda. Aku lebih merasa sebagai pelatih bergaya kontinental di Leeds,” kata pria kelahiran London tersebut.

Meskipun lahir di London, O’Leary yang pernah bermain untuk Arsenal dan Leeds, memutuskan untuk membela tim nasional Republik Irlandia.

Ia bermain sebanyak 68 kali untuk Irlandia sebagai bek tengah. Salah satu momen terbaiknya bersama Irlandia adalah saat ia menjadi penendang penentu di drama adu penalti melawan Rumania. Tendangannya itu membuat Irlandia memenangkan adu penalti dengan skor 5-4 sekaligus membawa negaranya ke perempat-final Piala Dunia 1990.

Tendangan O’Leary tersebut sampai saat ini masih dianggap sebagai momen terbaik sepanjang sejarah sepakbola Irlandia.

David O’Leary dan Leeds United

Menganggap O’Leary sebagai salah satu manajer legendaris bukan sesuatu yang berlebihan. Jika acuan kita adalah video game, O’Leary adalah salah satu manajer yang memiliki judul video game-nya sendiri: O’Leary Manager 2000.

Namun, menganggap acuan tersebut sebagai penanda status seseorang tentunya agak sembarangan. Meskipun demikian, tanya kepada setiap pendukung Leeds United (Adakah di sekitarmu? Atau kamu bahkan tidak tahu apa itu Leeds United?) maka mereka pasti akan mengenali O’Leary.

Leeds adalah kesebelasan terakhir yang menjadi juara First Division pada 1992, sebelum kemudian kompetisi tertinggi di Inggris tersebut berganti format menjadi Premier League. Setelah memakai format Liga Primer Inggris, Leeds tidak pernah lagi menjadi penantang serius gelar juara.

Akan tetapi pada 1998, semuanya berubah. Berawal dari George Graham (George Graham yang sama dengan yang dipecat Arsenal pada 1995) yang berhasil membawa Leeds berada di top six, Graham kemudian berpindah haluan ke Tottenham Hotspur untuk musim 1998/1999.

Peter Risdale, pemilik Leeds saat itu, menunjuk asisten Graham untuk menjadi manajer. Ia adalah David Anthony O’Leary.

“Perbedaan ketika kamu menjadi manajer [dibanding saat menjadi pemain maupun asisten manajer] adalah sesuatu yang sulit dipercaya,” kata O’Leary kepada The Telegraph. “Malam-malam yang membuat sulit tidur dan, setiap hari di lapangan latihan, ada 20 orang-orang aneh yang melihatmu, menunggumu memimpin [sesi latihan].”

Pada saat itu, usianya baru 39 tahun, tergolong sangat muda dan tidak berpengalaman untuk menjadi manajer Leeds United, salah satu kesebelasan bersejarah di Inggris. Kenyataan bahwa Leeds adalah kesebelasan pertama yang dimanajerinya membuat keputusan Risdale sempat dipertanyakan.

Salah satu keputusan awal O’Leary saat itu adalah untuk mempromosikan Jonathan Woodgate, seorang bek tengah yang tinggi dan masih ingusan, masih berusia 18 tahun, untuk membela tim senior.

Beberapa pemain juga ia promosikan dari Thorp Arch, akademi Leeds, seperti Stephen McPhail dan Alan Smith. Untuk membimbing para pemain mudanya, ia mendatangkan bek tengah Afrika Selatan, Lucas Radebe, yang kemudian menjadi kapten kesebelasan, serta David Batty.

Setelah tidak terkalahkan dalam 11 pertandingan, Leeds mengakhiri musim 1998/1999 di peringkat keempat, yang merupakan peringkat tertinggi mereka di Liga Primer sampai saat itu. Pada musim tersebut, Manchester United, rival mereka, berhasil meraih treble.

Berhak lolos ke Piala UEFA membuat O’Leary kemudian berani berinvestasi lebih. Mereka sempat kehilangan Jimmy Floyd Hasselbaink, mesin gol utama mereka, ke Atlético Madrid. Namun, O`Leary bisa menambal kepergian Hasselbaink dengan mendatangkan Danny Mills dari Charlton Athletic, Darren Huckerby dari Coventry City, dan Michael Bridges dari Sunderland.

Leeds kemudian memasuki milenium baru di papan atas Liga Primer dengan skuat yang dipenuhi pemain home-grown, sehingga merekapun dijuluki sebagai The Young Guns. Selain nama-nama yang sudah disebutkan di atas, mereka juga memiliki Ian Harte, Lee Bowyer, Eirik Bakke, dan salah satu pemain terbaik mereka, yaitu Harry Kewell.

Pada musim tersebut, Leeds tersingkir dari semi-final Piala UEFA (sekarang setara dengan Liga Europa) dari sang juara, Galatasaray, namun mereka mengakhir musim di peringkat ketiga di Liga Primer dan berhak lolos ke Liga Champions.

Untuk menyambut Liga Champions, O’Leary mendapatkan suntikan dana ekstra untuk mendatangkan Olivier Dacourt, Mark Viduka, dan Dominic Matteo. Namun, pembelian paling besar mereka adalah Rio Ferdinand dari West Ham United, yang diharga 18 juta paun yang saat itu memecahkan rekor transfer Britania. O’Leary menyebut Ferdinand sebagai “Rolls Royce”: meskipun mahal, tetapi langka dan cepat.

Pada musim tersebut, Leeds menghabiskan banyak uang tetapi mereka mampu menunjukkan penampilan yang sepadan di atas lapangan, terutama di Liga Champions. Harus berhadapan dengan Barcelona dan AC Milan di fase grup, Leeds berhasil memaksa Barcelona untuk terlempar ke Piala UEFA (bayangkan jika situasi tersebut terjadi sekarang).

Di babak fase grup selanjutnya (saat itu Liga Champions memiliki dua fase grup), mereka juga harus berhadapan dengan lawan yang sangat sulit, yaitu Real Madrid, Lazio, dan Anderlecht. Akan tetapi, Leeds berhasil lolos ke fase knock-out setelah berhasil menang di Stadio Olimpico melalui gol yang menunjukkan kerja sama tim kelas atas.

Bersambung ke halaman selanjutnya, perjalanan O’Leary dan Leeds United di fase knock-out Liga Champions 2000/2001.

Di perempat-final Liga Champions 2000/2001, Leeds berhasil mengalahkan Deportivo de La Coruña yang saat itu merupakan juara bertahan La Liga Spanyol. Namun sayang, petualangan mereka harus berakhir di semi-final karena dikalahkan oleh Valencia. Perjalanan Leeds di Liga Champions mengingatkan kita dengan Leicester City di musim ini sepertinya.

Mengakhiri musim sebagai semi-finalis Liga Champions membuat mereka semakin ingin menghamburkan uang demi penampilan yang lebih menjanjikan. Pemborosan Leeds terus berlanjut dan Risdale-pun rela berhutang sebanyak 60 juta paun.

Namun, finis di posisi keempat (saat itu tidak lolos ke Liga Champions) dan kelima membuat Leeds justru tidak bisa berlaga di kompetisi tertinggi Eropa tersebut. Karena manajemen keuangan yang buruk itu, Leeds dipaksa menjual beberapa pemain bintangnya.

Ferdinand, Robbie Keane, dan Robbie Fowler dijual pada 2002 untuk mendapatkan uang 43 juta paun. Pada Januari 2003, Woodgate dijual ke Newcastle dengan harga 9 juta paun. Pada saat itu juga petualangan O’Leary bersama Leeds harus berakhir. Ia diberhentikan dan digantikan oleh Terry Venables.

Singkat cerita, mismanajemen ini terus berlanjut dan Leeds harus terlempar sampai ke posisi ke-15 di liga pada musim 2002/2003. Pada musim berikutnya, Leeds harus terdegradasi dan terpaksa menjual Bowyer, Kewell, Dacourt, Nigel Martyn, Paul Robinson, Harte, Matteo, Mills, McPhail, Viduka, James Milner, dan Smith dengan harga murah. Sebuah ironi.

Setelah itu, Leeds terus menurun, bahkan sampai ke League One. Mereka sekarang masih terus berkutat di kubangan Divisi Championship (kompetisi tingkat kedua di Inggris) dan sampai hari ini belum pernah menginjakkan kaki mereka lagi di Liga Primer, bahkan untuk musim depan juga.


Selangkapnya: Teladan yang Buruk dari Leeds United


Kehidupan O’Leary pasca Leeds

Setelah secara ironis dipecat dari Leeds, O’Leary kemudian menjadi manajer Aston Villa. Ia berhasil membawa Villa berada di peringkat keenam pada musim 2004/2005. Di musim selanjutnya, ia membeli Carlton Cole yang sekarang bermain di Persib Bandung, tapi hanya bisa membawa Villa bertengger di peringkat ke-10.

Pada akhir musim 2005/2006, setelah Villa finis di peringkat ke-16, O’Leary kemudian diberhentikan karena Villa berganti kepemilikan dari Doug Ellis ke Randy Lerner.

Setelah lama menghilang dari dunia manajerial, O’Leary sempat melanjutkan karier di Dubai bersama dengan al-Ahli pada 2010. Tapi ia hanya bertahan selama 16 pertandingan di al-Ahli.

Ketika di Dubai, O’Leary sempat bercerita jika ia suka terbangun dan mendapatkan ada selembar kertas yang diselipkan masuk ke dalam kamar hotelnya yang berisi saran susunan sebelas pemain untuk pertandingan selanjutnya.

Enam tahun sudah O’Leary hilang dari dunia manajerial sepakbola, dan bahkan jika kita menghitungnya hanya di Inggris, ia sudah “menghilang” selama satu dekade lebih.

Sekarang O’Leary bekerja sebagai duta untuk Arsenal di mana sebelumnya ia bermain selama dua dekade di kesebelasan asal London tersebut, berhasil memenangkan 2 gelar liga, 2 Piala FA, dan 2 Piala Liga.

Tapi tetap saja, di dunia sepakbola yang berlangsung cepat dan singkat ini, terutama untuk manajer, tidak semua orang mengenal O’Leary sekarang. “Aku kedatangan banyak ayah yang memperkenalkan putra-putra mereka, yang tidak memiliki petunjuk sama sekali siapa aku,” kata O’Leary.

Sebuah ironi untuk seorang manajer yang sudah merasakan tujuh musim di Liga Primer bersama Leeds United dan Aston Villa dengan hanya sekali saja merasakan finis di luar top half, serta memiliki CV sebagai semi-finalis Piala UEFA dan Liga Champions.

Di hari ulang tahunnya yang ke-58 ini, usianya masih tergolong muda untuk ukuran seorang manajer sepakbola. Tapi, ia baru akan menjadi seorang manajer sepakbola lagi jika ia benar-benar kembali dari hibernasinya. Semua orang berhak tahu siapa itu David O’Leary.

Komentar