HoGeSa punya nama dan tujuan yang terkesan mulia. Hooligan Gegen Salafisten (Hooligans Menentang Salafiyah) muncul untuk mewadahi penolakan para suporter garis keras terhadap ekstremis Islam. Nyatanya tidak demikian.
Bahwa HoGeSa mengesampingkan perseteruan antarkelompok -- anggotanya adalah pendukung klub-klub Jerman -- adalah benar. Namun dorongan yang menyatukan mereka adalah kebencian.
Mereka yang tergabung di HoGeSa tidak lain dan tidak bukan adalah sekelompok fasis. Lebih spesifik lagi: orang-orang fasis pemuja Adolf Hitler dan partainya, Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei -- Partai Nazi. Mereka yang tergabung di HoGeSa, sederhananya, dan memang tidak ada sebutan lain yang lebih akurat, adalah orang-orang neo-Nazi.
Di balik penolakan terhadap Salafiyah, HoGeSa punya tujuan lain: menghidupkan kembali gerakan anti politik sayap kiri. Ada beberapa bukti mengenai hal ini.
Pertama: beberapa anggota HoGeSa memiliki tato dan mengenakan atribut yang identik dengan neo-Nazi.
Kedua: ada campur tangan Siegfried Borchardt dalam perkumpulan HoGeSa di Dortmund pada Oktober 2014. Borchardt, seorang politisi sayap kanan, adalah aktivis neo-Nazi. Ia juga pendiri Borussenfront, koalisi hooligan sayap kanan.
Sebelum mengorganisir pertemuan hooligan sayap kanan tersebut, masih pada 2014, Borchardt mengadakan pertemuan bersama orang-orang terpandang dari kelompok suporter garis keras. Agendanya: pembahasan orientasi politik terkini dari kelompok-kelompok suporter di Jerman, yang condong ke kiri.
Seolah tak cukup kanan dengan semua itu, Borchardt memiliki nama panggilan yang neo-Nazi sekali: SS-Siggi.
Koln
Koln, 26 Oktober 2014. Menindaklanjuti perkumpulan di Dortmund beberapa pekan sebelumnya, HoGeSa menggelar demonstrasi di depan Kolner Dom (Katedral Koln, ikon kota Koln). Sementara jumlah yang hadir di Dortmund hanya 400 orang, di Koln jumlahnya sepuluh kali lipat.
Demonstrasi ini diorganisir oleh Pro NRW, partai politik sayap kanan negara bagian Nordrhein-Westfalen. Demonstrasi damai untuk menyuarakan penolakan terhadap Salafiyah, katanya. Nyatanya tidak demikian.
Para demonstran meneriakkan kebencian terhadap Islam, bukan Salafiyah, dan sentimen anti imigran. Mereka menyerang polisi yang bertugas -- melemparinya dengan botol, batu, kembang api, bahkan sepeda. Satu mobil polisi digulingkan; 44 orang polisi luka-luka.
Kepada Die Welt, salah satu polisi yang bertugas di demonstrasi tersebut mengatakan bahwa mereka menghadapi ekstremisme politik dalam sepakbola, di level yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya.
Praha
Lawatan tim nasional Jerman ke Praha pada 1 September 2017 berakhir memalukan. Bukan karena hasil pertandingan (Jerman menang 2-1 atas Republik Ceko), melainkan karena tindakan sekelompok kecil pendukung Jerman, sekelompok neo-Nazi yang menemukan jalan masuk ke Eden Arena hari itu.
Mereka membuat kegaduhan saat satu menit mengheningkan cipta digelar, menjelang sepak mula. Namun itu tidak ada apa-apanya ketimbang kegaduhan yang mereka timbulkan menjelang laga berakhir.
Karena Jerman mengantungi keunggulan sementara, para pendukungnya meneriakkan chant “Sieg!” (menang, jaya). Oleh para neo-Nazi yang juga hadir di tempat, chant tersebut dijawab: “Heil!”, mengubah dukungan terhadap tim nasional yang sedang bertanding menjadi hormat kepada Adolf Hitler.
Teriakan tersebut terdengar oleh para pemain di lapangan. Mereka, yang selalu memberi penghormatan kepada pendukung selepas laga, menolak untuk menghampiri para suporter tandang dan langsung masuk ke ruang ganti.
“Kami tidak akan pernah menolerir teriakan-teriakan fasis, rasis, menghina, atau homofobik,” ujar Kepala DFB, Reinhard Grindel, kepada AFP. Grindel memuji sikap para pemain.
“Chants itu buruk sekali, malapetaka,” ujar kapten Jerman di pertandingan tersebut, Mats Hummels, sebagaimana dikutip dari Deutsche Welle. “Kami menjauhkan diri dari hal itu. Kami tidak mau berurusan dengan hal semacam itu. Saya minta maaf (karena tidak memberi penghormatan) kepada yang tidak ikut meneriakkan chant itu… Kami tidak butuh omong kosong seperti itu di pertandingan kami.”
Klub-klub Jerman menunjukkan sikap tegas terhadap segala bentuk diskriminasi dari tribun. Borussia Dortmund, misalnya, sudah sejak lama melarang Borussenfront memasuki Westfalenstadion. Klub-klub lain juga secara tegas menunjukkan penolakan, terutama terhadap fasisme dan kelompok neo-Nazi -- walau satu-dua individu, yang tak terafiliasi dengan kelompok terlarang, tetap saja bisa ditemui di tribun.
Di pertandingan-pertandingan tim nasional, hal semacam ini lebih sulit dikontrol. Terutama di pertandingan-pertandingan tandang, di mana neo-Nazi tak harus membeli tiket pertandingan dari DFB. Ini yang terjadi di Praha. Karena pertandingan domestik sulit ditembus, neo-Nazi mencari panggung di laga-laga tandang internasional.
***
Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei, atau Partai Buruh Nasional-Sosialis Jerman, atau Partai Nazi, didirikan pada 24 Februari 1920. Partai Nazi sudah bubar pada 10 Oktober 1945 namun nilai-nilainya, yang mengerikan itu, tetap tinggal. Pengaruhnya masih terasa, termasuk di sepakbola.
Komentar