Dikirim oleh: Dandy Idwal Muad*
Kami cuma punya bola; itupun paling banyak cuma dua. Kalau lapangan, jangan ditanya. Kami benaran tak punya.
Kami bermain bola di pantai. Tapi jangan bayangkan kalau itu adalah aktivitas yang indah, seperti yang ada di televisi. Kami tak bisa bermain sampai air laut surut. Kami harus menunggu di teras rumah teman sembari berbincang soal sepakbola. Biasanya kami menghabiskan waktu dengan menggosipkan perpindahan pemain.
Dulu, ada seorang teman yang selalu bercerita menggebu-gebu. Akhir-akhir ini penulis baru tahu kalau ia keliru. Ia pernah bercerita kalau Cristiano Ronaldo telah kembali ke Manchester United. Untuk meyakinkan kami semua, ia mengutip pertanyaan Rooney yang kira-kira seperti ini, âBertahun-tahun menunggu Ronaldo kembali, akhirnya ia datang hari ini.â
Sontak para pendukung Manchester United riang gembira, sedangkan para pendukung Madrid sedih sembari bergumam, âDuh, bakal jadi apa Madrid setelah ini.â
Kami bukannya mudah dibodohi. Hanya saja kami amat sulit mengakses informasi. Â Akses internet memang masih terbatas di Pulau Hunian kami yang bernama Pulau Sapudi.
Pulau Sapudi berada di sebelah timur pada gugusan Pulau Madura. Â Pulau Madura bukan hanya tentang satu pulau, masih ada 77 pulau selain Pulau Madura. Butuh sekitar tiga jam perjalanan laut dari ujung timur Pulau Madura menuju Pulau Sapudi dengan menggunakan perahu kayu. Bila beruntung, warga bisa menggunakan kapal feri yang jadwal keberangkatannya dua kali dalam seminggu. Bisa juga berangkat dari Pelabuhan Jangkar di Situbondo dengan perjalanan laut sekitar empat jam.
Informasi hanya bisa didapat dari siaran televisi, itu pun terbatas hanya pada malam hari. Siang hari tak ada aliran listrik di sini. Pada malam hari pun sebenarnya listrik sering padam. Para penduduk di Pulau Sapudi pun sudah hafal penyebabnya: kalau tidak mesin dieselnya rusak, ya solarnya yang habis, karena perahu pengangkut solar tak bisa berlayar terhadang badai.
Totalitas untuk Sepakbola
Selama hidup di Sapudi, saya bisa mengatakan bahwa turnamen sepakbola jauh labih meriah ketimbang karapan sapi. Bukannya meremehkan karapan sapi yang telah menjadi budaya di Pulau Madura, tapi karena memang begitu adanya.
Di barisan penonton, selalu ada perwakilan dari tiap desa, walau yang bermain bukanlah kesebelasan dari desa mereka. Ini menjadi mungkin karena cuma butuh dua jam untuk mengelilingi seluruh Pulau Sapudi dengan sepeda motor, meski jalan aspalnya sebagian sudah berlubang.
Masyarakat Sapudi menggemari sepakbola dengan begitu khidmat. Misalnya saat keesokan harinya akan bertanding, malam harinya semua pemain berkumpul di rumah pelatih, banyak ritual yang harus dilakukan.
Sebelum bertanding, semua pemain dan manajer mengaji. Setelah tahlilan, lalu dimulailah pembacaan doa. Khusus buat kiper ia biasanya meneteskan ramuan khusus ke matanya yang diayakini jeli melihat laju bola. Para pemain mengikatkan sebuah untaian benang di pergelangan tangan kirinya. Sebagai penutup, ada pengarahan dari dukun tim tentang teknis sebelum memasuki lapangan. Sehingga, bila sepakbola modern menyatakan bahwa sebuah tim ada 12 pemain (termasuk suporter), tim desa kami sedikitnya 13 pemain, termasuk dukun.
Cuma satu lapangan yang tidak becek jika turun hujan di Pulau Sapudi, karena tanahnya berpasir. Lapangan ini milik desa sebelah yang menjadi andalan bila akan digelar turnamen antar desa di Pulau Sapudi. Para penonton harus membayar tiket sebesar lima ribu rupiah untuk bisa masuk ke lapangan yang dikelilingi oleh lapangan bambu tersebut. Pembatas antara garis lapangan dengan penonton hanyalah sebuah jaring dengan tinggi se-dada.
Harapan untuk memiliki lapangan sepakbola rumput di desa kami kian pupus setelah urbanisasi tak terkendali. Bagaimana caranya membangun lapangan baru jika sebagian besar remaja pergi ke kota untuk bekerja. Di desa, kian sulit mencari lapangan pekerjaan. Uang hanya berkutat di kota.
Pelatih sepak bola desa kami yang pernah berniat mengorbankan sawahnya untuk lapangan sepak bola bertanya, âSiapa yang akan bermain? Sebulan lagi kalian cari kerja ke Jakartaâ. Pertanyaan ini dilontarkannya saat lebaran, ketika kami mudik ke desa dan ingin bermain di lapangan rumput.
Berakhir di Pantai
Saat air laut surut, kami segera membawa bola plastik untuk mulai bermain. Di hamparan pasir yang begitu luas, kami sudah begitu hafal kontur pasir di pantai ini.
Kami biasanya bermain bola plastik yang mesti dilubangi agar tak pecah seketika. Terkadang kami pun memiliki bola kulit, yang bisa memantul lebih banyak, dan tak terganggu angin. Tapi bola kulit ini nasibnya tak pernah lama, selalu hilang entah diambil siapa.
Saat air laut mulai pasang, permainan pun berhenti. Di malam hari, kami mencari kerang dan kepiting di tempat kami bermain bola itu. Tidak ada tawa dan teriakan-teriakan lagi, karena malam di sini amatlah sunyi.
Kami sangat berharap dengan adanya dana desa yang diatur melalui Undang-Undang Desa membuat lapangan pekerjaan di desa melimpah. Sehingga, masyarakat desa khususnya yang berada di Pulau Sapudi tak perlu berdesak-desa ke kota dan tinggal di bangunan sempit. Mereka bisa menikmati kesegaran udara desa dan sepak bola dengan segala keunikan ritualnya.
Tentu tidak berhenti di penyediaan lapangan pekerjaan, tapi juga harus dilanjutkan pada pembangunan lapangan sepak bola. Idealnya, satu desa ada satu lapangan sepakbola. Kami memang sedang gelisah dengan kenyataan bahwa Pulau Sapudi hanya meriah saat lebaran, dengan para perantaunya yang bermain sepak bola, lalu senyap hampir satu tahun. Atau, lapangan pekerjaan itu berupa bisnis sepak bola? Ah, kami belum memikirkan itu.
*Penulis merupakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, berakun twitter @dandyidwal
foto: wikipedia.
Komentar