Font size:
Karya Bayu Adi Persada
Siang itu cuaca di pusat kota Manchester cukup nyaman. Meski terhitung masih musim panas, terik matahari hampir tak terasa. Panas matahari diredupkan oleh semilir angin yang sejuk. Cuaca seperti ini serupa undangan bagi warga kota keluar rumah untuk berbagai keperluan: belanja, makan siang dengan keluarga, atau sekadar berjalan-jalan di taman. Sebagian yang lain, termasuk saya, antusias menikmati cuaca yang sangat bersahabat itu dengan menonton pertandingan sepakbola. Saya masih setia menunggu bis di sebuah halte kecil. Karena hari itu akhir pekan, tak banyak bus yang beroperasi. Jadi para calon penumpang mesti sabar menunggu. Ketika bis yang ditunggu akhirnya merapat juga, saya masih harus bertanya pada supir bis untuk meyakinkan destinasi. “Are you passing the Broadhurst Park?” yanya saya. Supir itu tak langsung menjawab, ia mencoba mengingat-ingat sejenak. Lalu ia menjawab: “Yes. But you need to take a walk around the green field.” “No problem,” balas saya. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore lewat beberapa menit saat saya sudah berjalan menuju stadion. Suara riuh suporter sudah mulai terdengar jelas. Pertandingan pasti sudah dimulai. Saya lekas mempercepat langkah agar tak terlalu banyak ketinggalan pertandingan seru itu. Tak lupa mengeluarkan syal kebanggaan dari dalam tas dan mengalungkannya di leher. Bagaimana saya mendapatkan syal ini punya cerita tersendiri. Alkisah dua bulan lalu, saya sempat mengunjungi Broadhurst Park. Ternyata stadion masih dalam pembangunan dan pengunjung dilarang masuk. Tak ingin pulang dengan tangan hampa, saya mencoba mengelilingi stadion untuk mencari tempat membeli souvenir. Di jalan, saya bertemu dengan seorang lelaki paruh baya dengan syal klub di lehernya. Spontan saja saya bertanya, “Excuse me, Sir. Could you tell me where to buy the club’s souvenir?” “Well, there’s no official store to be honest,” jawabnya. Saya merasa agak kecewa sambil menceritakan maksud kedatangan saya. “But you can follow me to the stadium,” katanya mencoba memperlihatkan jalan keluar. Pria ini jadi bukti bahwa sebagian besar orang Inggris memang ramah. Tak disangka, ia justru mengajak saya masuk ke area stadion. Menjaga jarak dengan konstruksi bangunan, ia menceritakan sedikit tentang sejarah stadion ini dan bahkan mengundang saya untuk datang ke pertandingan pembukaan melawan Benfica di bulan Mei. Setelah bicara beberapa saat, saya baru sadar ternyata dia adalah salah satu penggagas klub dan memang tengah mengontrol pembangunan stadion! Mengakhiri pertemuan kami, tiba-tiba dia melepas syalnya lalu memberikannya pada saya. “Take it. Now you’re officially a fan!” Sumringah sekali saya menerimanya. “I guess I may be the first Asian fan of this club!” balas saya bersemangat. “Most possibly,” jawabnya singkat sambil tertawa. Begitulah cerita lain perihal bagaimana saya bisa mendapatkan syal yang sekarang sudah melingkar di leher. Saya sendiri memang terlambat datang. Pertandingan sudah dimulai. Sampai di depan stadion, beberapa gerbang masuk sudah tertutup. Kemudian, seorang petugas berompi kuning menunjukkan arah gerbang masuk yang masih dibuka. “Over there,” sahutnya sambil menunjuk sisi utara stadion. Membayar hanya 9 pounds (sekitar 200 ribu rupiah), saya dipersilakan masuk melalui sebuah pintu berputar kecil. Tak ada tiket dan pengecekannya. Maklum, yang saya tonton bukanlah klub tenar dan kaya seperti Manchester United atau Manchester City. Sampai di dalam, suporter di tribun barat tak henti-hentinya bersahut “All hate Glazer! All hate Glazer!” Ya, hari itu saya berada di stadion Broadhurst Park, kandang FC United of Manchester, (FCUM) sebuah kesebelasan kecil yang didirikan oleh, dari dan untuk para pendukungnya. Kesebelasan ini didirikan oleh para suporter fanatik nan tradisional dari Manchester United. Didirikan pada 2005, FCUM menjadi jalan keluar atas kemuakan suporter fanatik Setan Merah terhadap kebijakan Man United yang terlalu mengomersilkan Setan Merah dengan meninggikan harga tiket dan mengganti jadwal pertandingan seenaknya demi keuntungan finansial dari televisi. Mereka juga risih dengan para suporter “baru” yang hanya duduk di stadion tanpa passion mendukung klub. Juga, dan terutama, karena tak suka kesebelasan kesebelasan yang sudah mereka dukung sejak kecil, sejak kakek buyutnya, tiba-tiba saja dimiiki oleh orang asing yang jelas hanya berpikir bisnis dan tak peduli dengan ingatan dan sejarah. Dibeli dengan hutang pula, sehingga suporter yang akhirnya harus membayar hutang itu melalui tiket dan berbagai merchandise. (Baca: Hutang-hutang Malcolm Glazer) “We feel that’s enough!” tutup seorang suporter yang menceritakan cerita singkat berdirinya FCUM.Kami pernah menuliskan hal ini secara khusus. Untuk mengetahui riwayat berdirinya FCUM, simak artikel kami: Warisan Terbesar Malcom Glazer adalah FC United of Manchester.Bagi mereka, para pendiri FCUM, bukan mereka yang telah meninggalkan Man United. Tapi justru Man United-lah yang telah meninggalkan identitasnya, dan dengan demikian juga meninggalkan para suporter fanatik yang menganggap Man United lebih dari sekadar kesebelasan sepakbola, lebih dari sekadar tambang uang -- namun darah, DNA, ingatan, identitas dan sejarah keluarga. Hari itu, ada ratusan pertandingan serentak dilaksanakan di berbagai penjuru Inggris. FC United, julukan klub, bertanding di level National League North. Kalau dilihat dari piramida sepakbola Inggris, liga ini berada di level ke 6 - atau kedua dari bawah. Saya bebas berdiri di mana saja, bahkan bisa berjalan mengelilingi stadion yang hanya berjarak dua langkah dari garis lapangan. Pemandangan yang biasa di stadion-stadion Inggris juga tampak di sini. Mulai dari anak kecil hingga orang-orang tua turut menikmati jalannya pertandingan. Hampir semua dari mereka mengenakan syal, topi, atau jersey kebanggaan FC United. Tempat duduk hanya disediakan di tribun utama. Itupun jumlahnya amat terbatas dan memang sepertinya dikhususkan untuk para suporter yang berusia lanjut dan keluarga. FCUM berdiri dengan prinsip kepemilikan bersama oleh setiap suporter dan menjamin akses menonton sepakbola yang murah bagi semua. Dan itu benar-benar terasa di dalam stadion berkapasitas 4400 orang ini. Memang hanya dua tribun yang terbangun, tapi atmosfir di dalamnya jelas tak kalah dengan Old Trafford atau Etihad Stadium.



Mau memiliki klub? Baca artikel ini: Cara Mudah dan Murah Menjadi Pemilik Klub Sepakbola.Fondasi tentang sepakbola dari, oleh dan untuk suporter telah kental di sini. Suporter mendukung klub bukan karena popularitas atau pemain bintang. Rasa kepemilikan itulah yang menjadi perekat mereka, seperti sepasang suami istri berusia lanjut tadi. “We want to play against United in the Premiership!” ujar seorang suporter tentang mimpinya untuk FC United.
Penulis seorang penggemar bubur ayam dan teh tawar yang sedang melanjutkan studi pascasarjana di University of Manchester, Inggris. Hatinya tertambat untuk La Vecchia Signora. Akun twitter: @adipersada. Foto-foto hasil jepretan penulis sendiri.