Ketika Jersei Klub Lebih Berat dari Lambang Garuda

Ketika Jersei Klub Lebih Berat dari Lambang Garuda
Font size:

"Satu Blunder, Dua Takdir" adalah cerminan ironi paling nyata dalam denyut nadi suporter sepak bola Indonesia. Blunder atau kesalahan adalah elemen paling manusiawi dalam olahraga; tak ada satu pun pemain di dunia yang luput darinya. Namun, di panggung timnas Garuda, satu kesalahan yang sama bisa melahirkan dua narasi yang bertolak belakang.

Bagi seorang pemain, blunder itu menjadi dosa abadi, vonis kejam yang dijatuhkan tanpa pengadilan di riuhnya media sosial. Cacian, hujatan, hingga label "pemain titipan" disematkan tanpa ampun. Sementara bagi pemain lain yang melakukan kesalahan serupa, blunder itu hanyalah angin lalu—sebuah kekhilafan yang wajar, dimaafkan dengan dalih "sudah berjuang maksimal", bahkan tak jarang ditutupi dengan sanjungan atas performa lainnya.

Takdir seorang pemain pasca-blunder ternyata tidak ditentukan oleh fatalnya kesalahan, melainkan oleh faktor lain yang lebih irasional. Faktor irasional itulah yang terangkum dalam kalimat: "Ketika jersei klub lebih berat dari lambang Garuda". 

Inilah akar dari standar ganda yang terjadi. Ternyata, saat seorang pemain mengenakan seragam merah putih dengan lambang Garuda di dada, banyak suporter yang tidak benar-benar melihat lambang itu. Mata mereka, yang telah bertahun-tahun terkondisikan oleh rivalitas sengit liga domestik, secara bawah sadar masih melihat warna lain: biru Persib, oranye Persija, atau hijau Persebaya.

Loyalitas buta dan sentimen primordial terhadap klub inilah yang menjadi kacamata penghakiman. Ketika pemain dari klub rival melakukan kesalahan, itu adalah pembenaran atas kebencian. Namun, ketika pemain dari klub idola yang melakukan blunder, naluri membela mengambil alih segalanya.

Pada akhirnya, judul di atas adalah sebuah kritik pedas bahwa persatuan kita sebagai pendukung timnas seringkali hanya sebatas ilusi. Di atas lapangan, para pemain mungkin sudah melebur menjadi satu demi Merah Putih, namun di tribune dan di linimasa, kita masih terkotak-kotak oleh warna kebanggaan kita masing-masing. Selama jersei klub masih lebih berat timbangannya daripada lambang Garuda di dada, maka jangan heran jika "musuh" terbesar timnas bukanlah negara lawan, melainkan perpecahan yang kita ciptakan sendiri.

Dikubur oleh Kebijakan Instan Federasi

Ragnar Oratmangoen timnas Indonesia vs Arab Saudi

Layar kaca kembali menjadi saksi bisu. Di sana, di atas rumput hijau yang seharusnya menjadi panggung kejayaan, terhampar sebuah narasi yang terlalu akrab bagi kita: harapan yang membuncah, lalu terhempas tanpa sisa.

Kekalahan 3-2 dari Arab Saudi bukanlah sekadar angka di papan skor; ia adalah sebuah vonis. Sebuah penegasan atas siklus kegagalan yang seolah takdir bagi sepak bola negeri ini. Dan ketika giliran Irak datang membungkam sisa-sisa asa, lengkap sudah elegi ini. Piala Dunia 2026, lagi-lagi, hanyalah sebuah utopia. Sebuah festival megah di mana kita kembali ditakdirkan menjadi penonton setia.

Mari kita lakukan autopsi atas dua kekalahan yang meruntuhkan mimpi ini. Dimulai dari laga kontra Arab Saudi, sebuah pertunjukan anomali taktik yang dipentaskan oleh sang nakhoda, Patrick Kluivert. Entah bisikan apa yang merasuki pikirannya, ia dengan percaya diri membongkar fondasi pertahanan yang sudah terbukti solid sejak era Shin Tae-yong.

Tiga pilar kokoh—Rizki Ridho, Jay Idzes, dan Justin Hubner—yang menjadi garansi keamanan di lini belakang, tiba-tiba dipinggirkan. Sebagai gantinya, formasi dengan dua bek tengah dipaksakan, meninggalkan ruang menganga yang dengan senang hati dieksploitasi lawan.

Keanehan tidak berhenti di situ. Di lini tengah, Marc Klok seolah mendapat jimat kekebalan. Bermain buruk sejak peluit pertama dibunyikan, kehilangan bola menjadi rutinitas, dan umpan akurat menjadi barang langka. Puncaknya adalah sapuan bola tanggung yang menjadi asistensi manis bagi gol lawan. Di tim manapun di dunia, performa seperti itu adalah tiket sekali jalan menuju bangku cadangan. Namun, di timnas kita, itu adalah garansi bermain penuh selama 90 menit. Sebuah keputusan yang lebih mirip misteri ketimbang strategi.

Lalu ada Beckham Putra, debutan bernomor punggung 7 yang diharapkan menjadi pembeda, justru tenggelam. Postur mungilnya dilumat oleh bek-bek Arab Saudi yang menjulang. Ia sering kehilangan momentum, kehilangan bola, seolah panggung ini terlalu besar untuknya saat itu. Yakob Sayuri pun tak lebih baik, melengkapi derita dengan "hadiah" penalti untuk lawan. Malam itu, kita tidak hanya kalah skor, kita kalah karena pilihan-pilihan ganjil sang pelatih.

Namun, menyalahkan Kluivert dan sebelas pemain di lapangan sepenuhnya adalah sebuah kemewahan berpikir yang naif. Mereka hanyalah gejala, bukan penyakit utamanya. Penyakit sesungguhnya jauh lebih kronis, mengakar pada kompetisi domestik kita yang rapuh dan tak bernyawa.

Inilah kalimat pragmatis yang harus kita telan: bagaimana kita bisa menuntut konsistensi level dunia dari pemain yang setiap pekannya bertarung di liga yang kualitasnya masih menjadi perdebatan? Kita tidak bisa mengharapkan pemain tampil selevel Son Heung-min jika panggung mingguan mereka hanyalah kompetisi yang inkonsisten.

Faktanya, kita tidak punya ekosistem yang sehat. Pengembangan usia muda berjalan sporadis dan tanpa arah yang jelas. Pemain muda berbakat lebih sering menjadi penghangat bangku cadangan di klubnya, kalah saing dengan pemain senior atau asing.

Tidak ada sistem kompetisi berjenjang yang solid di bawah Super League, yang membuat menit bermain menjadi barang mewah yang langka bagi talenta lokal. Mimpi bermain di Piala Dunia itu dibangun dari ribuan jam terbang di kompetisi domestik yang sehat dan kompetitif, bukan dari program naturalisasi dan pemusatan latihan jangka pendek.

Parahnya lagi, regulasi terbaru dari federasi seolah menjadi paku terakhir di peti mati perkembangan pemain lokal. Izin mendaftarkan 11 pemain asing, dengan 6 di antaranya bisa bermain bersamaan, adalah sebuah karpet merah bagi legiun impor dan surat pengusiran halus bagi anak-anak bangsa. Logika macam apa yang dipakai?

Di satu sisi kita berteriak ingin lolos ke Piala Dunia, di sisi lain kita secara sistematis membatasi ruang tumbuh bagi para pemain yang akan mengisi skuad tim nasional itu sendiri. Kita sibuk menghias ruang tamu dengan furnitur impor yang mahal, sementara fondasi rumah kita sendiri dibiarkan keropos dan lapuk dimakan zaman.

Melawan Kemustahilan 2.0 (vs Irak)

Timnas Indonesia vs irak

Maka, ketika kekalahan dari Arab Saudi disusul oleh kegagalan (yang sudah bisa diprediksi) melawan Irak, tidak ada lagi rasa terkejut. Di atas kertas, Irak memang superior. Mereka datang dengan skuad yang lebih matang, produk dari kompetisi yang lebih sehat. Sementara kita? Kita datang dengan luka dari kekalahan sebelumnya dan masalah fundamental yang tak kunjung terobati.

Kita hanya mengulang cerita yang sama, sebuah lingkaran setan yang tak kunjung putus. Memang strategi yang dijalanakan Kluivert sangat berbeda saat melawan Irak, permainan di 10 menit pertama terasa selalu menjanjikan, lini tengah terlihat lebih siap menahan gempuran, begitupun lini pertahanan yang katanya lebih tenang karena kehadiran Rizky Ridho.

Tapi Indonesia tidak lagi memiliki striker tajam layaknya Kurniawan Dwi Yulianto, Ilham Jaya Kusuma, Boaz Solossa dan Bambang Pamungkas, sehingga kuatnya pertahanan dan lini tengah tidak diimbangi finishing klinis dari striker kita. Skor 0-0 bertahan sampai menit ke-75, sebelum ‘si pemberi ketenangan’ melakukan kesalahan dan bola berhasil di curi pemain Irak, yang akhirnya menjebol gawang Indonesia melalui penetrasi dan sepakan akurat dari Zidane Iqbal. Selesai sudah.

Inilah puncak dari segala kepalsuan. Federasi kita terlalu silau dengan kilau prestasi instan. Naturalisasi dianggap sebagai jalan pintas di atas segalanya, sebuah solusi magis yang bisa menutupi semua borok di dalam sistem. Pembinaan usia dini yang seharusnya menjadi kitab suci, kini tak lebih dari sekadar bab pelengkap yang jarang dibuka. Mereka lebih sibuk mencari jalan pintas di ujung pelangi, padahal jalan aspal di depan mata pun belum selesai dibangun dengan benar.

Selama kebijakan yang lahir dari ruang-ruang ber-AC itu masih buta terhadap kebutuhan riil di lapangan, selama itulah mimpi kita akan terus dibunuh bahkan sebelum ia sempat tumbuh. Dan kita, para suporter, akan selamanya terjebak dalam siklus ini: berharap, dikecewakan, lalu berharap lagi.

 

- Penulis @edwinardibrata (X dan Instagram)

Spirit Dembele dan Potret Umum Talenta Muda Masa Kini
Artikel sebelumnya Spirit Dembele dan Potret Umum Talenta Muda Masa Kini
Artikel selanjutnya
Artikel Terkait