Liga Indonesia Berganti Wajah, Tapi Masalah Masih Sama

Liga Indonesia Berganti Wajah, Tapi Masalah Masih Sama
Font size:

Kompetisi sepak bola Indonesia sudah hadir dengan wajah baru. Super League, dengan identitas visual yang mengusung semangat profesionalisme dan modernisasi. Perubahan ini semula diharapkan menjadi langkah positif dalam tata kelola kompetisi nasional. Namun seiring jalan, persoalan klasik masih muncul: tunggakan gaji pemain serta larangan suporter tandang yang belum juga dihapus.

Berdasarkan laporan APPI (Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia) jelang musim bergulir, terdapat empat klub Super League yang menunggak gaji 15 pemain dengan total mencapai 4,3 miliar rupiah. Meskipun jumlah tersebut bisa dibilang tidak lebih besar dari musim-musim sebelumnya, angka itu tetap menjadi cerminan lemahnya tata kelola keuangan di sejumlah klub sepak bola profesional Indonesia yang tidak pernah berubah.

Penunggakan gaji pemain, tidak dapat dipisahkan kepada permasalahan klasik, kerugian finansial setiap klub sepak bola di Indonesia. Meskipun kita tidak dapat melihat transparansi setiap klub, namun dalam tiap laporan dan diskusi, belum ada yang cakap mengatakan “untung” saat terjun dalam industri sepak bola nasional.

Menilik berbagai sumber finansial klub sepak bola di berbagai negara, terdapat setidaknya beberapa pilar penting yakni, sponsor, pendapatan hak siar, penjualan merchandise, hingga tiket pertandingan. Di Indonesia sendiri kita bisa melihat tak semua pilar sudah berjalan optimal, bahkan mungkin ada yang belum dapat berjalan sama sekali.

Berkurangnya Pemasukan dari Suporter Tandang

Bonek Kulonuwon Jakmania - Bolacom

Salah satu hambatan terbesar menjelang bergulirnya kompetisi yang katanya super, adalah larangan suporter tandang. Direktur Utama I.League, Ferry Paulus, beralasan bahwa larangan tersebut langsung diberikan oleh FIFA. Namun, hingga kini tidak ada statement resmi dari otoritas tertinggi sepak bola Internasional tersebut, begitu juga dengan transparansi surat resminya.

Hal tersebut merupakan tamparan telak bagi pihak penyelenggara serta setiap klub sepak bola Indonesia. Sebab, larangan tersebut berdampak kepada match revenue terhadap pendapatan, serta faktor-faktor lain seperti daya tarik atmosfer kompetisi itu sendiri serta melemahnya hubungan basis antar suporter.

Padahal, di berbagai liga dunia, laga tandang justru menjadi kesempatan bagi klub untuk memperluas pasar, memperkuat relasi dengan basis suporter luar kota, menambah eksposur media, hingga mendongkrak nilai sponsor lokal. Hal tersebut jelas berimplementasi terhadap kerugian finansial klub.

Kompetisi yang kompetitif setiap musimnya, memerlukan pemain yang berkualitas, kualitas pemain tentunya didasari dengan harga yang sebanding pula. Berbicara tentang market value pemain Liga 1 Tidak dapat dimungkiri jika para pemain memiliki nilai yang fantastis, tidak hanya pemain asing, bahkan untuk pemain lokal. Bahkan, ada yang berada di level yang tidak jarang lebih tinggi dari kualitas yang ditawarkan di lapangan, terutama yang berlabel timnas serta kaya menit bermain. Belum lagi jika berbicara bayaran per bulan.

Ancaman Hilangnya Identitas Klub

bobotoh-persib-gbla-Jabar Express

Dengan seluruh beban finansial yang dihadapi pihak klub, tentunya kebijakan larangan suporter tandang sangat mendiskreditkan pihak pengelola, menambah beban serta tindakan yang harus dipikirkan guna bisa bertahan. Sudah saatnya pihak federasi beserta operator liga, membuka mata untuk kesadaran akan krusialnya kebijakan tersebut.

Jika memang larangan tersebut merupakan arahan FIFA, sudah sangat penting untuk melayangkan statement atau surat resminya ke permukaan, serta segera mungkin melaksanakan mediasi serta negosiasi. Bukan hanya demi menjaga atmosfer kompetisi, tetapi juga untuk memastikan jalur pemasukan klub tidak semakin terhimpit.

Bagi klub, pembatasan seperti ini mengurangi salah satu jalur pemasukan yang dapat membantu menutup beban operasional. Dengan biaya gaji tinggi dan pemasukan stagnan, siklus masalah menjadi jelas: pemasukan terpangkas, beban tetap tinggi, tunggakan gaji pun terjadi.

Kita tidak ingin lagi melihat klub kebanggaan kita, terseok-seok di tengah musim, menunggak kewajiban pemain serta ofisial, bahkan hingga hilang menjadi klub lain tanpa identitas yang jelas, yang penyebab utamanya  adalah masalah finansial, terputus dari akar sejarah dan basis budaya suporternya.

Penulis: Riro Adnan (@Riroadnans)

Ketika Jersei Klub Lebih Berat dari Lambang Garuda
Artikel sebelumnya Ketika Jersei Klub Lebih Berat dari Lambang Garuda
Artikel selanjutnya
Artikel Terkait