Pada pagi yang teduh, sekitar pukul delapan di lapangan ABC, kawasan GBK Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (21/11/2020), Ricky Yacobi berlari ke sana ke mari mencari celah kosong di luar kotak penalti. Ia menerima umpan bola pendek dari rekan satu timnya, mengontrol bola dengan sentuhan kaki kirinya dan langsung memutarkan tubuhnya serong ke arah kanan.
Tanpa ragu, ia menghujam tembakan keras ke sudut kiri bawah gawang, menggunakan kaki kanan yang berbalut sepatu Specs berwarna merah-putih bergambar burung garuda. Bola melesat cepat ke dalam gawang tanpa bisa dijangkau kiper yang sudah mencoba melompat sekuat tenaga menggapai, dan…. terjadilah gol cantik.
Ia wafat dengan cara yang diam-diam diidamkan banyak pemain sepak bola. Pria kelahiran Medan tersebut tumbang dengan wajah mencium rumput lapangan, sesaat setelah mencetak gol indah dari luar kotak penalti dan merayakannya dengan mengenakan nomor punggung kesayangannya: sembilan. Tak ada yang menyangka, hari itu menjadi pertandingan, gol, dan selebrasi terakhirnya dalam usia 57 tahun. Ya, hari ini, lima tahun yang lalu, Ricky berpulang dan meninggalkan banyak kenangan.
Babak 1: Sebuah Pertemuan
Perkenalan saya dengan Ricky dimulai dengan membaca berita tentangnya di sebuah koran. Pada 1981, saya masih kelas 1 SMA dan bermain di klub kampung bernama Bekasi Putra yang dilatih oleh Suwandi Simon. Sementara, Ricky telah bergabung dengan PSMS Medan. Ketajamannya sebagai striker muda berbakat mulai terlihat sejak ia membawa PSMS Junior menjuarai Piala Suratin 1980 sekaligus menjadi pemain terbaik.
Secara pribadi pertemuan saya pertama dengan pesepakbola Indonesia pertama yang bermain di Negeri Matahari Terbit tersebut baru terjadi lima tahun kemudian saat pertandingan Arseto Solo vs Pelita Jaya pada Liga Galatama 1986 di Stadion Sriwedari, Solo, Sabtu (11/10/1986).
Di laga itu, kami punya satu kesamaan: saya baru saja pindah dari klub Warna Agung ke Pelita Jaya, sementara Ricky dari PSMS Medan ke Arseto Solo. Di tengah sorak-sorai 6.000 penonton, wasit Said Ismail dari Yogyakarta yang memimpin pertandingan menjalankan tugasnya secara sportif dan intens, meski tiga kartu kuning dikeluarkan bagi dua pemain Pelita Jaya dan satu pemain Arseto (Kompas, 28/10/86, Red).
Namun, duel yang paling epik dengan Ricky justru terjadi ketika Pelita Jaya melakukan laga kandang melawan Arseto Solo pada Liga Galatama 1987 di Stadion Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu, Pelita Jaya, Arseto Solo, dan Krama Yudha Tiga Berlian, memang sedang berkejar-kejaran poin memperebutkan gelar juara Galatama VII.
Pelatih saya saat itu, Benny Dollo (Bendol), memberikan tugas khusus: mengadang, menutup, dan memotong setiap gerakan yang dilakukan Ricky. Coach Bendol mengingatkan, jangan sampai legenda timnas di era 1980-90-an tersebut diberikan sedikit pun ruang untuk berkeliaran masuk ke dalam kotak penalti karena kecepatan, liukan kedua kakinya, dan kepalanya yang sangat berbahaya, bisa berujung gol. Baik dengan tendangan geledek yang sama kuat dari kaki kanan maupun kiri dan heading bola ke pojok gawang yang menjadi andalannya.
Maklum, saat itu Ricky adalah striker paling ditakuti berkat insting golnya yang di atas rata-rata striker lainnya dan terbukti menjadi top skor di kompetisi Galatama VII. Sepanjang pertandingan tersebut, di hadapan riuh 10.000 penonton, kami saling terlibat bentrok dan cekcok. Saya bermain cukup keras karena beberapa kali berhasil menjatuhkan Ricky dengan tekel bersih ke kakinya. Sebaliknya, ia juga berkali-kali mengelabui saya sampai terjatuh-jatuh dengan gocekan mautnya. Pertandingan pun berakhir dengan kemenangan Pelita Jaya.
Babak 2: Tragedi TC Hongkong
Saya mulai cukup akrab dengan Ricky saat sama-sama memperkuat timnas Indonesia. Sejak 1986 sampai 1992, kami suka keluar-masuk timnas. Ada satu cerita yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup saat kami menjalani TC (training centre) tiga pekan di Hong Kong untuk persiapan kualifikasi Piala Asia yang berlangsung 19-26 April 1992 di Singapura.
Saat itu, kompetisi Galatama sedang libur dan bertepatan dengan bulan puasa. Kami menginap di Hotel Royal Park, dan setiap hari berlatih di Hong Kong Sports Institute yang berjarak sekitar 3km dari hotel, persis di tepi sungai Shing Mun yang sesekali bau menyengatnya tercium hingga menusuk hidung.
Setelah dua minggu latihan dan dua kali melakukan uji coba melawan tim lokal divisi 1 seperti Sim Tao yang berakhir imbang 0-0 dan 1-1 dengan Hong Kong FC, kami para pemain merasa tidak diperhatikan oleh PSSI. Hal itu memicu aksi mogok latihan sebagai bentuk protes.
Kami semua kompak menolak untuk datang ke tempat latihan, kecuali tiga kiper —Eddy Harto, Erick Ibrahim, dan Benny van Breukelen—serta satu pemain, Aji Santoso, yang tetap berlatih. Apa alasannya? Ada dua tuntutan yaitu terkait masalah terbatasnya perlengkapan latihan dan kurang pantasnya makanan yang disediakan.
Jika tak salah ingat, sejak awal kedatangan para pemain berlatih tanpa menggunakan seragam resmi dan hanya memakai pakaian seadanya, bahkan bukan seragam baru. Kami meminta seragam tambahan ke ofisial karena cuaca di Hong Kong sangat dingin, apalagi tim PSSI U-19 tahun yang juga sedang berlatih bersama PSSI senior di Hong Kong justru mendapat perlengkapan yang semuanya serba baru, padahal kami membela timnas yang sama.
Minimnya perlengkapan latihan akhirnya menjadi masalah yang serius dan terus menjadi bahan obrolan antarpemain di meja makan. Bahkan, tiga hari sebelum mogok latihan, kiper keturunan Belanda yang satu klub dengan Ricky di Arseto Solo, Benny van Breukelen, terpaksa berlatih menggunakan sepatu kets karena sepatu sepak bolanya rusak parah, jebol di bagian depannya, seperti mulut buaya yang sedang menganga saat berjemur di tepian sungai.
Saat latihan, Benny sempat diomelin oleh pelatih Anatoli Polosin karena terus berlatih menggunakan sepatu kets. Ia tak bisa meminjam ke pemain lain karena tidak ada yang membawa sepatu cadangan. Karena, biasanya memang ada pembagian seragam dan sepatu baru saat mulai TC. Selain itu, Benny juga tidak tahu di mana mencari tukang sol sepatu di Hong Kong. Sementara, toko olahraga jaraknya cukup jauh jika ia ingin membeli sepatu baru di tengah jadwal latihan yang sangat padat setiap harinya.
Seminggu awal TC di Hong Kong, makanan di hotel masih layak dan bergizi sesuai kebutuhan atlet. Namun, seminggu sebelum aksi mogok latihan, jumlah lauk pauk yang sebelumnya ada empat sampai lima jenis, berkurang menjadi hanya dua per sekali makan dan sudah tidak memenuhi standar atlet. Bahkan, kami juga pernah sampai diberikan makan nasi kotak karena pihak hotel tidak menyediakan makanan.
Puncaknya, tercetuslah ide mogok latihan itu sebagai bentuk akumulasi kekecewaan para pemain termasuk Ricky. Suatu malam, Ricky mengumpulkan beberapa pemain di kamarnya untuk membahas masalah terbatasnya perlengkapan latihan dan hak pemain selama TC. Pemain dengan tinggi 177cm tersebut berencana melaporkannya langsung setibanya Polosin di Hong Kong. Pelatih asal dari Rusia itu memang belum hadir karena terkendala visa, sehingga selama dua minggu latihan dan uji coba dipimpin oleh asisten pelatih, Danurwindo.
Saat Polosin tiba di Hong Kong, Ricky langsung menyampaikan kekecewaan, kritik, dan aspirasi pemain, juga dihadapan pengurus timnas. Empat pemain menjadi wakil dalam dialog itu: Ricky Yacobi (Arseto Solo), Robby Darwis (Persib Bandung), Nasrul Koto (Arseto Solo), dan saya (Pelita Jaya). Setelah mendengar penjelasan, Polosin mengaku tak bisa berbuat banyak karena wewenangnya terbatas.
Namun, yang sedikit melegakan kami adalah Polosin menjanjikan bahwa wakil direktur timnas, Andi Darusallam Tabusallla, dijadwalkan akan datang ke Hong Kong pada 27 atau 28 Maret 1992 untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut. Kenyataannya sampai tanggal yang dijanjikan, sosok yang ditunggu tak pernah menampakkan mukanya.
Saya tidak tahu apakah Polosin benar-benar sudah menyampaikan keresahan kami ke PSSI. Yang saya tahu banyak pemain menjadi lebih kesal dan merasa diabaikan. Puncaknya, timbul aksi spontanitas tidak berlatih di Sabtu pagi yang sampai membuat pelatih Polosin mengamuk besar— meski pada sore harinya kami akhirnya kembali berlatih bersama lagi.
Entah siapa pihak atau pemain yang membocorkan kejadian ini. Aksi mogok latihan langsung membuat geger media nasional dan berbuntut panjang. Berita tersebar di mana-mana, hingga Ketua Umum PSSI yang baru pengganti Kardono, Azwar Anas pun sangat menyesali peristiwa tersebut. Ia memerintahkan Andi Darussalam sebagai penanggung jawab timnas untuk mencari bukti-bukti dan mengusutnya.
Setibanya di Jakarta pada 2 April 1992, saya dan ketiga pemain lain yang pernah menghadap Polosin “disidang” oleh pengurus PSSI yang diwakili oleh Andi Darussalam dan Ismet D. Tahir di hotel tempat kami menginap, Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. Saya sudah lupa apa saja yang ditanyakannya. Saya hanya ingat wawancara tersebut berlangsung dari sore sampai tengah malam.
Tiga hari kemudian, timnas diliburkan pada 5-8 April 1992 dalam rangka menyambut Hari Raya Idulfitri dan dijadwalkan kembali masuk pelatnas pada Kamis, 9 April 1992. Namun, saat masa libur, pada 6 April 1992, Badan Tim Nasional (BTN) memutuskan untuk mencoret saya, Ricky Yacobi, Robby Darwis, dan Nasrul Koto dari timnas. Berdasarkan hasil wawancara, kami dianggap telah melanggar aturan disiplin. Kami dikeluarkan dari timnas 2 hari sebelum Idulfitri dan 11 hari sebelum keberangkatan ke Singapura pada 17 April 1992 untuk kualifikasi Piala Asia.
Penjatuhan sanksi tidak berhenti sampai di situ. Seusai Idulfitri, saya mendapat kabar bahwa kasus mogok latihan juga bisa berimbas kepada penjatuhan skorsing yang akan diselesaikan oleh Panitia Disiplin PSSI yang dipimpin oleh Minang Warman SH. Pada Rabu (15/04/1992), saya dan tiga pemain lain dipanggil oleh Panitia Disiplin PSSI ke Sekretariat Liga Galatama di Senayan—kini kantor PSSI—. Sehari sebelumnya panitia memeriksa BTN yang diwakili Andi Darussalam serta Polosin dan Danurwindo pada Selasa (14/4/1992), (Kompas, 15/4/1992, Red).
Bagaimana hasilnya? Kami berempat dinyatakan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab di balik aksi mogok latihan tersebut dan layak dijatuhi skorsing. Dalam hal ini, Ricky mendapatkan hukuman yang paling lama karena dianggap sebagai “otak” aksi tersebut. Ricky dijatuhi hukuman tidak boleh terlibat dalam kegiatan sepak bola nasional maupun di klub selama tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan.
Saya, Robby Darwis, dan Nasrul Koto, mendapat hukuman yang berbeda dari Ricky. Saya terkena hukuman dua bulan dengan masa percobaan empat bulan, sedangkan Robby Darwis dan Nasrul Koto terkena hukuman masing-masing satu bulan dengan percobaan dua bulan. Lima belas pemain lain yang ikut mogok latihan hanya mendapat teguran keras. Sementara, empat pemain yang tidak terlibat dibebaskan dari hukuman (Kompas, 21/5/1992, Red).
Kami berempat dianggap sebagai dalang dan biang kerok yang memprovokasi pemain lain supaya tidak berlatih. Padahal, banyak pemain juga merasakan persoalan yang sama. Namun, seperti kata penyanyi asal Amerika Serikat, Doris Day, dalam lagunya yang terkenal: que sera, sera (whatever will be, will be), apa yang akan terjadi, terjadilah. Apa yang sudah berlalu biarlah berlalu (let bygones be bygones).
Ricky tidak ambil pusing atas keputusan ini. Striker yang pernah dipuji legenda timnas Belanda dan PSV Eindhoven, Ruud Gullit itu, tak sedih, kecewa, atau tertekan akibat hukuman itu. Baginya, keputusan tersebut justru mengandung hikmah—baik untuk dirinya maupun untuk PSSI.
Bukan Ricky namanya kalau tidak pandai berterus terang terhadap kebenaran. Dalam wawancara yang dilakukan Kompas (22/05/1992) di artikel yang berjudul Hukuman Itu Merupakan Hikmah Bagi Saya Maupun PSSI, Ricky bahkan kembali mengkritik PSSI. “Hikmah dari kasus yang berakhir dengan hukuman terhadap para pemain, semoga berlanjut dengan adanya perbaikan di tubuh pengurus, terutama dalam pengelolaan terhadap persepakbolaan nasional," katanya tegas.
Agar kasus serupa tak terulang, Ricky mengusulkan dibentuknya lembaga yang membela hak-hak pemain, seperti yang kami alami saat TC Hong Kong. Sayangnya, gagasan itu baru terwujud 16 tahun kemudian, ketika Vennard Hutabarat bersama mantan pemain timnas—Bambang Pamungkas, Ponaryo Astaman, dan Firman Utina—mendirikan Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) pada 2008.
Mengapa demikian? Menurut Ricky, pemain terlalu sering kali dipojokkan dalam banyak kasus dan dijadikan “kambing hitam” dalam banyak hal, tanpa pernah ditelusuri akar masalah yang sebenarnya.
“Pemain selalu dituntut untuk berprestasi setinggi-setingginya, tetapi tata kelola yang menyangkut pembinaan prestasi atlet, sangat jarang dipermasalahkan. Anehnya, setiap atlet berbicara tentang fasilitas atau imbalan dalam rangka penghargaan terhadap prestasi atlet, yang muncul adalah kecaman-kecaman dari pengurus PSSI,” ujarnya lantang. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa demi masa depan sepak bola nasional yang lebih baik, semua pihak harus mawas diri—bukan hanya pemain, tapi semua seluruh pemangku kepentingan.
Dalam artikel yang sama, Ricky juga menekankan bahwa setiap pemain yang dipanggil ke tim nasional seharusnya mendapat penjelasan jelas terlebih dahulu tentang hak dan kewajiban. Ini penting bagi profesionalisme, perlindungan pemain, dan keberlanjutan prestasi nasional. Ia memang selalu bicara apa adanya tanpa tedeng aling-aling, kadang menggunakan sindiran.
Selama pengalaman saya bermain di level klub dan timnas, saya kira hanya Ricky satu-satunya pemain yang paling berani menyampaikan kritik tajam selama itu adalah sebuah kebenaran, apalagi yang menyangkut soal pemenuhan hak-hak para pemain.
Ia tidak segan melakukan kritik secara langsung entah itu ke manajer timnas, pelatih, ataupun ketua umum PSSI. Prinsipnya jelas dan tegas: membiasakan kebenaran bukan membenarkan kebiasaan. Ia tidak pernah takut kehilangan posisi di timnas. Ia juga tidak pernah takut dengan siapa pun. Yang paling ia takuti adalah ketika ia tidak bisa lagi setia dan memihak kepada kebenaran. Itulah Ricky yang saya kenal dan darinya saya banyak belajar.
Babak 3: Rekan Kerja yang Menyenangkan
Setelah kami sama-sama pensiun menjadi pemain sepak bola, saya pernah kerja satu kantor dengan Ricky di PT Panatrade Caraka—lebih dikenal sebagai Specs—pada 1999. Saat itu, Ricky meminta saya untuk membantunya menjalankan program SPECS Professional Service, sebuah layanan sosial dari Specs dalam perannya untuk berkontribusi pada kemajuan olahraga Indonesia. Beberapa kegiatannya antara lain melakukan coaching clinic ke sekolah-sekolah SD-SMA atau sekolah sepak bola (SSB) dan mengadakan beberapa turnamen sepak bola usia dini sambil melakukan promosi sepatu Specs.
Sebelum saya bergabung, Ricky sendiri sebenarnya belum lama bekerja di Specs. Mantan kapten timnas yang membawa Indonesia ke peringkat keempat Asian Games 1986 di Korea Selatan itu direkrut atas ajakan Eddy Harto—kiper penyelamat Indonesia di SEA Games XVII Manila 1991—yang lebih dulu bergabung setahun sebelumnya.
Seingat saya, Ricky menjabat sebagai manajer promosi wilayah Jakarta, sementara saya ditunjuk sebagai manajer promosi wilayah Jabodetabek. Lalu bagaimana dengan Eddy Harto? Ia menjabat sebagai manajer promosi pusat, mengawasi para manajer promosi dari berbagai daerah, sekaligus atasan kami berdua.
Di kantor, Ricky selalu tampil necis layaknya orang kantoran, di antara kami yang hanya menggunakan pakaian seadanya. Ia juga rekan kerja yang amat menyenangkan. Bapak dua anak itu selalu membawa energi positif: senang berdiskusi, bercanda, suportif, dan hampir selalu punya ide-idenya cemerlang. Kami bekerja di ruangan mungil berukuran 4x4 meter yang hanya cukup untuk menampung sepuluh orang yang saking sempitnya siku kami bisa saling bersenggolan satu sama lain.
Kami kerap mengadakan meeting untuk membahas konsep program dan berbagai acara terkait sepak bola yang bisa diadakan secara rutin dengan dukungan Specs. Intinya program-program yang membuat orang bisa merasakan jatuh cinta dengan sepak bola.
Program pertama yang kami jalankan adalah sepak bola “Three in One”, sebuah pertandingan sepak bola di lapangan berbentuk segi enam dengan sisi sekitar 20 meter, tiga gawang, dan tiga pemain, dengan durasi hanya tiga menit. Pemenangnya ditentukan oleh siapa yang mencetak gol terbanyak ke gawang lawan. Konsep ini terinspirasi dari Three-Sided Football (3SF) yang saat itu tengah populer di Eropa.
Ketika event ini pertama kali digelar, Semarang menjadi pelopornya, melibatkan PSIS dan para wartawan lokal. Acara berlangsung selama dua hari, dari 18 hingga 19 September 1999, di Lapangan Pancasila Simpang Lima, Semarang.
Saya dan Ricky sering berkeliling ke berbagai sekolah untuk mengadakan kompetisi Three in One serta coaching clinic di banyak SSB di Jabodetabek. Rasanya kami bekerja tanpa merasa sedang bekerja. Semua kami lakukan dengan penuh suka cita, karena yang kami jalani adalah dunia yang sama-sama kami cintai: sepak bola.
Selain itu, program lain yang digagas Ricky bersama tim adalah turnamen sepak bola Piala Specs U-15, yang pesertanya berasal dari SSB. Tujuannya sederhana tapi penting: menemukan pemain-pemain muda berbakat dari berbagai daerah yang nantinya bisa direkomendasikan untuk mengikuti seleksi timnas U-16. Pada tahun pertama, kompetisi ini baru digelar di wilayah Jabodetabek sebagai pilot project. Namun karena responsnya sangat baik, tahun berikutnya cakupannya diperluas ke seluruh Jawa, lalu ke Sumatera, hingga akhirnya menjadi agenda tahunan yang paling ditunggu-tunggu oleh anak-anak SSB.
Sejak dulu, Ricky memiliki idealisme tinggi untuk memajukan prestasi sepak bola nasional lewat pembinaan usia dini dan penguatan akar rumput (grassroots). Dalam setiap turnamen yang melibatkan pemain-pemain muda, ia sangat tidak toleran terhadap praktik pencurian umur. Karena itu, kami menetapkan aturan tegas: setiap SSB yang terbukti curang akan langsung didiskualifikasi dari Piala Specs. Prinsip ini bagi Ricky bukan soal menang atau kalah, melainkan soal membangun fondasi yang bersih bagi masa depan sepak bola Indonesia.
Ricky pernah punya mimpi suatu hari nanti terjadi perbaikan dalam organisasi PSSI serta sistem tata kelola persepakbolaan nasional. Saya lupa kapan tepatnya terakhir kali bertemu dengannya. Tapi, saya masih ingat pertanyaan terakhir yang hingga kini masih hinggap di kepala. “Masa sih dunia sepak bola kita hanya gini-gini saja, Man?” katanya gelisah. Sebuah pertanyaan pendek yang saking kusut masalahnya sulit ditemukan jalan keluar dan jawabannya—hingga hari ini.
Sekarang, giliran saya yang ingin balik bertanya. Apakah di surga ada lapangan sepak bola, Ricky? Jika ada, kita harus membuat kompetisi sepak bola usia dini lagi di sana. Persis seperti kita memulainya pertama kali, 25 tahun yang silam.
*) Penulis: Maman Suryaman, Mantan Pemain Timnas Indonesia era 1986-1992. Peraih medali emas SEA Games XVI Manila. Bisa disapa di Instagram @coachmamansuryaman.
