Font size:
Ia tak seterkenal Steven Gerrard atau David Beckham. Namun justru sosoknya amat penting sebab dialah pemegang rekor caps terbanyak bagi timnas Inggris, baik sepakbola laki-laki maupun perempuan. Tak ada pembaca yang menyadarinya, bukan?
Namanya Fara Williams, pesepakbola 31 tahun yang berposisi sebagai gelandang tengah, ini berasal dari pemukiman perkebunan Battersea, salah satu daerah di London. Sebagai salah satu pemain paling berpengalaman di skuat Inggris dan Liverpool saat ini, ia sudah banyak mengenyam asam garam Piala Dunia Perempuan selama tiga kali edisi berturut-turut dan cukup kenyang untuk berkompetisi di level klub. Fara mengenyam 143 kali caps bersama tim nasional - lebih banyak dari siapapun di jagat sepakbola Inggris. Bahkan, pemegang rekor di sepakbola pria, sang legenda Peter Shilton, hanya membela timnas Inggris sebanyak 125 kali. Dalam soal mencetak gol, ia berada di urutan kedua dalam urusan mencetak gol bagi Lionesses -julukan tim nasional Inggris perempuan- dengan torehan 38 gol. Namun, segala pengalaman dan rekornya yang mentereng bagi Lionesses masih kalah dengan pengalaman hidupnya yang -bisa dibilang- sangat menyakitkan. Ia pernah hidup menjadi seorang tunawisma atau menjadi gelandangan -dalam bahasa gaulnya- selama enam tahun saat ia remaja. Mungkin sejenak kita berpikir menjadi gelandangan di Inggris tak separah gelandangan yang ada di Indonesia. Namun menjadi gelandangan tetaplah gelandangan, apalagi ia adalah seorang perempuan. *** Fara kecil hidup bersama ibunya dan ketiga saudaranya. Sebagai anak yang tertua, ia sangat dekat dengan ibunya dan kerapkali membantunya karena memang ibunya berjuang membesarkan anak-anaknya dengan status single-parent. Tentu, bukan tanpa alasan jika ibunya hidup demikian. Ibunya memiliki masalah dengan ayah tiri beserta ayah kandung Fara. Kecekcokan rumah tangga benar-benar berdampak kepada kehidupan Fara semasa kecil. Ketika pertengkaran rumah tangga itu semakin hebat, ia akhirnya diasuh oleh sang kakek dan nenek. Ia dibawa menjauh dari konflik orang dewasa yang senantiasa meruwetkan siapapun yang mengetahuinya. Setelah konflik mereda, ia dibawa kembali ke rumah oleh ibunya bersama sang bibi yang ikut tinggal sementara di rumahnya di Battersea.Simak juga cerita-cerita pesepakbola dengan Ibunya: Ibu-Ibu yang Mengambil Alih Bench Kisah Muslim Kosovo yang Jadi Pesepakbola dan Akhirnya Menjadi Ibu Kisah Kiper Cadangan dan Medali Piala Afrika untuk Ibunda Ibu dan Anak ke Stadion, Ayah Cuci Piring di Rumah Sebab Tak Mungkin Suporter Teriak “All Mothers Are Bastards”Namun, siapa sangka bibinya yang akan mengubah hidupnya. Ia terlibat pertengkaran hebat dengan bibinya sendiri, bahkan bibinya sempat mengusirnya dari rumah. Fara sakit hati. Fara yang saat itu baru menginjak 17 tahun dan sedang labil-labilnya ternyata benar-benar meninggalkan rumah. Ia berpikir dengan meninggalkan rumah, ia akan baik-baik saja di luar sana. Ternyata ia salah besar, ia akan menghadapi masa-masa tersuram dalam hidupnya. Menurutnya, pada saat ia melangkah di jalanan saat pertama kali ia menjadi gelandangan saat itu, ia takut dan merasa asing ketika melewati orang lain yang juga gelandangan. Dalam benaknya, ia berpikiran bahwa semua gelandangan tersebut adalah gila dan mempunyai mental yang baja. Ia sadar bahwa dirinya sendiri sedang memulai fase kehidupan seperti mereka, kehidupan para orang gelandangan yang hidupnya tak menentu. Sebagai seorang perempuan dan hidup di jalanan, ia mempunyai cara sendiri untuk melindungi dirinya. Ia mencontoh para gelandangan yang sering kali berteriak-teriak layaknya orang gila ketika mereka di tempat publik. Jika ada yang ingin menyakiti dirinya (Fara, red) maka ia akan berteriak-teriak dan para masyarakat akan menyangkanya adalah orang gila. Maka publik pun dengan sendirinya menjauhinya. Kisahnya menjadi gelandangan selama enam tahun membuatnya semakin tegar. Ia pernah tinggal di asrama murah dan pindah ke tempat lainnya tanpa menentu. Saat tinggal di asrama, ia tak pernah tersenyum, seringkali menangis, menjadi seorang pendiam dan tak ingin berelasi dengan orang sekitarnya. Ia mengungkapkan dalam wawancaranya bersama The Guardian, bahwa hal-hal yang mengganggunya saat menjadi seorang tunawisma adalah semua orang sering menghakiminya tanpa sebab. Itu sangat menyakitkan baginya, sahut Fara. [caption id="attachment_180180" align="alignnone" width="466"]

Tulisan lainnya tentang kisah-kisah Piala Dunia Perempuan: Jangan Remehkan Perempuan-perempuan Asia Mimpi-mimpi Perempuan Thailand di Piala Dunia Persoalan Marta, Permasalahan Messi Yang Menarik dan Ditunggu dari Piala Dunia Perempuan 2015 Menggugat FIFA Sejumlah Pesepakbola Perempuan Diancam Kisruh Penggunaan Rumput Buatan pada Piala Dunia Perempuan 2015
Sumber tulisan: Guardian & Daily Mail Sumber gambar: uefa.com