Font size:
Akhir pekan lalu, Southampton berhasil menundukkan AFC Bournemouth 2-0. Satu gol yang bersarang ke bawang The Cherries dicetak oleh Graziano Pelle. Gol tersebut sekaligus sebagai yang keenamnya pada musim ini. Musim lalu, Pelle memikat mata penggemar Liga Primer Inggris. Di usianya yang sudah tak bisa dibilang muda, namanya yang asing muncul ke permukaan sebagai mesin gol Southampton.
Pelle adalah seorang Italia. Bermain di luar tanah kelahiran adalah sebuah hal yang langka. Terlebih lagi empat tahun yang lalu, barangkali tak ada dari kita yang mengenal Pelle. Wajar, karena ia cuma pemain cadangan di Parma. Hasil atas kerja kerasnya terbayar setelah ia reuni dengan Ronald Koeman di Feyenoord Rotterdam. Paul Doyle dari The Guardian secara khusus mewawancarai Pelle terkait hidupnya saat ini. Dalam perbincangan tersebut Pelle menjabarkan bagaimana ia berkembang menggapai cita-citanya. “Aku adalah pemain yang bagus, tapi tak begitu kokoh. Agenku membantuku begitu banyak. Ia mengatakan padaku bahwa aku tak cukup haus akan kesuksesan,” kata Pelle mengawali perbincangan. “Keluargaku pun begitu penting untukku, dan ketika aku tidak bermain baik, bukan sesuatu yang baik bagiku karena ayah tak bahagia. Ia bilang padaku, ‘Jangan liburan’, dia tidak bilang ‘kamu harus bermain bola’. Dia lebih rileks berpikir untuk mendidikku dengan kehidupan yang normal ketimbang sekadar bermain bola, tapi tentu saja dia tahu kalau aku memiliki kualitas dan dia tak ingin aku menyia-nyiakan kerja kerasnya yang membuatku bisa hidup seperti ini," tambah Pelle. Berawal dari Liburan Melanggar untuk tak sering liburan justru menjadi kunci kebintangan Pelle. Pemain kelahiran 1985 ini bercerita kalau awal kesuksesannya diawali ketika ia tengah berlibur di Ibiza, Spanyol. Kala itu, ia bertemu dengan seorang teman yang tak lain adalah putra dari Ronald Koeman. Pelle sudah mengenal Koeman karena pernah bekerja sama dengannya meski cuma dari Mei hingga Desember 2009. Saat itu, Koeman adalah manajer Feyenoord. “Aku bilang: sampaikan salamku untuk Koeman dan minta dia untuk memboyongku ke Feyenoord,” kata Pelle, “Aku sebenarnya cuma basa-basi tapi akhirnya malah berakhir seperti ini. Liburan yang amat bagus!” Pada Juni 2011, setelah AZ Alkmaar melepasnya, Pelle pun kembali ke Italia bermain untuk Parma. Lalu, pada awal musim 2012/2013, Pelle dipinjamkan ke Feyenoord. Baru setengah musim, ia sudah mendapat kepercayaan dari Koeman dan dipermanenkan pada Januari 2013. Meski tidak bersinar di AZ Alkmaar, tapi Koeman rupanya melihat sisi lain dari Pelle di mana ia adalah seorang penyerang yang begitu ganas untuk mencetak gol. Koeman pun memanfaatkan kegagalan Pelle di tanah kelahirannya untuk mempermanenkannya di Feyenoord.Baca juga: Hikayat Pomade di SepakbolaFaktor Koeman Tentu orang yang membuat Pelle dikenal seperti sekarang ini adalah Koeman. Pelle menggambarkan hubungannya yang begitu dekat dengan manajer kelahiran Belanda tersebut. Menurutnya, Koeman memberikannya rasa percaya diri, “Ia membiarkan saya bermain ketika saya tak pantas bermain karena dia tahu saya membutuhkan menit bermain karena ada momen di mana saya tak bermain secara rutin.” “Koeman adalah pelatih hebat, juga pemain besar, dan dia tak membutuhkan pujian dariku karena dia dipuji banyak orang,” ucap Pelle. Soal hubungannya dengan Koeman, Pelle pun berkelakar sembari tertawa, “Dia memberi saya kesempatan untuk menjadi penyerang utama. Saya selalu berkata bahwa dia di sini, di Southampton, itu karena saya mencetak 60 gol di Feyenoord.” Menurut Pelle, sepakbola Inggris lebih santai dibanding sepakbola Italia. Simak ceritanya di halaman berikutnya. Apresiasi demi Prestasi Pelle dan Koeman seperti menjadi formula kekuatan Southampton. Sebelumnya, The Saints pernah memecahkan rekor transfer klub pada 2013 saat mendatangkan Dani Osvaldo, yang juga berkebangsaan Italia. Namun, Osvaldo kurang bisa beradaptasi dengan sepakbola Inggris di mana ia kemudian dipinjamkan ke Juventus enam bulan kemudian. Pelle menyatakan kalau terdapat kultur yang berbeda dibanding Inggris dan Italia. Di negeri tempatnya lahir, ia mendapatkan tekanan yang luar biasa besar, sementara di Italia (ralat: Inggris) lebih santai. Rasa santai itu dirasakan Pelle bukan karena longgarnya nilai kompetitif liga, melainkan karena lingkungan tempatnya tinggal yang selalu memberi apresiasi. Meskipun demikian, hal tersebut menjadi pelecut buat Pelle karena semua orang bekerja dengan baik dan memberi apa yang ia butuhkan, “Jadi kini tergantung pada Anda untuk bekerja menggapai yang Anda mau. Saya lebih dewasa sekarang dan saya tahu apa yang saya inginkan.” Mudah mengukur hebat tidaknya seorang striker yakni dari jumlah gol. Hal tersebut bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi untuk tim sebagai kesatuan, “karena rekan-rekan di belakang Anda membutuhkan Anda mencetak gol.” “Jika aku bermain buruk dalam pertandingan tapi mencetak satu gol, setelahnya Anda akan melihatku di halaman depan koran. Itu adalah bagian terbaik menjadi seorang penyerang. Tapi di sisi lain, saat Anda bermain baik tapi tak mencetak gol, orang akan bicara: Oh dia buruk,” ucap Pelle. Menggapai Mimpi Semua orang ingin berada di puncak tertinggi dalam karirnya. Buat pesepakbola capaian tertinggi adalah dipanggil ke tim nasional, hal itu pula yang didamba Pelle. Pelle sejatinya mengawali karir dengan mulus. Ia bermain untuk akademi Lecce dan memperkuat tim junior Italia. Sayang karirnya meredup karena lebih sering dipinjamkan dan bermain tak terlalu baik di Belanda saat membela AZ Alkmaar. Impian tersebut baru terasa begitu dekat ketika usianya menginjak 28, momen di mana ia mencetak banyak gol di Eredivisie bersama Feyenoord dan pindah ke Liga Primer Inggris. Musim depan, Pelle kemungkinan besar menjadi ujung tombak timnas Italia di Piala Eropa 2016, suatu hal yang begitu diidam-idamkan Pelle sejak lama. Ia harus menunggu satu dekade dari tim junior, untuk bisa dipanggil ke tim senior. “Ada momen dalam karir saya di mana saya tak banyak bermain dan bermain buruk. Saat aku menyaksikan Italia memenangkan Piala Dunia, aku berkata dalam diri, ‘Kenapa aku tak ada di sana?’. Tapi aku tahu kalau performa burukku berlanjut, saya tak akan mungkin melakukannya. Mulailah saya bermain baik dan pelatih timnas memberi kesempatan buatku bermain. Ini perasaan yang luar biasa,” tutur Pelle. Liga Inggris Sebagai yang Terbaik Tidak ada kata terlambat buat Pelle meraih ambisinya. Di usianya yang sudah 30 tahun, Pelle bekerja keras agar posisinya tidak tergusur pemain yang lebih muda, tapi lebih berpengalaman darinya. Pelle amat menghargai sepakbola Inggris karena itu tak pernah membuatnya kendur dalam berlatih. Saat menjalani pra musim di debutnya untuk Southampton, Pelle menyadari kalau tak ada tim yang lemah di Inggris, sekalipun itu tim Divisi Championship ataupun liga yang lebih rendah. “Mereka amat menyulitkan,” tutur Pelle. Hal tersebut membuat Pelle selalu fokus dan waspada terhadap segala kemungkinan, “Aku tak bisa tenang di kompetisi seperti ini.” Berbeda misalnya saat ia masih main di Eredivisie di mana ia bisa bermain dengan 80% kemampuannya menghadapi lawan yang lebih muda. “Tapi di sini, di Inggris, setiap presentase kecil amat penting karena semua tim sangat kompetitif,” ucap Pelle, “Sebuah kehormatan bagiku bisa datang ke Inggris, sebuah kompetisi terbaik di dunia.” Ia pun mewaspadai ancaman dari kesebelasan lain seperti Leicester dan West Ham United. “Newcastle adalah tim yang baik tapi kini mereka tengah berjuang. Dan, wow, di puncak klasemen, kita punya Leicester dan West Ham! Ini adalah bagian dari keindahan liga ini. Aku tak bisa bicara di mana Southampton akan berada, tapi aku yakin kami akan menghadapi hal yang besar musim ini,” tutup Pelle. foto: theguardian.com