Font size:
Dikirim oleh Ramzy MuliawanJika Tuan berkunjung ke perumahan kami, yang pertama harus Tuan kunjungi adalah lapangan. Dari jalan poros masuk ke perumahan, silakan lanjut lurus terus. Apabila bersua mesjid, beloklah ke kanan, lalu ambil lurus saja dari sana. Maka sampailah Tuan. Selamat, dan silakan duduk di bangku kayu di sana. Ya, di situ saja. Baik. Semua orang yang datang bertandang ke lapangan kami akan menemukan sepetak tanah yang tak gersang-gersang amat, namun juga tidak dapat dikatakan rindang. Pepohonan berjejer di pinggirnya. Rumah-rumah penduduk membujur dan melintang mengelilinginya. Di sisi timur, ada Puskesmas beserta kebun sayurnya. Sulit mendefinisikan petak bujur sangkar ini. Saya memandangnya sebagai lapangan sepakbola, namun kenyataannya ia tak melulu seperti itu. Di sisi barat, ada dua tiang karatan yang tegak saling berhadapan. Dari patok-patok batu bata yang ditanam di sekitar dua tiang tadi itu, tampaklah bekas lapangan voli. Kalaupun ia dipandang sebagai lapangan sepakbola, maka ia adalah lapangan bola yang cacat. Tidak ada gawang. Tidak ada kotak penalti. Tidak ada garis pinggir. Tidak ada tiang sudut. Bahkan, tidak berumput. Lapangan sepak bola macam apa yang tak ada rumputnya, coba? Tidak ada yang pernah repot-repot menetapkan (resmi atau tidak) untuk olahraga apa lapangan ini sebaiknya digunakan. Siapapun boleh datang membawa alat untuk memainkan olahraga yang diinginkannya, maka jadilah petak bujur sangkar itu menjadi lapangan yang dimaksud. Ia ibarat kanvas kosong yang siap diwarnai kapan saja, dan langsung pula menjadi kosong seperti sedia kala tiap orang-orang selesai menghamburkan cat warna di permukaannya. Sesederhana itu? Ya, sesederhana itu. Lapangan ini tak hanya menjadi saksi berlangsungnya pertandingan olahraga saja. Ia pernah menjadi tuan rumah kampanye politik, ceramah agama, sampai konser dangdut Melayu. Ia rutin jadi tempat bertemu, berkelahi, dan bermusyawarah. Tiap Rabu, ia beralih jadi tuan rumah “pasar kaget”. Para pedagang berbondong-bondong menggelar dagangan. Wortel, kubis, timun -- semua terhambar bercampur udara dan debu-debu. Tak ada juga yang pernah mau repot-repot menggali sejarah lapangan itu. Mungkin sudah ratusan pertandingan olahraga berlangsung di tanahnya. Tidak ada yang pernah peduli soal debunya, tidak ada juga yang peduli soal lubang-lubang kecil di permukaannya. Yang kami tahu cuma datang, main, lalu bergembira. Begitu saja. Ketika keluarga saya pindah ke perumahan ini, kami terhitung sebagai salah satu penghuni pertama. Blok saya hanya berjarak sepelemparan batu dari lapangan. Lalu satu demi satu keluarga lain berdatangan menjadi penghuni berikutnya. Satu keluarga membawa satu atau dua anak lelaki. Lalu, bersama-sama, saya menemukan lapangan itu. Kami memainkan apa pun di lapangan itu. Ketika musim layang-layang, kami sibuk mengerek layangan masing-masing, lalu beradu kuat satu sama lain. Tiba musim gasing, kami putar-putarkan gasing plastik itu di tanah berdebu yang sama. Ketika kepemilikan sepeda menjadi hal yang menaikkan pamor, maka berpaculah kami menggeber sepeda masing-masing. Namun, sepakbola tetaplah favorit. Seperti kisah klise yang sudah-sudah, satu-dua bola mulai digulirkan. Satu-dua tangan kecil mulai berjabat tangan. Satu-dua kaki cilik mulai menyepak si kulit bundar. Satu-dua tawa mulai membahana. Mungkin ada sedikit cekcok, barangkali soal bola yang keluar lapangan atau sikutan lawan yang terlalu keras. Namun jarang kami permasalahkan hal semacam itu, karena main bola adalah “permainan laki-laki” - kami camkan baik-baik hal itu saat ada kawan atau lawan yang jatuh ditekel dan menangis lalu mengadu kepada ibunya. Dan ketika azan Maghrib berkumandang, satu-dua teriakan “PULAAAAAANG!” dari ibu-ibu kami sudah lebih dari cukup untuk membuat kami pontang-panting meninggalkan lapangan. Dengan seketika lapangan menjadi kosong, tapi selalu ada janji (walau) tak terucapkan: esok kami akan kembali lagi.
Baca juga:Untuk bermain, kami gunakan apa saja yang tersedia. Ketika sedang mujur, sebiji bola dapat dipinjam dari seorang kawan. Kalau tidak, kami rekatkan gumpalan kertas dan sampul dengan selotip. Jadilah bola. Gawang dibuat dari botol-botol soda kosong (yang diam-diam kami ambil dari warung sebelah). Tak ada botol kosong, sandal jepit yang berjejer. Tak ada garis lapangan. Bola kami anggap keluar apabila mendarat di jalan samping lapangan, tersangkut di bawah mobil, atau tersuruk di parit. Kalau ada bola yang menyelonong masuk ke salah satu rumah, lalu memecahkan kaca jendela atau menghancurkan pot bunga, langsung kami tunjuk saja si biang keladi untuk bertanggungjawab. Apabila bola mendarat di rumah tetangga yang galak, maka makin panjanglah telunjuk kami. Aturan offside tak laku di sini. Konsep pengadil dibuang jauh-jauh. Satu-satunya yang mempunyai kekuasaan lebih besar daripada kami semua adalah si empunya bola, sebab kapan saja dia dipanggil pulang ibunya (barangkali ini adalah bentuk force majeure yang paling sederhana), maka saat itulah permainan berakhir. Lapangan jadi riuh apabila ada anak dari kompleks tetangga yang datang menantang tanding. Biasanya pemain-pemain bola terbaik di antara kami dimajukan, meski saya tak pernah masuk hitungan “yang terbaik” itu.Ibu-Ibu yang Mengambil Alih Bench
Sebab Tak Mungkin Suporter Teriak “All Mothers Are Bastards”
Sepakbola jalanan ala anak kecil ternyata sama luas dipraktikkannya dengan sepakbola yang sebenarnya. Dengan aturan main yang juga mirip-mirip. Baca: Tiang Gawang Puing-puing . .Andai menang, kami gembira bukan kepalang. Jika kalah, sudah pasti akan kami tantang untuk bertanding ulang. Di lapangan itu, tak ada yang ingin kalah; semuanya ingin mempertahankan gengsi dan kehormatan masing-masing. Entah itu kehormatan individu atau kehormatan kelompok. Kalau enggan bertanding ulang, berkelahi menjadi hal biasa untuk melangsaikan ego. Dan dari pertandingan-pertandingan itulah kami mulai belajar membedakan “kita” dan “mereka”, “aku” dan “kau”. Di lapangan itu kami belajar bersaing mengungguli lawan. Belajar mengalahkan, tanpa harus menghancurkan mereka. Piala Dunia adalah turnamen yang amat dipuja dan disambut bocah-bocah kompleks. Ketika perhelatan itu tiba pada 2006, dengan bangga kami kenakan kaus tim nasional jagoan, lalu berdebat di atas sadel sepeda soal siapa yang lebih baik di antara Ronaldinho atau Zidane; dibarengi bisik-bisik kecil soal mengapa tim nasional kita sendiri tak dapat melaju ke Jerman. Bermacam-ragam kaus berkibar: Brazil, Jerman, Inggris, Argentina, Ukraina. Gaya rambut pun berupa-rupa: ada yang mencontoh Beckham, meniru Klose, atau menjiplak Shevchenko. Untuk urusan ini saya bolehlah berbangga hati, karena Italia yang saya jagokan keluar sebagai kampiun, sehingga kaus Luca Toni yang saya banggakan pun tidak sia-sia. Debat itu dilanjutkan – tentu saja – dengan bermain sepak bola.

Penulis: Muhammad Ramzy Muliawan, masih duduk di sekolah menengah, deputy editor-in-chief, AKSI Magazine MAN 2 Model Pekanbaru. Editor dan administrator, Indonesian and Minangkabau Wikipedia. Dapat dihubungi melalui akun twitter: @poroshalang. Lapangan dalam tulisan ini berada di kompleks Perumahan Universitas Riau, Pekanbaru.