Font size:
Oleh: Yullianto Lin*
“Tragedy plus time equals comedy,” – Steve Allen Apa yang Anda pikirkan tentang stand up comedy? Apakah tentang seseorang yang menggenggam mikrofon lalu menertawai diri sendiri? Atau tentang tren di kalangan remaja yang salah satunya karena dipopulerkan Raditya Dika? Stand up comedy berkembang pesat di Indonesia sejak pertengahan 2011. Munculnya acara televisi yang rutin menayangkan dan melombakan stand up comedy membuat penikmatnya kian bertambah dan menembus berbagai lapisan masyarakat. Sebagian besar masyarakat barangkali cuma menganggap stand up comedy sebagai acara “haha-hihi” biasa yang kebetulan menjadi tren di kalangan remaja. Padahal, stand up comedy sejatinya memiliki makna yang jauh lebih dalam dari itu; atau paling tidak mengacu pada sejarah lahirnya stand up comedy. Lahirnya stand up comedy di Amerika Serikat tak lepas dari masih merajalelanya rasisme yang ditandai dengan diskriminasi dan intimidasi terhadap masyarakat kulit hitam. Mereka tak bisa hidup tenang karena perbedaan rasial tersebut. Bosan menangisi segala penderitaan dan kesengsaraan membuat warga kulit hitam memilih untuk “menertawai” luka-luka mereka sendiri. Waktu menyemai tragedi yang membuahkan komedi untuk menyembuhkan luka di dalam hati. Memphis Depay Panggil dia Memphis; cukup “Memphis”. Panggil dia Memphis Depay apabila Anda ingin memancing emosinya. Atau panggil dia hanya dengan “Depay” apabila Anda ingin mencoba baku hantam dengannya. Sebelum mencapai posisinya hingga saat ini, kehidupan pencetak gol terbanyak Eredivisie musim lalu itu tidaklah mudah. Ditinggal ayah kandungnya saat berumur empat tahun, menjadi anak keenam belas dari ayah tirinya, dan akhirnya dalam waktu singkat pun kembali ditinggal ayah tirinya adalah sedikit dari banyak cobaan yang Memphis alami pada masa kecilnya. Merindukan sosok seorang ayah, Memphis tumbuh menjadi pribadi yang memberontak. Hobinya adalah melanggar peraturan dan “emosional” menjadi nama tengahnya. Beruntung talentanya membawa Memphis bertemu dengan obat bagi luka-lukanya: sepakbola. Mengenal sepak bola tidak secara langsung mengubah perilaku Memphis. Beberapa kali dia hampir dikeluarkan dari akademi PSV karena sikapnya yang membangkang. Beberapa kali pula hal itu batal terjadi karena para pelatih membawa bakatnya yang unik ke meja pertimbangan. Bertambahnya usia membawa Memphis menjadi lebih matang dalam berperilaku. Sikap memberontaknya perlahan memudar seiring dengan kedisiplinan yang tumbuh dalam dirinya. Sepakbola menjadi obat Memphis untuk membasuh luka di masa lalu. Luka Masa Lalu Memphis hanya satu dari sekian banyak pesepakbola dunia yang menanggung beban berat di masa lalu. Kehidupan yang berliku dan banyak meninggalkan luka juga dialami oleh banyak pemain-pemain hebat lain. Zinedine Zidane tidak sanggup membeli sepatu untuk bermain bola. Cristiano Ronaldo pernah melempar gurunya dengan kursi karena dihina “miskin”. Lionel Messi berjuang melawan kekurangan hormon yang menghambat pertumbuhannya. Juga Saido Berahino yang harus pergi dari Burundi karena kekerasan Hutus dan Tutsis. Berahino tumbuh di jalanan Bujumbura, ibukota Burundi. Burundi sendiri merupakan negara termiskin kedua di dunia. Bersama teman sebayanya, Berahino mulai bermain bola. Bola yang dimaksud di sini adalah gumpalan kantung plastik yang diikat dengan tali. Saking miskinnya anak-anak di Bujumbura, mereka harus kreatif untuk menciptakan bola mereka sendiri dari barang-barang bekas. Perang saudara memaksa Berahino meninggalkan Burundi. Ibunya mengirim Berahino kecil ke Inggris, meskipun itu berati untuk sementara waktu mereka harus berpisah. Beruntung, di Inggris Berahino sampai ke rumah perlindungan dan mendapatkan perlakuan yang baik. Selang beberapa waktu kemudian, Ibu Berahino berhasil pergi ke Inggris untuk menyusulnya. Tapi, itu tidak berarti mereka bisa langsung bersama layaknya akhir film-film drama. Pertemuan itu lebih mirip sinema elektronik yang punya banyak adegan dramatis; mereka mesti mencari satu sama lain dalam waktu yang lama sebelum akhirnya bisa bertemu. Ya, cukup bertemu karena ia tak bisa langsung tinggal dengan ibunya. Hukum di Inggris mewajibkan adanya tes DNA untuk memastikan keduanya punya hubungan ibu dan anak kandung. Penggalan cerita tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dijalani oleh seorang anak, imigran dari wilayah konflik, yang bahkan belum genap berusia 10 tahun. Karena kerinduan yang paling berat bukanlah ketika jarak terasa jauh, tetapi ketika jarak begitu dekat tapi tak bisa bersama. Bermain sepakbola di Inggris merupakan perjuangan tersendiri buat Berahino. Bahasa Inggrisnya buruk. Mencetak gol adalah satu-satunya bahasa universal yang bisa ia tunjukan ke semua orang. Kenangan berat di masa lalu membuatnya tumbuh menjadi seorang anak yang pendiam. Meskipun begitu, ia mudah akrab dengan setiap orang, dan sepakbola menjadi katalis bagi Berahino untuk diterima di lingkungan barunya. Kemampuan mengolah bola Berahino sudah dicium West Bromwich Albion sejak ia berusia 11 tahun. Di sanalah Berahino belajar sepakbola sebagai sesuatu yang utuh. Pengagum Samuel Eto’o, Didier Drogba, dan Jermain Defoe ini belajar taktik dan teknik dari para pelatih berkualitas; suatu hal yang tidak terpikirkan untuk dicapai seorang anak dari negara semacam Burundi. Ayah Berahino meninggal pada 1997 karena perang saudara. Hingga kini, Berahino tak pernah menanyakan lebih lanjut kepada ibunya. Ia tak ingin memutar kembali memori pahit di masa lalu. Ia cuma ingin mendedikasikan karir sepakbolanya untuk sang ayah. “Saya tahu dia melihat saya dari surga. Dia pasti senang. Tuhan memimpin saya. Tuhan menjaga saya. Ayah saya adalah satu dari para malaikat yang bahagia dan tersenyum,” kata Berahino.
*Penulis merupakan peserta #panditcamp gelombang ketiga. Finalis Stand Up Comedy Kompas TV berakun twitter @liantlin[caption id="attachment_184445" align="aligncenter" width="1280"]
