Kepuasan dan Loyalitas Seorang Dahaga Medioker

Kepuasan dan Loyalitas Seorang Dahaga Medioker
Font size:

Ketertarikan saya pada Fulham FC bersemi pada tahun 2012, di tengah gemilangnya Moussa Dembele, lincahnya Zoltan Gera, Bryan Ruiz yang visioner, dan kuatnya determinasi Clint Dempsey. Memainkan mereka di FIFA Manager 2011 terasa intuitif, membawa Fulham ke papan tengah rasanya relatif mudah. Namun, kontras dengan dunia virtual, kenyataan begitu pahit, hingga Fulham degradasi pada tahun 2014. 

 

Sejak itu, perjalanan Fulham di Championship terasa bak roller coaster, antara harapan dan kekecewaan berputar-putar. Dari era “gila” Felix Magath hingga promosi di bawah Slavisa Jokanovic, digantikan Claudio Ranieri, lalu kembali terdegradasi bersama Scott Parker. Belum soal pemain muda yang dijual. Mulai dari Patrick Roberts yang gagal bersinar, Ryan Sessegnon yang pergi di saat pucuknya lalu kembali dalam keadaan medioker, hingga penampilan “sederhana” Fabio Carvalho di Liverpool dan dipinjam-pinjamkan ke klub lain, rasanya sentimental.

 

Fulham yang tadinya sekadar piksel di layar gim, menjelma menjadi “dahaga medioker” bagi saya. Sebuah paradoks keinginan untuk melihat tim kesayangan meraih kejayaan, tetapi entah kenapa, merasa cukup dengan stabilitas di papan tengah. Menyenangkan memang, melihat Gera cs menang atas Juventus di 2009-2010 pada Liga Eropa, meski gagal meraih trofi. 

 

Bagi saya, inilah puncak akan kejutan dari tim yang tak diunggulkan. Kehadiran miliarder Shahid Khan pun menyenangkan meski degradasi tentu sangat pahit. Dalam periode itu, saya sangat menjunjung si mesin gol arogan Aleksandar Mitrovi?. Tak apalah pemain itu takluk dengan segepok uang Arab Saudi. Pergi saja. Aneh memang, keinginan untuk melihat Fulham sekadar “berjaya” di papan tengah terasa lebih mengakar daripada ambisi juara.

 

2313910

Aleksandar Mitrovic saat gabung Al-Hilal

 

Menelisik Psikologi “Dahaga Medioker”

 

Fenomena “dahaga medioker”  ini mungkin terdengar anomali dalam budaya sepak bola modern yang terobsesi dengan kemenangan dan trofi. Namun, jika ditelisik lebih dalam, ada beberapa aspek psikologis yang mungkin mendasarinya. Bagi seorang penggemar seperti saya yang menyaksikan naik turunnya Fulham, mungkin ada semacam mekanisme perlindungan diri dari kekecewaan. 

 

Menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada tim yang secara historis tidak konsisten bisa berujung pada sakit hati yang lebih besar. Stabilitas di papan tengah, bagi saya, menawarkan rasa aman, seperti zona netral yang tidak terlalu menguras emosi seperti berjuang naik dari degradasi atau bersaing juara dengan penuh tekanan. Lebih dari itu, mungkin ada identifikasi yang unik dengan klub yang tidak selalu gemilang.

 

Fulham, dengan latar belakang klubnya yang cukup posh dan tradisional, barangkali tidak cocok dengan ambisi orang kaya. Klub ini sempat memberikan kekecewaan mendalam maupun memberikan kejutan sesekali. Bagi saya ini semangat underdog yang menarik. Ada kebanggaan tersendiri dalam mendukung tim yang harus berjuang lebih keras untuk setiap poin, sebuah narasi yang berbeda dari dominasi mulus tim-tim elite. 

 

“Medioker” dalam konteks ini tidak selalu berarti negatif, tetapi lebih kepada penerimaan realitas dan menemukan kepuasan dalam stabilitas. Menurut saya, “dahaga medioker”; bisa dilihat sebagai kritik implisit terhadap budaya juara yang mendominasi wacana sepak bola. Tidak semua penggemar mendambakan trofi. Terkadang, menikmati pertandingan, melihat perkembangan pemain, dan merasakan keterikatan dengan komunitas suporter sudah cukup memuaskan.

 

Membandingkan dengan Lanskap Sepak Bola yang Lebih Luas

 

Fenomena “dahaga medioker” yang saya rasakan terhadap Fulham mungkin tidak unik. Ada banyak klub “kultus” dengan basis penggemar loyal yang tetap setia mendukung tim mereka terlepas dari prestasi di lapangan. Klub-klub seperti Athletic Bilbao dengan kebijakan pemain lokalnya atau beberapa tim dengan sejarah panjang, tapi jarang meraih gelar besar, punya daya tarik sendiri bagi para pendukungnya. 

 

Loyalitas ini seringkali berdasar pada identitas, tradisi, dan keterikatan emosional yang lebih dalam daripada sekadar trofi.  Sudut pandang kesuksesan dalam sepak bola pun bisa sangat subjektif. Bagi penggemar yang memiliki “dahaga medioker” kesuksesan mungkin berarti stabilitas finansial klub, pengembangan pemain muda, atau sekadar mempertahankan eksistensi di liga yang kompetitif. 

 

Jauh dari tekanan ekspektasi juara yang seringkali tidak realistis. Selain itu, pengaruh ekspektasi dan media sosial juga patut dipertimbangkan. Narasi sepak bola modern seringkali didominasi oleh perdebatan tentang siapa yang akan memenangkan gelar dan siapa yang akan terdegradasi. Klub-klub papan tengah seringkali luput dari sorotan utama. Dalam konteks ini, “dahaga medioker” bisa jadi semacam penolakan terhadap narasi dominan tersebut. 

 

Selain Fulham, saya seringkali mencari-cari tulisan-tulisan analitik tentang Wolverhampton Wanderers dan Brighton & Hove Albion. Saya merasa bisa menikmati sepak bola dengan cara ini tanpa harus terbebani oleh ekspektasi yang berlebihan.

 

Siklus Fulham dan Refleksi Pribadi

 

Melihat siklus Fulham, sejak naik turun mereka di antara Liga Primer dan Championship, terasa seperti bagian tak terpisahkan dari identitas kegemaran saya terhadap klub ini. Dampak kepemilikan dan investasi Shahid Khan memang memberikan harapan bahwa klub ini akan seperti klub-klub kaya lain. Namun kebijakan transfer dan keputusan strategis di level manajemen juga berperan penting dalam performa tim di lapangan. 

 

download

Shahid Khan. Sumber: AP

 

Filosofi sepak bola memang berbeda dari setiap pelatih-pelatihnya. Seperti kerasnya Magath, strategi menyerangnya Jokanovic, pragmatisnya Ranieri, pendekatan naif Parker, hingga main amannya Marco Sliva, juga mempengaruhi mentalitas saya dalam periode waktu yang berbeda. Kebijakan peran akademi dan pengembangan pemain muda Fulham juga menarik untuk dianalisis. Penjualan pemain muda berbakat seperti Roberts, Sessegnon, dan Carvalho, meski mungkin menguntungkan secara finansial dalam jangka pendek, sering menimbulkan pertanyaan tentang ambisi jangka panjang klub. 

 

Apakah ini strategi yang berkelanjutan atau justru menghambat potensi untuk membangun tim yang kompetitif di level yang lebih tinggi? Bagi saya pribadi, cinta pada Fulham telah berkembang seiring waktu. Berawal dari kesenangan bermain gim simulasi, seiring berjalannya waktu, keterikatan emosional tumbuh melalui suka dan duka yang dialami klub ini. 

 

“Dahaga medioker” mungkin bukan sesuatu yang hadir sejak awal, tapi lebih merupakan hasil dari pengalaman menyaksikan siklus naik turun tersebut. Saya menerima realitas klub tanpa kehilangan harapan sepenuhnya. Di FIFA Manager tahun 2011, mengendalikan Fulham terasa lebih mudah, mungkin karena kontrol taktis berada di tangan saya tanpa dipengaruhi faktor-faktor eksternal seperti tekanan mental pemain atau dinamika ruang ganti. 

 

Kontras ini mungkin memperkuat apresiasi saya terhadap perjuangan Fulham dan klub-klub papan tengah di dunia nyata. Bohong rasanya jika tidak ada perasaan kontradiktif dalam diri saya. Di satu sisi, saya ingin melihat Fulham meraih kesuksesan yang lebih besar. Namun, di sisi lain, ada semacam kenyamanan dalam stabilitas papan tengah. Saya menolak tenggelam dalam ekspektasi berlebihan yang seringkali berujung pada kekecewaan.

 

Selain sebagai penggemar Fulham, saya juga penggemar Chelsea. Fenomena yang sama kini saya rasakan terhadap Chelsea. Era Roman Abramovich yang penuh trofi telah berlalu, dan kini Chelsea tampak seperti tim medioker. Anehnya, saya tidak lagi merasa begitu kecewa melihat skuadnya saat ini. Saya memang rindu kala Torres mencetak gol magis di tengah paceklik golnya waktu itu atau mungkin saat Kante berlarian dari belakang ke depan dan sebaliknya, tapi rasanya cukup saya ikhlaskan saja. 

 

Seperti saat Fulham terdegradasi, mungkin “dahaga medioker” ini telah menjadi semacam filosofi pribadi saya dalam menikmati sepak bola. Saya paham bahwa tidak semua perjalanan harus berakhir dengan gelar juara. Terkadang, menyaksikan perjuangan, mengapresiasi momen-momen kecil, dan merasakan keterikatan dengan identitas klub sudah merupakan kepuasan tersendiri. 

 

Inilah esensi dari “dahaga medioker”, sebuah paradoks emosi yang mungkin hanya dipahami oleh segelintir penggemar untuk menemukan keindahan dalam kesederhanaan sepak bola papan tengah.

 

Tentang Penuls

 

Nama Lengkap: M Gilang Toni Patmadiwiria

 

Penulis partikelir, penerjemah, pemerhati cerita-cerita sepak bola di luar pertandingan

 

Profesi: Pekerja NGO

Akun Twitter: @mgiltop

No HP: 085693559001

Kebangkitan Persis Solo: Dari Zona Degradasi ke Stabilitas Kolektif
Artikel sebelumnya Kebangkitan Persis Solo: Dari Zona Degradasi ke Stabilitas Kolektif
Menilik Kembali Juaranya SSC Napoli
Artikel selanjutnya Menilik Kembali Juaranya SSC Napoli
Artikel Terkait